Episode 5 : Masa Lalu Pilu

1358 Words
Empat tahun telah berlalu, tapi rasanya masih sesakit ini. Aku telah kehilangan semuanya. Aku kehilangan kedua anakku, aku kehilangan wanita yang benar-benar pernah sangat tulus kepadaku. Sasmita, wanita tangguhku. Sekarang kamu sudah bahagia bersama laki-laki yang jauh berkali-lipat lebih baik daripada aku. Di depan sebuah rumah berlantai dua di kawasan perumahan kelas menengah, Rarendra menghentikan langkahnya. Ia mengerling, memastikan suasana sekitar. Ia dapati bayang-bayang kejadian monokrom kebersamaannya dengan Sasmita, mantan istrinya. Semua kebersamaan dari awal mereka ada di sana hingga akhirnya Sasmita memilih pergi, mengakhiri hubungan mereka. Air mata Rarendra berlinang nyaris tanpa jeda bersama rasa sesak yang serta-merta. Tubuh Rarendra sampai meremang karenanya. Terlalu menyakitkan jika ia mengingat masa lalunya. Masa lalu yang hancur akibat kebodohannya. Sasmita, wanita yang begitu berharga dan telah ia sia-siakan tak ubahnya sammpah yang tak bisa didaur ulang. Juga, kedua anak mereka yang bahkan belum sempat mencecap udara kehidupan. Tanpa memedulikan air matanya yang terus berlinang membasahi mengiringi rasa ngilu yang menggerogoti sekujur tubuh, Rarendra menengadah, menatap penuh luka rumah yang pernah menjadi saksi hubungannya dengan Sasmita nyaris tiga tahun lamanya. Semua kejadian di masa lalu mendadak bergulir dan terlihat sangat nyata. Sampai di dalam rumah, semuanya masih sama. Rarendra melihat kebersamaannya dan Sasmita di masa lalu. Mereka pasangan yang saling mencintai, tapi karena kebodohan Rarendra, semuanya hanya tersisa dalam kenangan pilu. Kenangan pilu yang dipenuhi sesal. Sadar semuanya dalam keadaan kotor, debu dan sarang laba-laba ada di mana-mana, Raraendra sengaja menurunkan ransel di punggungnya. Rarendra berniat membersihkan rumah tersebut. Ia melangkah ke area rumah bagian belakang, menuju ruang kecil di sudut dapur dan tak lain gudang. Di sana ada sapu, pengki, dan seperangkat alat kebersihan lainnya tanpa terkecuali pel dan sedot debu. Rarendra mengambil sedot debu dan menggunakannya untuk membersihkan lantai ruang keluarga. Namun, sekelebat bayangan yang Rarendra tangkap dari cermin rias yang tertempel di dinding ruang tersebut langsung membuat Rarendra bergidik. Rarendra yang awalnya masih sibuk menyedot debu di lantai, refleks terdiam sebelum akhirnya balik badan, membuatnya menghadap pada cermin rias. Rarendra refleks menelan salivanya, tak percaya apa yang membuatnya merinding dan kini menghiasi cermin. Itu merupakan pantulan bayangan dari dirinya sendiri. Ia yang benar-benar tak merawat diri. Bahkan ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Pantas, tadi Giani sampai tidak mengenaliku, pikir Rarendra. *** Di kontrakan, Giani tengah tersenyum ceria di antara lagu anak-anak yang ia lantunkan. Giani tengah menuntun kedua anaknya untuk bernyanyi sambil menari, di dalam kamar sesaat setelah Giani beres memandikannya. Seperti yang Giani harapkan, anak-anaknya memang langsung ceria. Mereka apalagi Gia begitu bersemangat mendendangkan lagu potong bebek angsa sambil berjoged ria, tapi, ketika Giovan tiba-tiba menyeletuk, membahas Adi, kebahagiaan yang susah payah Giani bangun, langsung runtuh. “Iya, kan, Mah? Malam ini papah pulang, kan? Mah pinjam hape, Mah. Aku mau telepon Papah. Aku mau minta Papah buat beli bebek goreng!” Giovan begitu sibuk merengek, membuat Gia yang masih Giani sisiri menjadi ikut sibuk. Tak tahan, Giani buru-buru lari ke belakang, meninggalkan kedua anaknya begitu saja. Giani mengunci diri di kamar mandi, menenggelamkan wajahnya di ember berisi air penuh. Giani sengaja melakukan itu untuk menghukum dirinya sendiri yang telah gagal membangun keluarga impian untuk anak-anaknya. Namun, bukannya membaik, ulahnya itu justru membuat sesak sekaligus luka-luka tak berdarah yang Giani rasa, makin menyiksa. Giani terduduk tak berdaya di lantai kamar mandi yang masih basah bekas ia memandikan Giovan dan Gia. Di tengah wajah dan sebagian kepalanya yang basah, tatapan Giani menjadi kosong. Enggak, Gi. Kamu enggak salah. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Namun jika kamu terus terpuruk begini, kamu salah. Anak-anakmu sangat membutuhkan kamu. Anak-anakmu hanya punya kamu karena belum apa-apa saja, Adi sudah menghilang. Enggak kebayang kalau kamu memilih diam bertahan dan memiliki banyak anak. Sudah, jangan nangis. Adi saja bisa dengan mudah mencampakkan kalian, kenapa kamu menangisi keadaan? Kenapa kamu menyesal? Giani yang mengalami perang batin, segera menyeka wajahnya menggunakan kedua tangan. Ia meraih handuk yang tersampir di sana kemudian menggunakannya untuk mengeringkan wajah. “Mah ... Mah, ayo jalan-jalan. Ada odong-odong. Ayo, naik!” Seruan Gio dari luar dan sampai dihiasi gedoran tidak sabar, membuat senyum cerah bermekaran di wajah Giani yang menjadi merah menyertai kedua matanya yang sembam. Malam ini, Giani telah berhasil merangkai kebohongan dengan membelikan bebek goreng kesukaan anak-anaknya yang Giani pesan secara online. Gio dan Gia bersorak bahagia meski absennya Adi dalam kebersamaan mereka, membuat keduanya kehilangan sebagian kebahagiaannya hingga Giani harus memutar otak, menjadi pembohong jitu demi kebahagiaan anak-anaknya. Giani mengatakan semua hal baik tentang Adi, padahal hingga detik ini pria itu masih sulit ia hubungi. Adi benar-benar menghilang bak ditelan bumi. Hari-hari berlalu dan Giani lewati dengan sangat berat. Bersandiwara dan menjadi pembohong jitu seolah membuat Giani menjadi lakon hidup yang jahatt, khususnya pada anak-anaknya. Dan baru Giani sadari, bertahan di kontrakan membuatnya dihantui bayang-bayang masa lalu. Bayang-bayang masa lalu kebersamaannya dan Adi, dari awal mereka menikah yang dipenuhi kehangatan, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Malam ini, tubuh Giovan demam setelah di siang harinya bocah itu terjungkal dari tanjakan menuju teras deretan kontrakan karena belajar bersepeda. Giovan yang memang sangat dekat dengan Adi, merengek tiada henti mengharapkan kehadiran Adi. “Telepon, Mah ... aku kangen papah.” Rengek tangis Giovan juga berdampak pada Gia yang turut menangis karena bocah cantik itu mengkhawatirkan kakaknya. Jadi, Giani terpaksaa menggendong keduanya secara bersamaan sambil mondar-mandir di dalam kontrakan. “Bentar, ya ... Mamah telepon papah lagi.” Awalnya, Giani akan kembali bersandiwara, berpura-pura berbicara sendiri seolah Adi sedang sangat sibuk hingga Adi tidak bisa mengobrol dengan anak-anak apalagi jika Adi sampai harus pulang. Namun, nyatanya kali ini Giani tak harus berpura-pura. Dari seberang sana, telepon yang Giani lakukan benar-benar terbalas. Giani sampai berlinang air mata di antara senyumnya menatap tak percaya layar ponsel yang menampilkan lama waktu jalannya panggilan yang tengah berlangsung. “Hallo, ini mantannya Mas Adi, ya?” Suara wanita! Benar-benar suara perempuan dan seketika membuat hati Giani remuk redam! “Maaf, yah, Mbak. Aku sama Mas Adi sengaja tukeran ponsel sekalian nomornya. Jadi, kalau Mbak mau terhubung ke Mas Adi, nanti aku kasih nomorku atau aku langsung sambungkan sekarang saja? Eh tapi, tadi sih Mas Adi baru pamit mau kerja lagi.” Kebas, Giani sungguh tak bisa berkata-kata. Ia tak ubahnya tanaman talas yang langsung mati karena tak tahan terpapar panas berlebihan. Namun, bukankah seharusnya Giani sudah menduga, memangnya, ada kemungkinan lain kenapa Adi mendadak sulit dihubungi, kenapa Adi mendadak menghilang bak ditelan bumi selain karena Adi sudah memiliki kehidupan sekaligus kebahagiaan baru bersama wanita lain? Tubuh Giani mendadak seperti dibakar, panas karena menahan emosi. “KATAKAN PADA ADI, UNTUK APA PUNYA BANYAK ANAK JIKA URUS DUA SAJA ENGGAK BECUS!” “M-maaf, Mbak?” “SURUH DIA MENGHUBUNGIKU SECEPATNYA! SUDAH SATU BULAN LEBIH ANAK-ANAKNYA INGIN BERTEMU!” Giani bertutur tegas diiringi tangis anaknya yang masih ia gendong. “Sebelumnya, saya minta maaf, Mbak. Saya enggak bermaksud ikut campur. Namun setahu saya, Mas Adi laki-laki yang bertanggung jawab. Kalau tidak, ngapain dia harus kerja capek-capek untuk nafkahin kalian? Justru kalau masalah becus enggak becus, seharusnya Mbak yang introspeksi diri!” Balasan dari seberang membuat tubuh Giani seolah dididihkan. “SITU WARAS BERBICARA SEPERTI ITU?” “Saya sangat-sangat, waras, Mbak! Harusnya Mbak sadar, adanya saya dalam hidup Mas Adi karena Mbak sudah gagal. Maaf, saya terpaksa begini padahal awalnya saya sudah berusaha bersikap baik pada Mbak.” Jengkel, Giani melempar ponselnya ke depan sekuat tenaga. Anak-anaknya langsung diam dan tak lagi menangis. Apa yang baru saja terjadi sungguh melukai Giani. Gagal? Wanita itu menyebut Giani gagal? Giani ingin kembali mengamuk, tapi tiba-tiba saja, ia justru terpuruk. Tubuh Giani menunduk, dan berakhir dengan terduduk. Di tengah pandangannya yang menjadi kosong, kedua tangan Giani berangsur merengkuh kepala Gia dan Gio. Benarkah aku gagal? Benarkah justru aku yang sudah menghancurkan anak-anakku? Apa yang harus aku lakukan? Aku ... aku jadi tidak yakin aku mampu ... aku jadi ragu aku bisa membahagiakan mereka ... Adi ... kenapa dia begitu cepat mendapatkan penggantiku? Dia bahkan melupakan Gio dan Gia. Tatapan Giani menyisir suasana sekitar. Siaal, bayang-bayang masa lalu mendadak bergulir dan tampak sangat nyata. Bayang-bayang yang membuat suasana makin pilu. Mengenai perjalanan hubungannya dengan Adi, kebahagiaan anak-anaknya ketika mereka bersama, hingga semuanya justru berakhir seperti sekarang. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD