Episode 7 : Pertengkaran

1745 Words
“Segera hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu.” Giani teringat kata-kata Sasmita yang selalu menyampaikannya sambil tersenyum khawatir. “Sebenarnya aku sudah sangat ingin mengamuk di setiap aku harus memikirkan pola pikir Adi. Heran, aneh, ajaib, apa maksudnya menganggap tawaran pekerjaan dariku sebagai hinaan? Aku tegaskan untuk ke sekian kalinya, ya. Maksudku meminta Adi bekerja padaku, agar Adi memiliki pekerjaan layak, pekerjaan tetap yang juga memiliki penghasilan tetap tanpa harus membuatnya kerja rodi dan hanya sedikit memiliki waktu dengan keluarga. Uang itu memang bukan segalanya, tapi tanpa uang kita juga akan kekurangan. Namun di atas semua itu, waktu sekaligus kebersamaan, quality time dengan pasangan, keluarga, apalagi anak-anak juga enggak kalah penting. Semuanya harus seimbang dan aku yakin kamu tahu maksudku, Di.” Kali ini, benak Giani dihiasi penegasan Leon yang akan marah jika melihat Giani hanya bertiga dengan Gio dan Gia. “Kamu enggak usah sibuk kerja. Kamu cukup fokus urus anak-anakmu, kasihan mereka. Atau kalau enggak, ayo kita menikah saja.” Kali ini suara Rarendra yang hari ini mengejutkan Giani karena pria itu menjelma menjadi manusia tanpa ekspresi, seolah kehidupannya tak lagi berarti. Iya, Rarendra menyesali perceraiannya dengan Sasmita, Rarendra menyesal karena pernah membuat Sasmita hancur sehancur-hancurnya. “Bagiku, selamanya kamu dan anak-anak nomor satu, Gi. Jadi cukup doakan aku agar aku selalu sehat hingga aku bisa tetap bekerja dan memberikan yang terbaik untuk kalian.” Kali ini giliran kata-kata Adi yang terputar menghiasi ingatan Giani. Masih sangat Giani ingat, saat masih menjadi suaminya, Adi selalu mengucapkan kata-kata yang intinya sama yaitu alasan Adi selalu bekerja keras dan hanya memiliki sedikit waktu untuk bersama Giani. Belaian mesra sekaligus kata-kata sayang juga terus pria itu jeratkan pada Giani yang menuntut waktu kebersamaan lebih lama. Giani yang ingin menjalani hubungan layaknya pasangan pada kebanyakan, hubungan seimbang antara waktu untuk bekerja sekaligus waktu untuk bersama. Namun, seperti biasa, Giani kalah. Giani hanya mampu mendukung Adi, menjalani perannya sebagai istri dan berharap secepatnya Adi akan kembali menjadi Adi yang memiliki banyak waktu untuknya sekaligus kedua anak mereka. Meski pada akhirnya bahkan detik ini, kekalahan lah yang kembali Giani telan. Giani benar-benar kalah karena anak yang menjadi satu-satunya alasan Giani berjuang sekaligus bertahan justru menjadi korban akibat keegoisan mereka. “Maafin Mamah, Sayang. Maafin Mamah. Mamah benar-benar minta maaf. Mamah janji, Mamah enggak akan ninggalin kalian lagi.” Tak ada kata lain selain kata maaf yang lolos dari lidah Giani. Keadaan Gia dan Gio membuat semuanya terasa sangat berat. Giani tak mampu melakukan banyak hal bahkan sekadar untuk mengucap janji. Padahal niatku bekerja, untuk kebahagiaan anak-anakku. Agar aku bisa memberi mereka kehidupan yang layak. Aku bahkan sudah sepakat dengan Bi Ina. Aku siap menggaji Bi Ina asal Bi Ina mau membantuku menjaga Gio dan Gia. Giani sadar, sesal pun tak akan berarti karena semuanya telanjur terjadi. Bahkan meski Giani menangis darah, semua itu tak akan mengubah keadaan. Mengompres dan memberikan salep sekadarnya merupakan pengobatan terbaik yang bisa Giani berikan pada Gio dan Gia karena keterbatasan biaya. Giani sudah sempat menghubungi Sasmita melalui pesan WA yang ia kirimkan. Hanya sekadar basa-basi menanyakan kabar. Namun, kenyataan Sasmita yang sedang di luar negeri menemani Leon dinas sekaligus bulan madu, membuat Giani urung meminta bantuan. Kini, dengan mata yang masih sangat sembam dikuasai rasa panas dan pedih luar biasa, bersama kehancuran yang membuat tubuhnya loyo tak berdaya, Giani mengirimkan pesan WA pada Adi. [Di, kalau kamu memang masih hidup, tolong beri anak-anak waktu walau hanya sebentar. Aku tidak akan mengungkit tanggung jawabmu pada mereka, meski mereka berhak mendapatkannya. Temui mereka secepatnya! Aku tidak perlu menjelaskan karena kamu tahu keadaan di sini lebih dari siapa pun!] Setelah yakin pesan itu terkirim, Giani mengempaskan punggungnya perlahan pada dinding di belakangnya. Tak ada yang berubah dengan keadaan kontrakannya. Tak banyak barang, kasur yang masih tergelar di lantai, juga semuanya yang dalam keadaan rapi tanpa terkecuali tiga kardus mainan di sebelah kasur karena pemiliknya sedang terkapar. Selain itu, bayang-bayang masa lalu yang begitu nyata juga terus terputar menjelma menjadi tontonan pilu untuk Giani. Sesakit ini, batin Giani yang merremas daddanya. Tangisnya kembali pecah, tapi ia segera menggunakan kedua tangannya untuk menekap mulut, takut Gia dan Gio yang tidur mengapitnya dan sampai kembali demam, justru bangun hingga mereka akan kembali merintih bahkan menangis kesakitan. Pantas orang tuaku lebih memilih membuang bahkan melupakanku. Pantas mereka tega melakukannya karena hubungan mereka benar-benar menyakitkan. Namun Giani bersumpah, sesulit apa pun dirinya, dirinya tidak akan pernah membiarkan anak-anaknya. Giani akan terus berjuang dan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. **** Giani terbangun ketika guncangan cukup keras ia rasakan di kakinya. Dengan kedua mata yang masih terasa sangat panas sekaligus perih dan sangat sulit dibuka, Giani memastikan penyebabnya. Di luar dugaan, itu Adi. Giani sampai mencubit pipinya sendiri karena ia masih sulit percaya dan takut apa yang ia alami hanya mimpi. Adi yang masih menatap Giani dengan tatapan marah, berkata, “Kita keluar sebentar. Aku mau bicara penting!“ Adi berkata tegas dan tak kalah marah dari caranya menatap Giani. Giani paham bahwa pria yang pernah menjadi tempatnya bergantung tersebut sedang sangat marah padanya. Namun, sebelum benar-benar mengikuti Adi, Giani yang masih linglung menatap Gio dan Gia yang sedang asyik meminum susuu kotak rasa cokelat kesukaan keduanya. Ada dua kantong besar berisi jajan kesukaan Gia dan Gio di sana, Giani yakin itu dari Adi. Kedua anaknya yang sempat sakit dan membuatnya sangat terpuruk, kini terlihat sangat bahagia menikmati semua itu. Sungguh, hadirnya Adi membuat Gio dan Gia sangat bahagia meski kening Gio dan Gia masih dihiasi plester kompres. Menghadapi Adi setelah apa yang terjadi khususnya kenyataan Adi yang justru lebih memiliki waktu untuk wanita barunya, membuat perasaan Giani tak menentu. Giani bahkan masih merasa sangat hancur tapi ia harus kembali hancur untuk ke sekian kalinya. Karena meski raga Giani masih utuh, tidak dengan perasaan, pikiran, bahkan hatinya. “Apa yang kamu lakukan hingga mereka jadi begitu? Kamu sengaja melukai mereka dan berharap mereka cacat?!” Di ruang depan, melalui nada lirih dan Giani yakini susah payah Adi tahan, mantan suaminya itu meluapkan emosinya. Dadda Giani bergemuruh mendapatkan pernyataan tersebut. Darah Giani seolah didihkan, emosi wanita itu meluap, susah payah Giani meredamnya hingga napasnya makin sesak, sangat sakit! Kedua tangan Giani mengepal kencang di sisi tubuhnya yang sudah gemetaran hebat akibat emosi yang meluap. Giani menatap tajam Adi dengan air mata yang berlinang tak ubahnya hujan yang deras yang tengah berlangsung di luar sana. Tak ada yang Giani tutupi lagi. Luka dan kehancuran yang selama ini Giani sembunyikan benar-benar Giani luapkan. Adi yang menyadari keadaan Giani menepis tatapan Giani, menghela napas beberapa kali kemudian mundur menjaga jarak. “Kamu boleh marah bahkan membenciku, tapi kamu jangan menyakiti apalagi memukuli anak-anakku.” “Kamu pikir hidup cukup dengan kata-kata? Aku kerja agar anak-anakku bisa hidup layak! Biaya hidup enggak sedikit bahkan Gio sudah minta sekolah!” Giani juga berucap lirih. “Aku tahu itu, makanya selama ini aku sibuk kerja. Aku sibuk kerja karena aku ingin yang terbaik untuk anak-anakku!” sergah Adi. “Hasilnya?” balas Giani cepat, menuntut Adi penuh kepastian. Giani dan Adi kompak berucap lirih, seperti biasa, seperti di setiap pertengkaran mereka. Mereka melakukannya demi menjaga perasaan anak-anak mereka agar Gio dan Gia tidak tahu mereka sedang bertengkar. Jengkel karena Adi tidak bisa menjawab, Giani meraih vas kecil yang ada di meja sebelahnya. Ia mengangkat tinggi vas tersebut bersama tatapan marahnya yang terus tertuju pada kedua manik mata Adi. Adi menatap berat Giani sambil menghela napas. Adi berpikir Giani tidak akan sampai melempar vas tersebut, tapi kali ini Giani melakukannya. Memang tidak sampai mengarahkannya pada Adi karena Giani melemparnya ke sisi Adi, tapi apa yang Giani lakukan sukses mengusik Gio. “Pah, ... Mah?” seru Gio dan terdengar masih dari dalam kamar. “Bentar Sayang, Mamah sama Papah masih urus ini, ya.” Adi menjawab dengan berseru sambil menatap Giani yang berangsur menepis tatapannya dengan lirikan sinis sarat kecewa. “Sebenarnya sebagian dari penghasilanku aku gunakan untuk membayar kredit rumah. Aku sengaja menyiapkan rumah untuk,” ucap Adi tak kuasa melanjutkan ucapannya. “Enggak usah dilanjutkan kalau kenyataannya memang berat bahkan menyakitkan. Aku cukup tahu, Di. Alasanmu meminta tambahan anak cuma buat alibi karena kamu sudah bosan denganku.” Mengatakan itu, hati Giani terasa sangat ngilu, sangat sakit. “Demi Tuhan, Gi!” elak Adi. “Enggak usah bawa-bawa Tuhan!” Giani langsung menatap sengit Adi. “Alasanmu bercerai karena kamu sudah memiliki kebahagiaan baru bersama wanita lain. Sedangkan alasanku melepaskan kamu karena aku melindungi anak-anak!” Giani sengaja menjeda ucapannya untuk menghela napas dalam demi mengurangi rasa sesak sekaligus sakit di daddanya. “Baru hitungan bulan kamu sudah lupa pada anak-anak. Bahkan aku sempat berpikir jangan-jangan kamu sudah mati karena sekadar kabar pun kamu benar-benar enggak ada!” “Kemarin kami sempat kecelakaan. Aku apalagi Isty mengalami luka serius dan aku enggak bisa kirim uang karena ....” Adi tidak bisa melanjutkan ucapannya. Ia menunduk menyesal. Sungguh, luka tak berdarah itu benar-benar membuat Giani tak berdaya. Karena meski Adi bukan lagi suaminya, kenyataan Adi lebih mementingkan wanita lain dalam waktu yang begitu singkat dari perceraian mereka, Adi bahkan sampai mengorbankan anak-anak mereka, sakitnya benar-benar luar biasa. “Semoga Tuhan senantiasa kasih anak-anakku kebahagiaan meski papahnya enggak pernah menjadikan mereka prioritas. Semoga doa-doa terbaik anak-anakku untuk papahnya tetap terbalas meski papahnya ... melupakan mereka.” “Gi, aku enggak pernah melupakan anak-anak. Keadaan kemarin bikin aku enggak punya pilihan lain.” “Dengan mengorbankan anak-anak? Kamu bisa kasih kabar, Di! Bahkan anak-anak sampai sakit hanya karena mereka rindu kamu! Aku sudah enggak kurang-kurang menghubungimu!” “Andai saja dari awal kamu enggak minta cerai, Gi!” “Taii! Kamu enggak sepantasnya bilang begitu jika kamu memang laki-laki. Jika kamu benar-benar seorang ayah yang baik!” Setelah terdiam sejenak, Adi berkata, “Sebulan lagi, aku dan Isty akan menikah. Jadi ke depannya, aku akan mulai mengenalkan Isty pada anak-anak.” Apa yang baru saja Adi sampaikan membuat dadda Giani kebas. Jantung Giani seolah lepas disertai Giani yang seketika lupa bernapas. Sebenarnya Giani tidak ingin menangis, tapi rasa sakit sekaligus rasa kecewanya pada Adi membuat semua luka yang susah payah Giani tutupi, meluap meronta-ronta. Sambil menatap Giani, Adi berkata, “Jika kamu berpikir aku egois, aku terima. Aku enggak pernah memaksa kamu bila pada kenyataannya kamu memang enggak sanggup. Pelan-pelan, Gi. Pelan-pelan biar mereka terbiasa dengan Isty. Setelah itu, kamu bebas. Kamu bisa pergi tanpa harus pusing memikirkan anak-anak lagi. Isty wanita yang baik, dia sangat sabar beda dari wanita pada kebanyakan meski usianya jauh lebih muda dari kita.” Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD