Perceraian Giani dan Adi berjalan sangat lancar sekaligus cepat. Karena selain tidak mau membuang-buang waktu, Giani dan Adi juga tidak mau membuang-buang biaya. Selama sidang berlangsung, Giani dan Adi hadir tanpa bantuan pengacara. Mereka menjalani persidangan sambil momong Gia dan Gio. Benar-benar hanya mereka tanpa saudara termasuk orang tua Adi karena baik Giani maupun Adi, sepakat untuk tidak mengabarkan perceraian mereka.
Dua minggu setelah perceraian, Adi pulang ke kontrakan mereka. Tak ada yang berubah selain status mereka, serta Giani yang sengaja menjaga jarak dari Adi. Tetangga mereka sampai tidak ada yang curiga pada hubungan Adi dan Giani karena semuanya benar-benar masih sama. Namun, di beberapa kesempatan khususnya saat agenda tidur bersama, Giani langsung memisahkan diri dan baru akan kembali ketika Gia atau Gio mencari. Giani merasa makin kacau di setiap ia memikirkan apalagi jika harus berhadapan dengan Adi. Boleh dibilang, perceraian yang terjadi membuat Giani merasa sangat hancur. Senyum berikut ketegaran yang selalu Giani pasang tak semata demi menjaga perasaan sekaligus mental anak-anaknya. Giani selalu menyembunyikan air mata sekaligus kehancurannya di balik keceriaan yang ia tanamkan pada anak-anak sekaligus lingkungan tempatnya tinggal. Namun, ulah Giani tersebut justru membuat luka batin Giani makin menjadi-jadi. Rambut Giani sampai rontok parah. Giani yang merasa muak karena terlalu lelah mendapati rontokan rambutnya dan sampai jatuh ke makanan yang diolah, sengaja memangkasnya hingga setengkuk. Giani merasa depresi dan tak jarang akan menangis sambil tertawa ketika wanita itu sedang sendiri.
***
“Wah ... sekolah,” ucap Gio ketika mereka melewati sebuah TK di sela perjalanan mereka.
Gio terperangah, lari kegirangan dan langsung memisahkan diri dari gandengan Giani yang mengemban Gia. Gio berdiri di sisi pintu masuk utama TK yang halamannya dipenuhi aneka wahana bermain, seperti ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, serta jaring laba-laba. Gio terlihat sangat ingin masuk ke area TK, khususnya ikut bermain sambil belajar dengan teman sebaya di sana.
Sekolah? batin Giani bak tersambar petir di siang bolong. Giani menunduk lemas. Susah payah ia menahan diri agar ia tidak menangis apalagi Giani yakin, Adi belum sampai berpikir jauh mengenai Gio yang sudah tertarik untuk sekolah. Namun segera, demi kedua anaknya, Giani meyakinkan diri untuk lebih kuat lagi. “Ya ampun, Gi. Kenapa kamu sedih? Justru harusnya kamu seneng karena Gio tertarik untuk sekolah. Sudah, jangan menangis. Yuk tambah semangat cari uangnya biar kamu bisa masukin Gio ke sekolah secepatnya!”
Tangan Giani yang awalnya menggandeng Gio, menyeka sekitar matanya yang tetap saja basah. Segera ia melangkah sambil terus menenteng boks gorengan yang memang tengah ia dagangkan. Adi memang masih tetap membayarkan uang kontrakan dan memberi Giani sejumlah uang untuk keperluan Gio dan Gia, tapi Giani tetap berjualan makanan untuk menambah penghasilan. Apalagi kini Giani tahu betul, Gio sudah ingin sekolah. Terpikir oleh Giani, andai ia memiliki pekerjaan tetap, pasti akan membuatnya memiliki pendapatan tetap yang bisa menjadi modal masa depan anak-anaknya.
“Gio, Gio mau sekolah?” Giani agak jongkok, sengaja menyelaraskan tingginya dengan tinggi Gio. Bocah berambut tebal hitam layaknya Adi tersebut langsung mengangguk dan tersenyum semringah. Membuat Giani juga melakukan hal serupa.
“Iya, Mah! Gio mau sekolah! Beli tas, beli baju, masuk ke sekolah itu!” Gio bersorak girang dan sampai loncat-loncat.
Senyum anak-anak sekaligus kebahagiaan anak-anak, tak ada alasan lain yang membuat Giani bertahan selain kedua hal tersebut. Giani mengangguk sanggup sambil mengelus kepala Gio penuh sayang.
***
Tangis Gio dan Gia pecah, benar-benar berisik. Giani sampai kewalahan menenangkannya.
“Sayang, Sayang, dengar, kalian sama Nenek sebentar, ya? Nanti siang atau kalau enggak paling telat sore, Mamah ke sini lagi buat jemput. Sekarang Mamah harus pergi, Mamah mau cari kerja biar Gio sama Gia bisa sekolah.” Giani terus melakukan bujuk rayu, tapi tangis anak-anaknya tak kunjung reda.
Gio sampai memeluk Giani yang jongkok di hadapan mereka. “Papah saja enggak pulang-pulang gara-gara kerja, masa Mamah juga pergi kerja?”
Kembali, Giani merasa tertampar. Bahkan Gio sudah mulai protes karena Adi makin jarang menghubungi mereka. Adi tak hanya jarang pulang, tapi sudah jarang menghubungi semacam telepon video atau telepon suara yang biasanya rutin Adi lakukan di setiap pagi, sore, dan juga malam sebelum anak-anak tidur.
“Ya ampun, Gi ... anak-anak kamu berisik banget! Kepala Bibi saja berasa mau meledak dan ini sudah ditambal pakai koyok, eh kamu malah mau tambah beban hidup Bibi dengan harus mengasuh anak-anakmu yang nakal itu!” ucap Ina, bibi Giani yang di pelipis jidat, dan tengkuknya memang sudah ditempeli koyok.
Tanpa menunggu tanggapan Giani, wanita paruh baya bertubuh tambun yang mencepol asal-asalan rambutnya tersebut langsung masuk kontrakan. Ina sampai membanting pintunya kala menutupnya disertai bunyi ceklek dua kali yang bertanda Ina sampai mengunci pintu, selain wanita berkulit sawo matang tersebut yang sampai menutup gorden jendela di sebelah pintu. Kenyataan tersebut menegaskan Ina tak mau diganggu dan Giani paham itu.
Dengan berat, Giani merangkul kedua anaknya, memeluk keduanya dengan kesabaran yang Diana bentangkan seluas samudra, tanpa celah, tanpa syarat.
Dari awal mengenal Adi, Giani mengenalnya sebagai pria yang bertanggung jawab. Adi merupakan pria hangat sekalipun Adi tipikal yang irit bicara. Sasmita sampai mengagumi Adi yang memiliki sikap dewasa sekaligus penyayang. Dan Baik Giani maupun Sasmita yang sama-sama tidak pernah mendapatkan kasih sayang orang tua sekaligus hangatnya keluarga, selalu mendapatkannya dari Adi. Sasmita dan Adi merasa sangat nyaman jika sudah ada Adi yang akan selalu mengatasi segala sesuatunya. Tak pernah terbayang oleh Giani jika semua sifat mengagumkan Adi agan tertutup oleh Adi yang terobsesi memiliki banyak anak.
Kini, Giani refleks meremas daddanya menggunakan tangan kanan. Sesak dan sakit ia rasa dari sana. Dan detik berikutnya, Giani seolah mendengar retakan agak keras dari daddanya. Hatinya yang sudah retak parah, perlahan seolah roboh bahkan hancur tak berbentuk.
Untung baru dua, enggak kebayang kalau lebih. Giani menatap anak-anaknya, menghujani wajah berikut kepala Gia dan Gio dengan ciuman sayang di tengah air matanya yang berlinang.
“Kita pulang, ya ... kita pulang. Cari kerjanya besok!” ucap Giani meyakinkan. Ia segera memasang kain emban dan menggunakannya untuk mengemban Gia yang ia sumpal mulutnya menggunakan empeng kesayangan bocah itu.
Melangkah loyo dengan tangan kiri menenteng ransel besar sedangkan tangan kanan menggandeng Gio yang menggendong ransel kecil, Giani keluar dari kompleks kontrakan kecil yang terbilang kumuh. Lebar jalan di sana kurang dari satu meter hingga ketika berpapasan dengan pejalan kaki apalagi kendaraan yang lewat meski itu hanya sepeda yang digowes oleh anak kecil, mereka harus melakukannya dengan hati-hati. Namun ketika keluar dari jalan gang kompleks, jalannya jauh lebih luas. Sedangkan Giani yang tidak tega pada Gio yang harus berjalan, sengaja meminta bocah itu untuk naik ke punggungnya.
“Mah, memangnya Papah masih enggak punya pulsa, ya? Kok Papah masih belum telepon juga? Aku kangen banget, terus kenapa Mamah juga mau kerja sedangkan Papah saja kerja enggak pulang-pulang?” tanya Gio yang memang sudah banyak bertanya.
Akhir-akhir ini, Giani sering memergoki Gio menangis, meringkuk di sudut kamar sambil mendekap bingkai foto keluarga mereka. Gio berdalih, bocah itu rindu Adi. Gio ingin bertemu atau paling tidak mengobrol dengan Adi melalui sambungan telepon layaknya biasa sebelum Adi dan Giani bercerai. Namun, nomor ponsel Adi mendadak tidak bisa dihubungi. Giani kehilangan kontak Adi.
Giani menghela napas pelan. Langkah pelannya terhenti karena ia nyaris menginjak pena yang awalnya menggelundung dari atas sana yang merupakan tanjakan selaku tujuannya. Di atas sana, seorang pria tinggi kurus, berkumis tebal, berberewok tebal dengan wajah kusam sedangkan rambut gondrongnya dikuncir, menatap Giani penuh terka dari balik kacamata bening berbingkai hitamnya.
Setelah bertatapan agak lama, Giani yang masih menggendong anak-anaknya berangsur jongkok. “Maaf, Mas? Pulpennya?” Gani mengambil pulpen tersebut kemudian memberikannya karena kebetulan keberadaan pria tersebut menjadi tujuan Giani.
Giani, dia tidak mengenaliku? batin si pria yang baru saja menerima pulpennya dari Giani. Ia yang memegang tiga buah map di tangan kirinya berangsur menoleh, melepas kepergian Giani yang makin jauh meninggalkannya. Giani melangkah loyo membawa banyak beban yang bergantung pada wanita itu. Tak hanya Gio dan Gia yang Giani Gendong selain ransel besar yang Giani tenteng menggunakan tangannya yang kurus, tetapi beban hidup yang terlihat jelas dari gaya Giani. Giani yang sangat loyo seperti tidak memiliki semangat hidup, selain penampilan Giani yang rapi seperti siap akan menjalani pekerjaan terbilang dinas.
“Lumrah lah, Ren, kalau Giani enggak mengenali kamu. Kamu saja enggak mengenali penampilan kamu, apalagi orang lain?” Hati kecil pria tersebut, dan tak lain merupakan Rarendra, berbicara. “Mau sampai kapan kamu begini? Ayolah, Mita sudah bahagia dengan Leon, enggak seharusnya kamu terus-menerus menghukum dirimu seendiri.”
Rarendra mematut penampilannya dari ujung sepatu hingga bahunya. Semua warna yang ia pakai berwarna gelap, benar-benar gelap layaknya kehidupan Rarendra setelah pria itu mengetahui kebusukan Suci.
Bersambung ....