“Gio, Gia, ... Uncle Ganteng datang! Ayo kita main, jalan-jalan sama Aunty Mita!” seru Leon dengan cerianya.
Sasmita yang berdiri di sebelah Leon sang suami, menghadap pintu kontrakan Giani yang sangat sepi, refleks menyikut Leon. Kenyataan tersebut refleks membuat keduanya berkode mata melalui lirikan.
“Kenapa, sih, Hon?” lirih Leon kebingungan.
“Takutnya mereka lagi tidur!” balas Sasmita dengan suara lirih juga. Ia masih menatap sebal suaminya bersama dahinya yang dihiasi kerut.
“Memangnya si Adi di rumah? Biasanya kan dia enggak di rumah?” balas Leon merasa syok. Takut jika apa yang baru saja ia lontarkan benar adanya, meski tak biasanya seorang Adi di rumah siang hari.
Jujur saja, sebagai pengusaha mapan yang juga memiliki kekayaan lebih dari cukup meski nantinya ia dikaruniai ratusan keturunan, sebagai sahabat Giani dan Adi, Leon tidak membiarkan keduanya begitu saja. Leon sudah beberapa kali menawarkan pekerjaan mapan pada Adi, beserta rumah layak untuk Adi dan Giani tempati. Namun, usaha Leon justru disalah artikan oleh Adi yang merasa tersinggung. Itu juga yang membuat Leon kurang suka pada Adi selain Leon yang kapok menawarkan pertolongan. Dan kalaupun Leon melakukannya pada Giani, hasilnya hanya akan memperburuk suasana. Yang ada, Adi akan memarahi Giani, keduanya bisa bertengkar tak berkesudahan.
“Kalau Adi di rumah, berarti kita gagal jalan-jalan, ya?”
“Maksudku bukan begitu, By. Maksudku, takut Gio sama Gia lagi pada tidur.”
“Oalah ... aku pikir Adi beneran di rumah, tumben banget gitu.”
“Adi kan paling di rumah sebulan dua kali, itu pun paling malam.”
“Lagian si Adi egois banget, ibarat dikasih jalan tol, dia malah nyungseb, mendadak jadi terwelu yang bikin terowongan bawah tanah.”
Sasmita menatap bingung suaminya. “By, terwelu itu apa?”
“Kelinci, masa iya, kamu enggak tahu? Oalah ... kamu kan tahunya cuma aku, ya? Hahaha. I love you full, Hon!”
Seperti biasa, Leon selalu ceria bahkan sekalipun pria itu sedang menghadapi hal sekaligus masalah yang serius.
Beberapa saat kemudian, Leon dan Sasmita sudah duduk di ruang tamu kontrakan Giani. Keduanya langsung bercengkerama dengan anak-anak Giani, meski tak lama setelah itu, Sasmita pamit dan berdalih akan membantu Giani di dapur. Karena alasan kontrakan terlalu sepi tak lain karena Giani sedang mengurus pesanan gorengan di dapur.
“Memangnya Ibu Negara bisa bikin gorengan?” tanya Leon sengaja menggoda sang istri.
Sasmita refleks berhenti melangkah kemudian menoleh, menatap kesal sang suami. “Bisalah, mandorin, kan gampang!” balasnya yang mengakhirinya dengan tawa yang sengaja ia tahan.
“Bengek, kamu, Hon!” lirih Leon yang ikut tertawa.
***
Didatangi sahabat baiknya, tak lantas membuat Giani menceritakan masalah rumah tangganya yang akan diakhiri di meja pengadilan. Karena kemarin malam saat Adi pulang, pria itu setuju untuk bercerai. Adi memang tak lantas menerima meski pria itu juga yang melayangkan talak. Adi sempat meminta keputusan akhir Giani, tapi Giani tetap dengan keputusannya. Giani ingin fokus mengurus kedua anaknya, memastikan anak-anaknya mendapatkan kebahagiaan layaknya semestinya. Tidak seperti Giani yang sampai tidak diharapkan oleh orang tuanya sendiri. Dan Giani tidak sanggup dimadu. Jadi memang tidak ada keputusan lain selain perceraian karena Adi juga nekat dengan keputusannya untuk memiliki banyak anak.
“Ini siapa yang pesan sebanyak ini?” tanya Sasmita sambil membantu Giani menyusun gorengan pada kotak saji.
“Ini pesanannya pak RT sama pemilik kontrakan. Pak RT buat tahlilan, si pemilik kontrakan buat arisan,” balas Giani yang kemudian menjadi menahan tawanya lantaran di ruang tamu, Leon sedang melucu menemani kedua anak-anaknya.
“Harusnya masih dalam zona aman, sih, aku yakin anak-anakmu enggak sampai terkontaminasi oleh Leon,” ucap Sasmita.
“Kamu pikir suamimu virus?” balas Giani sambil menahan tawa.
“Virus? Sekelas Leon ya masuknya ke zona wabah, Gi!” balas Sasmita sengaja bercanda.
Giana yang sedang mewadahi sambal refleks menghentikannya karena kedua tangannya spontan memukul gemas punggung Sasmita.
“Iya, kan? Leon itu wabah, wabah yang nyebarin virus pembawa kebahagiaan. Bangga aku punya suami kayak dia meski memang sering mirip radio rusak,” balas Sasmita yang juga menjadi menahan tawa.
Bagi Giani, pada dasarnya Adi dan Rarendra nyaris sebelas dua belas. Keduanya sama-sama tipikal pria dewasa yang irit bicara. Adi dan Rarendra hanya akan bicara seperlunya. Namun sekali Adi maupun Rarendra bicara apalagi jika karena marah, kata-kata yang terucap akan terdengar fatal bahkan sangat menyakitkan. Beda dengan Leon yang rame, tak kenal aturan bahkan ajaib.
“Baik-baik, yah, kalian.”Giani menyikapi Sasmita dengan serius. Tak mau sahabat baiknya itu kembali terluka bahkan hancur layaknya ketika Sasmita masih dengan Rarendra. Rarendra yang kini entah di mana.
“Pria seperti Leon itu langka, Ta. Jadi kamu wajib amankan Leon, jangan sampai lepas!” lanjut Giani yang mengurai senyum terbaiknya pada Sasmita yang baginya sudah seperti adiknya sendiri meski usia mereka hanya terpaut dua tahun. Usia Giani dua tahun lebih tua dari Sasmita.
Sasmita sama sekali tidak curiga jika di balik kata-kata Giani barusan ada kepedihan sekaligus luka mendalam yang Giani sembunyikan. Mengenai hubungan Giani dan Adi, juga masa depan Gio dan Gia yang akan Giani perjuangkan sebagai orang tua tunggal. Giani tak mungkin berharap pada Adi sepenuhnya. Giani takut kembali kecewa karena obsesi Adi pada momongan sangatlah tinggi. Tak terbayang jika Adi sudah kembali berkeluarga dan memiliki banyak anak, Giani yakin Gio dan Gia tidak lagi menjadi prioritas. Kecuali jika Adi memiliki kehidupan bak sultan layaknya Leon yang meski memiliki ratusan anak, tetap bisa mencukupi.
***
Dua minggu kemudian, Adi kembali pulang. Malam-malam, sekitar pukul sepuluh. Giani merasa canggung sekaligus bingung karena sebagian pakaian Adi saja sudah Adi bawa sesaat setelah mereka sepakat bercerai, tapi Adi tiba-tiba datang tanpa terlebih dulu memberi kabar.
“Anak-anak sudah tidur?” sergah Adi yang langsung masuk.
“Iya.” Giani melepas kepergian Adi yang langsung masuk ke kamar mandi dan Giani yakini akan langsung mandi layaknya biasa. Dan Giani mencoba meyakinkan diri, alasan Adi kembali tak lain karena pria yang sampai kapan pun akan menjadi ayah dari Gia dan Gio anak mereka, merindukan anak-anak mereka.
“Kamu mau aku buatkan minum?” tawar Giani yang masih berdiri di sekat antara dapur dan ruang tengah yang menjadi kamar di kontrakan keberadaan mereka.
“Enggak usah. Kalau kamu mau tidur, tidur saja. Aku ke sini cuma mau ketemu anak-anak, kok. Aku bawa martabak sama burger kesukaan mereka. Kalau enggak, kamu tolong bangunin mereka dulu buat makan.”
Giani merasa sesak luar biasa bersama kehancuran nyata yang ia rasakan atas kebahagiaan anak-anaknya bersama Adi. Adi memang pulang dan masih peduli pada anak-anak mereka. Bedanya, meski Adi tetap menjalankan perannya sebagai seorang ayah, tidak kepadanya karena mereka memang sudah memasuki proses pisah. Kalaupun Giani kembali tidur bersama Adi layaknya sekarang, kenyataan tersebut Giani lakukan demi menjaga perasaan anak-anak mereka. Giani dan Adi sepakat merahasiakan hubungan mereka dari anak-anak selain mereka yang yakin anak-anak belum bisa mengerti meski mereka menjelaskannya berulang kali.
Kebersamaan yang membuat d**a Giani bergemuruh membuat wanita itu memilih memisahkan diri sesaat setelah yakin kedua anaknya yang tidur di antara dirinya dan Adi, lelap.
“Apakah kamu menyesali keputusanmu?” ucap Adi tepat ketika Giani akan meninggalkan area kamar karena sebenarnya, Adi hanya pura-pura tidur.
Giani menoleh dan bermaksud menatap Adi. Biar bagaimanapun, ia tetap akan menghormati Adi sebagai ayah dari Gio dan Gia, selain Adi yang juga pernah menjadi orang yang selalu melindungi sekaligus membahagiakannya.
“Menyesal pasti, tapi yang terpenting sekarang aku ingin fokus membahagiakan mereka.” Giani benar-benar menguatkan diri, dan ia memilih berlalu dari sana karena Adi tak lagi melanjutkan pembicaraan.
Awalnya, Giani berpikir untuk tidur di ruang tamu, di sofa yang ada di sana. Namun, suasana rumah berikut hati Giani telanjur menjadi sangat berbeda hanya karena Adi ada. Adi sedang bersama anak-anak mereka bahkan tingg di kamar mereka.
Terpikir oleh Giani, jangan-jangan, dirinya yang terlalu egois hingga mengorbankan anak-anak mereka? Namun kalau aku punya anak lagi, astaga ... rasanya sesak banget, Gio sama Gia pasti telantar. Dan habis itu pun Adi pasti tetap minta nambah anak lagi. Giani terkesiap karena butiran bening yang terasa hangat berjatuhan dari kedua sudut matanya. Dan Giani yang awalnya duduk di pinggir sofa ruang keluarga memutuskan untuk bergegas ke dapur.
Meski tahu kini masih sekitar pukul satu pagi, Giani yang tidak bisa tidur dan tak mau membuang-buang waktunya memilih untuk menyiapkan keperluan dagangan besok. Giani memotong sayuran untuk adonan gorengan, selain meracik aneka bumbu.
Semenjak sepakat bercerai, Giani memang langsung memutar otak agar dirinya bisa memiliki penghasilan tanpa harus membuatnya meninggalkan anak-anaknya. Dan kini, di setiap pagi, Giani akan menjual aneka gorengan, lontong, termasuk nasi kuning, yang akan Giani jual di depan kontrakannya.
“Gi, aku akan tetap kasih uang bulanan, lho, kenapa kamu jualan begitu?” tanya Adi heran di keesokan paginya.
Giani yang sedang terjaga di depan meja tempatnya menaruh makanan jualannya merasa terganggu dengan teguran Adi. Beruntung, Adi melakukannya setelah pembeli yang tak lain tetangga kontrakan dan sampai menyapa Adi, pergi.
“Apa salahnya? Aku jualan hasilnya juga buat anak-anak. Jangan mikir macam-macam lho, Di.” Giani menyikapi Adi dengan sabar meski sebenarnya jiwa bar-barnya sudah memberontak. Giani sudah ingin mengamuk dan memarahi Adi habis-habisan.
“Kalau kamu sampai sakit, gimana? Siapa yang urus anak-anak?” balas Adi jengkel sambil menatap tak habis pikir Giani.
“Aku enggak akan sakit karena aku masih ada waktu buat istirahat sambil jaga anak-anak. Kalaupun sakit pasti sakit ringan. Kecuali kalau aku banyak anak, aku bisa sakit karena stres, khawatir aku enggak bisa urus anakku dengan maksimal.”
“Sudahlah, Gi. Aku tanya kamu baik-baik, enggak usah diperpanjang, muter-muter. Aku juga enggak maksa karena kamu memang enggak sanggup.”
“Aku sanggup punya banyak anak, asal materi yang kita miliki juga mencukupi, Di!” Giani sengaja bertutur tegas saking jengkelnya ia pada Adi. “Sebelum nikah pun kamu tahu aku enggak punya apa-apa. Jangankan harta dan materi buat mencukupi kebutuhan hidup, keluarga dan orang tua saja aku enggak punya!” lanjut Giani yang buru-buru menambahi, “Aku enggak mau membuat masa depan anak-anakku suram. Dua anak kalau kita didik dengan baik, disekolahkan tinggi, insya Alloh lebih baik daripada banyak anak tapi enggak keurus. Dua anak saja kamu jarang pulang, apalagi kalau lebih bahkan banyak? Picik kamu!” Giani melirik tajam pada Adi.
Giani tidak peduli dengan tanggapan Adi, tapi Giani sungguh tidak tahan. Bahkan seandainya setelah ini Adi nekat memperlakukannya dengan kasar, Giani siap.
Bersambung ....