Luka itu bernama CINTA, Giani merasakannya, masih tak percaya jika luka terbesar dalam hatinya justru berasal dari orang yang sangat ia cintai. Orang yang sempat sangat ia hargai, tempatnya berbagi bahkan kembali.
Adi, dia orangnya. Tak pernah terbayang oleh Giani, kisah mereka yang dimulai dengan banyak bahagia, indah penuh perjuangan, harus berakhir dengan luka yang membuat Giani teramat tak berdaya. Adi membuangnya, memperlakukannya tak ubahnya sampahh yang benar-benar tak berguna.
Kini, Giani yang hanya diam tanpa bisa mengakhiri air matanya, menatap tak percaya Adi yang meringkuk di seberang sana sambil memeluk Gio. Karena seperti biasa, anak-anak mereka kembali meminta tidur bersama. Giani tak kuasa menolak meski hal yang langsung ia lakukan adalah menjaga jarak. Giani sengaja tidur di pinggir, du sebelah Gia yang tentu tidak bisa jauh darinya karena meski sudah tidak ASI eksklusif, Gia masih kerap menete pada Giani khususnya ketika bocah itu tidur.
“Jika kamu berpikir aku egois, aku terima. Aku enggak pernah memaksa kamu kalau pada kenyataannya kamu memang enggak sanggup. Pelan-pelan, Gi. Pelan-pelan biar mereka terbiasa dengan Isty. Setelah itu, kamu bebas. Kamu bisa pergi tanpa harus pusing memikirkan anak-anak lagi. Isty wanita yang baik, dia sangat sabar beda dari wanita pada kebanyakan meski usianya jauh lebih muda dari kita.” Namun kata-kata tersebut, kata-kata yang Adi ucapkan sekitar empat jam lalu, tak hanya melukai Giani karena Giani juga merasa sangat takut. Giani takut Adi benar-benar mengambil Gio dan Gia.
Ya Tuhan, aku sudah berusaha melakukan yang terbaik. Bahkan alasanku bercerai karena aku ingin menjadi ibu yang lebih baik. Namun, ternyata aku keliru. Bahkan Adi bilang, calonnya jauh lebih baik. Aku enggak ada apa-apanya dari si Isty meski aku ibu dari anak-anakku, batin Giani.
Giani merasa sangat tersiksa. Merasa sangat buruk dan berpikir hidupnya sia-sia. Berati, kalau aku enggak ada bahkan mati, anakku tetap bahagia? Giani sudah tidak bisa berpikir sehat. Giani bahkan ingin mati jika pada kenyataannya dirinya tidak berguna bahkan untuk kedua anaknya yang sangat Giani cintai.
Kembali Giani menatap wajah Adi lama, kemudian berganti pada Gio yang tidak bisa lepas dari Adi, hingga akhirnya tatapan Giani berhenti pada wajah Gia. Kedua anaknya memiliki wajah yang sangat mirip dengan Adi, kenyataan yang sebenarnya sudah langsung menyakiti Giani karena sekadar melihat bayang-bayang Adi bahkan sekadar mendengar nama Adi disebut, Giani merasa hidupnya hanya sia-sia.
“Gi, sadar. Kamu enggak boleh begini. Jangan, Gi. Enggak ada yang lebih baik dari kasih sayang seorang ibu pada anak-anaknya. Kamu harus percaya itu! Jangan menyerah. Kamu harus semangat. Tunjukan pada Adi bahkan semuanya, kamu bisa jadi ibu tunggal! Kamu ibu terbaik untuk anak-anak kamu.” Hati kecil Giani berbicara ketika di tengah kesunyian malam sedangkan Adi dan kedua anak mereka sudah terlelap, tujuan Giani ke dapur justru menyayat-nyayat pergelangan tangan kirinya hingga darrah segar terus meluap dari setiap sayatan dalam di sana.
Giani tersadar dan langsung panik menatap tak percaya apa yang ia lakukan. Darah segar yang terus rebas dari sauatan juga pisau di tangan kanannya. Giani menatap kenyataan tersebut silih berganti hingga akhirnya Giani refleks menjatuhkan pisaunya dan membuatnya refleks minggir karena pisau tadi nyaris mengenai kaki Giani. Giani dapati, ternyata di lantai sudah dihiasi tetesan darah segar.
Ya ampun Giani, apa yang kamu lakukan? Anak-anakmu masih butuh kamu, kamu enggak boleh begini! batin Giani memarahi dirinya sendiri.
***
Keesokan harinya, Giani menjalani kehidupan layaknya biasa dan menghabiskannya dengan pura-pura bahagia. Giani fokus berjualan gorengan karena ia tak memiliki pekerjaan lain selain Giani yang tak mungkin meninggalkan anak-anaknya dan memang trauma. Mengadoni gorengan dengan racikan yang sebisa mungkin ia jaga cita rasanya agar pelanggannyaa tidak bosan. Memutar otak sedemikian rupa agar ia memiliki dagangan tambahan dengan modal yang benar-benar pas-pasan. Asal masih bisa memberi anak-anaknya makan, Giani melakukan segalanya. Tak hanya menambah varian dagangan karena Giani juga membuka jasa laundry.
“Mamah Gia, sekarang tambah sibuk. Tuh Mamah Gia sampai kurus banget gitu. Mamah Gia sakit apa gimana? Terus, sekarang papah anak-anak juga tambah jarang pulang? Duitnya tambah banyak dong kalau gitu?” ujar tetangga kontrakan Giani. Seperti biasa, obrolan di sela pertemuan yang makin jarang akibat kesibukan Giani yang makin bertambah.
“Alhamdullilah, Mbak,” ucap Giani sambil memberikan piring berisi gorengan yang dibeli oleh tetangganya dan berdalih untuk makan malam. Tetangganya itu terlalu malas untuk memasak di waktu yang sudah malam jadi sengaja meminta Giani membuatkan gorengan apalagi ternyata tetangga yang lain jadi kompak memesan.
“Gara-gara masakan Mamah Gia enak, kami jadi malas masak. Jadi enggak repot apalagi kalau dihitung-hitung ya sama saja.”
Giani memasang senyum terbaiknya tanpa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi dengan hubungannya dan Adi. Berharap usahanya menutupi hubungannya dan Adi akan berbuah manis demi menjaga mental kedua anaknya.
Satu hal yang membuat mental Giani terguncang di setiap malam menyapa. Karena ketika malam menyapa, Gia apalagi Gio akan sibuk menunggu kedatangan Adi dengan harapan yang dipenuhi kebahagiaan. Gio dan Gia yakin Adi akan kembali pulang membawa banyak makanan, menemani mereka main, mereka bisa tidur bersama sambil mendengarkan dongeng dari Adi. Sampai-sampai, hadirnya Giani di sisi mereka langsung tak berarti asal sudah ada Adi.
Meski Giani memberikan sederet kemungkinan manis tentang Adi pada anak-anaknya, sebenarnya batin Giani justru berharap kebalikannya. Giani bahkan berharap Adi mati agar pria itu tak mengambil Gio dan Gia dari Giani. Kini, seperti malam sebelumnya, Giani tak kunjung merasa mengantuk. Giani kehilangan selera tidur semenjak malam itu, malam di mana Adi mengatakan Isty jauh lebih baik, lima hari lalu.
Ketukan pintu yang terdengar ragu mengalihkan kesibukan Giani yang sedang mengangkat lemari di kamar untuk digeser ke posisi lain. Giani melakukan hal tersebut agar waktu malamnya yang tidak bisa membuatnya mengantuk, tidak terbuang sia-sia.
Jangan sampai yang datang beneran Adi yang bawa Isty ke sini, makanya Adi sengaja ketuk pintu buat basa basi. Giani benar-benar takut, takut jika apa yang tengah mengaduk-aduk perasaannya benar-benar kenyataan yang sebenarnya. Namun, tentu saja Giani tidak boleh tinggal diam. Giani harus melakukan hal untuk mencegah Adi masuk dengan leluasa. Karena meski Adi memiliki kunci serep untuk kontrakan Giani tinggal, kunci serep tersebut tidak akan berfungsi jika Giani membiarkan kunci yang Giani miliki terpasang dan tergantung. Dan beruntung, kunci masih terpasang dan bisa Giani pastikan dalam keadaan terkunci.
Kunci yang terpasang dan terkunci sedangkan jendela yang kiranya berluas tak kurang dari dua meter juga sampai tertutup gorden tebal. Giani murunduk sambil menghela napas beberapa. “Alhamdullilah,” batinnya yang sampai menahan dadadanya menggunakan kedua tangan karena di sana ada yang meledak-ledak tak ubahnya benderang perang yang tengah ditabuh sebelum peperangan dimulai. Tegang dan takut sungguh membuat Giani yang sudah langsung kehilangan banyak berat badannya, tidak baik-baik saja.
“Giani, ini aku, Rarendra. Aku harus memastikan kamu dan anak-anakmu baik-baik saja.”
Suara Rarendra yang pelan dan tertata benar-benar membuat Giani tak percaya. Giani refleks menatap jam dinding di atas kanannya. Sudah pukul sepuluh malam tapi Rarendra nekat datang ke kontrakannya?
Hal pertama yang Giani dapati dari Rarendra yang belum mengubah penampilannya dari pertemuan mereka adalah tatapan prihatin. Rarendra yang menjadi hobi memakai pakaian dengan warna gelap dan mungkin mewakili perasaannya setelah mencampakkan Sasmita, menatapnya dengan banyak kekhawatiran.
“Kamu sakit?” sergah Rarendra.
Mata yang sembam dengan lingkar mata yang hitam celong, juga tubuh yang makin kurus selain rambut setengkuk yang acak-acakan dari penampilan Giani, membuat Rarendra tak bisa yakin wanita itu baik-baik saja. Itu bukan efek bangun tidur karena tidak sampai merapikan, Rarendra yakin. Parahnya, ketika Rarendra melongok ke belakang Giani, di sana Rarendra dapati rambut yang terserak dan Rarendra yakin itu rambut Giani.
Sadar Rarendra sibuk mengamati keadaan, Giani berkata, “Ada apa malam-malam kamu ke sini?”
Rarendra langsung mengalihkan fokusnya pada Giani. Giani yang penampilannya langsung berubah drastis. Karena saat kemarin mereka sempat bertemu ketika untuk keperluan kerja, Giani masih terlihat segar dan bersemangat. Tidak seperti sekarang, Giani terlihat sakit.
“Kemarin kamu bilang kamu sangat butuh pekerjaan, aku sudah berulang kali menghubungi nomor ponsel kamu untuk menghubungimu tentang pekerjaan itu.” Rarendra masih bertutur sabar.
Giani berdeham, berusaha menyembunyikan semua luka-lukanya meski jujur saja, ia sudah sangat ingin membaginya. Giani ingin meminta bantuan Rarendra demi kebaikan anak-anaknya, agar Giani tidak sampai kehilangan anak-anaknya.
“Mengenai itu, aku minta maaf, Ren. Aku enggak jadi kerja karena seperti katamu, anak-anakku sangat membutuhkan aku. Terus masalah ponsel, ponselku rusak jadi memang enggak bisa dihubungi.”
Rarendra masih menatap jeli Giani, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Karena seperti yang ia takutkan, sesuatu yang fatal telah terjadi. Apalagi sebelumnya, hal yang akan wanita di hadapannya lakukan di setiap bertemu dengannya adalah marah-marah.
“Biarkan aku bertemu anak-anakmu,” ucap Rarendra yang sangat penasaran sekaligus ingin memastikan. Ia meraih pergelangan tangan kiri Giani dan bermaksud untuk meletakan satu kantong besar berisi aneka camilan khusus anak-anak dan memang khusus Rarendra siapkan untuk anak-anak Giani, di tangan kiri Giani. Namun, kenyataan Giani yang justru mengipratkan tahanan tangan Rarendra, membuat Rarendra yang akan meletakan kantong berisi makanannya menjadi urung.
Giani menyeringai kesakitan. Kenyataan tersebut makin membuat kecurigaan Rarendra membuncah. Rarendra sengaja menahan lengan kiri Giani dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi di pergelangan yang terbungkus lengan panjang tersebut. Betapa terkejutnya Rarendra ketika mendapati luka sayat basah dan menganga di sana. Itu mungkin bukan luka baru, tapi karena terlalu sering terendam air bahkan cairan agak keras seperti detergen, luka tersebut makin parah.
“Siapa yang melakukan ini?” sergah Rarendra mulai kacau.
Giani menggeragap dan tak kuasa menjawab selain Giani yang tidak berani membalas tatapan Rarendra yang begitu mengkhawatirkannya. Namun karena Rarendra menerobos masuk dan sampai berlari, Giani buru-buru menyusul sesaat setelah sampai mengunci pintunya.
Dengan hati-hati, Rarendra mendekati anak-anak Giani yang sudah terlelap. Rerendra membuka selimut Gia dan Gio, kemudian memastikan lengan panjang yang menyertai keduanya. Seperti yang ia takutkan, benar-benar banyak luka lebam. Telah terjadi kekerasan dan Rarendra ingin mengetahui kenapa?
“Adi yang melakukan semua ini?” sergah Rarendra lirih tepat ketika Giani menyusul dan berdiri kebingungan. Giani terus menunduk sedangkan kedua tangannya sibuk memilin ujung piama bagian bajunya.
“Giani, jawab!” tuntut Rarendra daj Giani yang masih belum menatapnya berangsur menggeleng. “Kamu? Kamu yang melakukan semua ini?”
Kali ini Giani tersentak dan refleks menatap Rarendra yang masih menatapnya dengan tatapan menghakimi. “Bukan. Itu kemarin,” ucap Giani tak kuasa melanjutkan. Dirasanya diujung matanya yang sudah berembun mendadak seperti ada yang memberontak untuk mengalir.
“Katakan, Gi. Aku akan membantumu mendapatkan keadilan. Orang terdekat? Harus tetap dilaporkan agar pelakunya jera.” Rarendra yang masih jongkok di pinggir Gia, berucap tegas. “Aku yang akan urus.”
Giani menatap Rarendra dengan tatapan takut.
“Sekarang kita ke rumah sakit karena aku bukan dokter, aku enggak bisa mengobati luka-luka kalian. Enggak usah memusingkan biaya karena aku tahu kamu memang enggak ada. Enggak mungkin juga kamu nekat bahkan capek-capek kerja dan sampai ninggalin anak-anak kalau bukan karena butuh banget,” tegas Rarendra.
“Ambil beberapa pakaian ganti buat jaga-jaga. Cepat siap-siap kita langsung ke rumah sakit.”
“Ren?” Giani menengadah, membuatnya menatap Rarendra yang lebih tinggi darinya dan kini sudah berdiri di hadapannya.
“Aku akan urus, usut sendiri kasus ini. Cukup dulu, aku bodoh dan membuat Mita terluka sangat dalam, enggak sekarang!” tegas Rarendra. “Pastikan pelakunya bukan kamu!”
Giani menunduk sedih. “Namun luka di tanganku, luka di tanganku aku yang melakukannya.”
Pengakuan Giani barusan membuat Rarendra tercengang. Rarendra sampai merinding. Seperti dugaannya, Giani sakit. Sakit bukan sembarangan sakit, tetapi mental dan jiwa wanita di hadapannya terluka. Rarendra yakin, itu masih berkaitan dengan perceraian Giani dengan Adi. Adi yang Rarendra ketahui sebagai pribadi sangat tanggung jawab. Bahkan dulu, Adi sampai ikut sibuk membantu Giani mengurus Sasmita.
Bahkan aku belum tahu alasan yang bikin mereka bercerai padahal dari dulu mereka selalu kompak, batin Rarendra.
Bersambung ....