Episode 9 : Membantu Giani

1418 Words
“Bagaimana kalau dokter atau pihak rumah sakit berpikir macam-macam? Luka-luka mereka,” ucap Giani tertahan di tenggorokan. Demi kesehatan anak-anak, Rarendra yang awalnya datang menggunakan motor memilih menyewa jasa taksi online. Rarendra memboyong Giani dan kedua anak Giani. Giani yang terus bertanya-tanya, tampak tak yakin sekaligus takut. Terlihat jelas jika Giani makin tidak baik-baik saja. Terlihat jelas jika Giani ada di titik nadir. Rarendra melihat kehancuran nyata seorang ibu dari Giani. Mengangguk sekaligus menatap yakin, Rarendra berkata pada Giani, “Enggak ada yang lebih baik dari kasih sayang seorang ibu pada anak-anaknya. Kamu yang terbaik untuk anak-anak kamu. Bahkan ketika anak-anakmu sangat menyayangi papahnya, itu tak semata karena peran kamu. Tatap wajah anakmu jika kamu masih ragu.” Air mata Giani luruh mendengar apa yang baru saja telontar dari bibir berisi milik Rarendra. Tak semata karena kini Giani sangat membutuhkan dukungan, tetapi kata-kata Rarendra sendiri yang begitu menamparnya dengan kenyataan. “Kamu benar. Kamu benar-benar benar, Ren. Karena andai saja aku menceritakan keburukan papah mereka, mereka pasti akan membenci papahnya,” isak Giani merasa makin sesak. Meski ragu, Raraendra menggunakan kedua tangannya untuk menepuk-nepuk kedua bahu Giani. “Sudah jangan nangis. Hapus air mata kamu, enggak sepantasnya kamu menangisi orang yang bahkan tidak lagi memikirkan kamu. Enggak sepantasnya kamu menangisi penyebab kehancuranmu, Gi. Sadar dan bangkitlah!” Giani buru-buru mengangguk kemudian menggunakan kedua tangannya untuk menyeka tuntas air matanya. Rarendra masih mengawasinya, membimbing Giani untuk masuk taksi karena Gia dan Gio sudah menunggu tak sabar di dalam. Kedua anak Giani begitu bahagia hanya karena naik taksi, sebuah kenyataan yang sudah menegaskan betapa keduanya kurang bahagia. Dan bagi Rarendra, Adi telah gagal membahagiakan anak-anaknya. Apalagi menurut informasi yang Rarendra dapat dari Giani, Adi sempat pulang dan tahu anak-anaknya sakit. Namun, Adi sama sekali tidak berinisiatif menyembuhkan apalagi membawa Gia dan Gio ke rumah sakit. Iya, Adi sungguh gagal menjadi seorang ayah layaknya Rarendra dulu di masa lalu. Sedangkan meski anak-anak Giani pada Adi begitu besar, semua itu tak semata karena didikan baik Giani. “Sudah, masuk. Aku ikutin kalian pakai motor.” Rarendra masih meyakinkan karena Giani masih menatapnya dengan banyak keraguan. “Enggak apa-apa, kamu hebat, Gi. Mana Giani yang dulu? Jangan lupa, dulu kamu nyaris membunuhku dengan kedua tangan kamu sendiri!” Kembali, Giani mengangguk-angguk, menggunakan kedua jemari tangannya untuk menyeka cepat air matanya yang lagi-lagi berjatuhan membasahi pipi sebelum akhirnya mereka benar-benar masuk. Taksi yang berhenti tepat di jalan depan gang menuju kontrakan sempit Giani, akhirnya melaju. Rarendra pun segera mengenakan helmnya kemudian menggunakan motor gedenya untuk mengikuti taksi yang membawa Giani. *** Hasil pemeriksaan menunjukkan, anak-anak Giani dalam keadaan sehat meski luka keduanya terbilang serius. Luka-luka tersebut bisa diobati dengan obat yang dokter berikan. Namun tidak dengan Giani. Giani mengalami luka psikis. Mental Giani mengalami gangguan karena Giani terlalu stres. Giani membutuhkan banyak dukungan yang bisa membuat Giani merasa nyaman, meninggalkan ketakutan sekaligus luka-lukanya. “Menurut cerita Ibu Giani tadi, mantan suaminya dan bernama Adi, akan mengambil anak-anaknya. Adi berdalih, ibu Giani tidak bisa menjadi ibu yang baik. Adi mengatakan, calon istrinya yang bernama Isty jauh lebih baik dari ibu Giani. Selain itu, ibu Giani curiga Adi dan Isty sudah berhubungan sejak lama karena rumah yang harusnya untuk anak-anak mereka juga Adi berikan pada Isty. Dan poin utamanya, sepertinya Adi kerap memandang sebelah mata perjuangan ibu Giani, dan sepertinya memang karena sakit hati ini, mental dan jiwa ibu Giani terganggu.” Mendengar penjelasan dokter barusan, Rarendra menunduk sedih. Mungkin ini yang dulu Mita rasakan apalagi Mita sampai harus dua kali kehilangan anak kami. Belum lagi, fakta pernikahanku dan Suci. Rarendra mengulas senyum pada wanita paruh baya di hadapannya selaku dokter ibu dan anak, yang menangani keadaan Giani dan kedua anak Giani. Dokter tersebut memberikan resep obat yang harus Rarendra tebus. “Satu lagi, Dok. Mengenai luka di kepala anak-anak karena kata Giani, bibinya sampai membuat kepala anak-anak ....” Rarendra tak kuasa melanjutkan ucapannya, pedih rasanya mengatakan luka yang menimpa anak-anak Giani akibat Ina yang tak lain bibi Giani, orang terdekat Giani. “Untuk itu kita bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Coba besok pagi Bapak kembali ke sini.” “Atau kalau tidak, kami rawat inap saja? Tolong beri satu kamar dengan dua tempat tidur. Karena saya rasa, Ibu Giani perlu diinfus agar Ibu Giani lebih cepat sehat.” Permintaan Rarendra ditanggapi senyum hangat oleh sang dokter. “Namun perlu diingat, Pak. Yang sakit itu bukan fisik, tapi pikiran sama hati. Sebagai orang yang tahu, saya harap Bapak bisa kasih dukungan ke Ibu Giani, ya?” Rarendra mengangguk sanggup. Sasmita, apakah Sasmita tidak tahu masalah ini? Apa jangan-jangan, Giani sengaja menyembunyikannya? Karena andai Sasmita tahu, Adi pasti sudah tinggal nama. Giani pasti tidak telantar dan sampai stres seperti sekarang, pikir Rarendra. **** Seperti yang Rarendra mau, Giani diinfus dan sengaja diberi obat tidur agar wanita itu bisa beristirahat dengan leluasa. Namun tentu, Giani tidak tahu dirinya mengonsumsi obat tidur. Karena andai saja tahu, Giani pasti menolak karena ketakutan terbesar Giani adalah anak-anaknya diambil oleh Adi. Sementara di tempat tidur sebelah, Rarendra menjaga Gia dan Gio. Rarendra duduk di kursi, menyimak sekaligus menjawab setiap pertanyaan Gio dan Gia. “Om itu serem tapi baik.” Gio mengerucutkan bibir dan masih menatap takut Rarendra. Rarendra kebingungan, menatap Gio dan Gia yang masih kompak duduk sila sambil menatapnya. Kedua wajah polos di hadapannya itu sungguh telah membius Rarendra. “Serem gimana? Om baik, Om akan jaga kalian. Dan kita sama-sama jaga mamah kalian, ya?” balas Rarendra. Meski Gio dan Gia sudah sampai mengangguk sambil menatap Rarendra, Gio yang sedari tadi banyak bicara kembali bersuara. “Gini ... gini, lho, Om. Om serem.” Setelah sampai meraba wajahnya, Gio juga berangsur bangkit dan berdiri. Gio mendekati wajah Rarendra, menggunakan kedua tangan mungilnya untuk meraba berewok sekaligus kumis tebal Rarendra. Ulah Gio membuat Rarendra merinding. Tatapan Rarendra fokus pada setiap lekuk wajah Gio. Ya Tuhan, andai anak pertamaku hidup, pasti mereka seumuran. “Serem ini, lho, Om. Mirip monkey!” celetuk Gio. Rarendra mesem sambil memejamkan mata, membuat cairan hangat lumer di pipinya. Dan ketika Rarendra membuka mata, pemandangan Gia yang tidur sambil tetap duduk, juga menambah kebahagiaan Rarendra. Rarendra segera menidurkan Gia kemudian membimbing Gio untuk melakukan hal serupa. “Sudah, ya, Gio juga tidur. Besok sepulang kerja, kita jalan-jalan.” Rarendra bertutur lirih sarat perhatian sedangkan kedua tangannya mengelus lembut poni Gio dan Gia. Hanya Gio yang masih terjaga. “Wah ... kita jalan-jalannya bareng sama papah, yah, Om?” ujar Gio. Rarendra tak lantas menjawab dan menggeleng. Ingin rasanya Rarendra berkata jahat agar Gio dan Gia membenci Adi setelah apa yang Adi lakukan, tapi Rarendra tidak mau meninggalkan dampak fatal. Biar mereka menyadari sendiri apa yang terjadi apalagi cepat atau lambat, Adi pasti akan membuat Gio dan Gia dekat dengan istri barunya, pikir Rarendra yang juga menjadi kepikiran Giani. Giani yang sangat mencintai dan begitu setia pada Adi. Rarendra refleks menoleh dan menatap Giani yang masih terpejam damai di antara suasana ruang kebersamaan mereka yang remang. “Om, kenapa mamah sakit?” tanya Gio yang sampai sekarang masih belum bisa tidur. Ia ikut mengamati Giani layaknya apa yang tengah Rarendra katakan. Pertanyaan tersebut tak ubahnya sembilu yang menyayat hati Rarendra. Rarendra menatap Gio penuh sayang. “Gio, Gio janji, ya, Gio harus jaga Mamah. Gio harus jaga Mamah sama jaga Gia.” Gio yang menatap Rarendra, mengangguk mengerti. “Iya, Om. Gio janji.” “Terus nanti kalau Gio ketemu Papah, bilang ke Papah, stop jangan melukai mamah lagi.” “Kok gitu, Om?” Gio kebingungan. “Kalau papah pulang, pasti Mamah enggak sakit.” Rarendra yakin, Gio akan langsung berpikir, mencoba mengerti maksud ucapan Gio. Harusnya hukuman terberat dari orang tua adalah dibenci oleh anaknya sendiri! pikir Rarendra yang juga ingin bertemu dan memberi Adi pelajaran. Paling tidak, Rarendra ingin memberi bogem panas yang akan sulit Adi lupakan. “Mamah sakit gara-gara Papah.” Rarendra terus meyakinkan Gio, bocah itu makin sedih. “Sudah enggak apa-apa. Ada Om, kita sama-sama bahagiain mamah sama Gia, ya?” Meski menatap Rarendra, tatapan Gio pada Rarendra terlihat sangat ragu. Bocah itu mengangguk, membiarkan Rarendra memeluknya dengan hangat. “Aku kangen papah, Om.” Isak lirih dari Gio barusan tak ubahnya mata tombak yang seketika menghunjam jantung Rarendra. Rasanya benar-benar sakit, napas Rarendra sampai menjadi sesak. Sesakit ini, aku yang bukan siapa-siapa dalam kasus mereka saja merasa sangat terluka, apa kabar Giani yang harus berjuang sendiri? pikir Rarendra yang bertekad membantu Giani keluar dari titik nadir. Rarendra juga akan memberi Adi pelajaran Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD