4- Khawatir

1117 Words
"Lagi pula yang dibilang sama Tante Marlina benar, kok. Udah menjadi tugas gue ... buat selalu jagain lo." Jun terkekeh di akhir kalimatnya. Kemudian mendekati Jena yang masih memandangnya. Perlahan cowok itu mengelus rambut panjang Jena yang membuat gadis itu tertegun. "Gue akan selalu jagain lo, Jena." Jena menggelengkan kepalanya. "Em, gak bisa begitu," protesnya. Kemudian ia melanjutkan. "Kita 'kan sahabat, harus saling menjaga dong. Gue juga akan jagain lo." Jena tersenyum. Jun mengangguk. "Oke. Kalau begitu, suatu saat lo harus lindungi gue." Berikutnya, mereka berdua tersenyum bersamaan. Jena memang selalu bersikap kasar di mata Jun, namun di sisi lain, gadis itu pun bisa tampak lucu dan imut. Sebenarnya Jena juga gadis yang periang yang akan membuat siapa saja senang berada di dekat gadis itu. Mereka masih saling memandang di depan ruang UKS, sampai akhirnya bel pulang sekolah berdering. Keduanya tersadar dan sontak mengalihkan tatapan matanya masing- masing. Jena yang pertama kali beranjak dari tempat itu. "Gue mau ke dalam dulu." Setelah mengucap itu, gadis itu segera masuk kembali ke dalam ruang UKS, meninggalkan Jun sendiri di luar. Tanpa Jena sadari, sejak tadi Jun tak dapat menahan senyumnya ketika melihat gadis itu kikuk memandangnya. Jun masih berada di luar ruang UKS dan melihat beberapa siswa di sekolahnya mulai berseliweran di koridor depan ruang UKS itu. Beberapa siswa yang ia kenal, em, atau bahkan yang ia lupa namanya pun, menyapa cowok itu. Bukankah Jun sudah mengatakan bahwa hampir seluruh siswa di sekolahnya mengenalnya? Memang begitu nyatanya. Mereka mengenal cowok berparas ganteng, dengan tinggi 175 sentimeter, yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya itu. Bahkan, Jun juga dikenal oleh semua guru. Hey, siapa yang tidak kenal dengan Jun si penerima beasiswa dan selalu berada di peringkat pertama di sekolah itu? "Jun!" Jun mengangkat kepalanya, menatap Fina yang berlari ke arahnya. Di belakang gadis itu ada Rehan yang berjalan santai dan Karina yang tergopoh mengikuti jalan Fina. Dari jarak sepuluh meter gadis itu sudah berseru meneriakinya, yang bahkan membuat gadis itu dipandangi banyak orang yang lewat. Jun hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Fina. Kemudian meringis ngeri ketika melihat Fina hampir terjungkal akibat berlari dengan tidak sabaran. Akhirnya ia sampai di depan ruang UKS. Sedangkan Rehan malah tertinggal jauh, akibat berjalan kelewat santai. "Ish, Pin. Hati- hati, napa!" Jun berujar masih menggelengkan kepalanya. Fina masih mencoba mengontrol deru napasnya. Gadis itu membungkuk dan menahan beban tubuhnya di lututnya. Masih sambil ngos- ngosan, Fina bertanya, "Jena mana?" tanyanya. Jun meringis ngeri. "Di dalem." Ia menunjuk ke dalam ruang UKS. Tepat saat itu juga, Jena ke luar dari ruang UKS dan langsung kebingungan di tempatnya. "Pina?" Jena mengerut dahinya bingung. Ia kebingungan melihat napas Fina yang terdengar tak karuan, dan peluh Fina yang banyak itu. "Lo lari ke sini?" Jena bertanya lagi. Selang beberapa detik, Fina yang melihat Jena, sontak reflek berjalan ke arahnya, dan langsung memeluknya erat- erat. "Jena!! Lo gak apa- apa, 'kan?" tanyanya dengan nada menangis yang sangat keras. Tidak ada airmata yang keluar dari mata gadis itu, namun suaranya saja yang terdengar menyedihkan. "Gue khawatir banget sama lo!" seru Fina lagi. Membuat beberapa orang yang lewat di koridor itu memandangi mereka. Jena merasa tubuhnya terguncang berulang kali, lalu pengap sesudahnya, akibat pelukan Fina. "Iya, Pin. Gu- gue gak apa- apa, kok," ucap Jena dengan susah payah. Dan dengan sekali tarik, ia berhasil melepas pelukan Fina di tubuhnya. "Gue gak apa- apa. Gak usah lebay, deh." Fina tersentak sekejap dan terdorong mundur, namun kemudian kembali memajukan tubuhnya. Ia kini memegangi wajah Jena memeriksa lagi. "Muka glowing lo, gak apa- apa, 'kan?" tanyanya dengan panik. Ia menguyel- uyel wajah Jena membuat pipinya tertarik panjang, hingga gadis itu kesal. Jena pasrah dan hanya diam menerima perlakuan Fina pada wajahnya. Sedangkan Jun hanya dapat menggeleng kepalanya menyaksikan tingkah kedua gadis itu. Rehan yang baru tiba di depannya, langsung melempar tas milik Jun pada cowok itu. Membuat Jun menoleh reflek menangkap. "Temen lo itu?" Jun bertanya ngeri ke arah Rehan. Rehan menggeleng pelan. "Gue gak kenal." Fina yang mendengar itu langsung berbalik dengan spontan dan memukul lengan Rehan dengan keras. "Awas kalau lo panggil nama gue!" Berikutnya ia memberi pukulan yang sama pada Jun. "Lo juga!" Setelahnya, ia kembali berangsur memeluk Jena. "Syukurlah lo gak apa- apa." "Dia sepanjang pelajaran tuh ngerengek terus. Bilang katanya mau nyusul ke UKS mulu." Rehan menunjuk- nunjuk Fina dengan raut sebal. "Gue sampe bising dengernya." Jun terkekeh mendengarnya. "Oh ya?" "Iya, Pin. Gue gak apa- apa. Plis jangan lebay, deh. Malu gue." Jena menyentak pelukan Fina dengan kasar. Kemudian memperbaiki seragamnya yang kini tampak kusut. Beberapa orang itu tersentak melihat tingkah kasar Jena. Termasuk Karina yang kaget melihatnya. Fina mencebik bibirnya dalam diam. Lalu dalam hitungan detik ia tersenyum lebar- lebar. "Oke, kalau Jena udah kembali kasar, berarti artinya lo emang udah baik- baik aja," ucapnya dengan gembira. Jena hanya dapat menggelengkan kepalanya menatap tingkah Fina. Kemudian terkekeh bersamaan. Ia mengalihkan tatapannya pada sosok yang sejak tadi terdiam di dekat Jun. Karina menatap balik Jena dan mulai bersuara, memecah hening. "Lo gak apa- apa?" tanyanya dengan senyum canggung. Tunggu! Bahkan Jun tidak sadar bahwa sejak tadi ada Karina di dekatnya. Jena tersenyum. "Gak apa- apa, kok." Fina yang tersadar jika sedari tadi ia melupakan Karina, sontak membalik badan, dan bergegas menarik gadis itu mendekat. "Rin ..." Ia menarik lengan Karina. Lalu menyerahkan tas milik Jena yang sejak tadi didekap Karina. "Kalau gitu kita pulang, yuk." Fina menggandeng kedua gadis itu membuatnya kini berada di tengah- tengah. Mereka berjalan menuju halte depan sekolah, sembari mengobrol banyak hal. Tentu saja obrolan ketiga gadis itu berbeda dengan obrolan Jun dan Rehan yang berjalan di belakang mereka. "Rumah lo di mana?" Fina menoleh pada Karina di samping kirinya. Karina menoleh. "Rumah gue di dekat Bank Atmajaya. Tahu, 'kan?" Fina mengangguk antusias. "Oh, tahu dong. Itu 'kan dekat sama rumah Jena, ya, 'kan, Jen?" tanyanya lagi, kini berbalik menatap ke samping kanannya. "Jalan Atmajaya." Jena mengangguk. "Iya. Kok gue gak tahu kalau lo pindah di situ?" Karina berdehem kecil. "Gue bukan di jalan itu, di jalan satunya lagi. Jalan Brotowali." Ia menyengir di akhir kalimatnya. Jena dan Fina mengangguk paham. "Pantes." "Kapan- kapan gimana kalau kita main ke rumah lo?" tanya Fina tiba- tiba. Jena mengangguk mengiyakan. Mendengar kalimat tanya dari Fina itu membuat Karina reflek menghentikan langkah kakinya, yang mengakibatkan langkah kedua gadis di dekatnya itu pun menghentikan langkah. Jena dan Fina kebingungan menatap Karina yang mendadak menjadi terdiam. "Jangan!" seru Karina tiba- tiba. Berikutnya ia tersenyum canggung melihat kedua teman barunya itu kebingungan. "Ada apa?" Jun sontak mendekati ketiganya. Kemudian menatap Karina yang merupakan paling tinggi di antara ketiganya. Karina tampak memikirkan sesuatu, namun masih diam. Ia menunduk diam. Tanpa berani menjawab apapun, sedangkan empat pasang mata menatapnya bersamaan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD