Jena membuka matanya lebar- lebar. Hal pertama yang ia lihat adalah langit- langit ruangan berwarna putih. Napasnya masih terengah. Gadis itu mencoba mengedarkan tatapannya ke sekelilingnya, ingin mengetahui ia berada di mana saat ini. Begitu ia mengedarkan tatapannya, ternyata ruangan yang dominan warna putih itu adalah ruang UKS. Jena bahkan sejak tadi mencium bau obat- obatan yang menyeruak ke hidungnya.
Gadis itu kini mencoba bangkit dari tidurannya, dan menggerakkan tangannya untuk menyangka berat tubuhnya, mencoba untuk bersandar ke dinding.
Tiba- tiba ia teringat sesuatu. Tentang hal yang tadi membuatnya pingsan.
"Tadi itu ... beneran nyata?" Jena mulai bermonolog seorang diri. Ia mengerjap berulang kali dengan bingung.
"Atau cuma mimpi?" tanyanya lagi dengan sangsi. "Tapi kenapa kalau cuma mimpi ... gue ngerasa hal itu seolah nyata, ya?"
"Atau tadi gue ngelihat hantu, ya?" Ia mendadak merinding sekarang. Tangannya reflek mengusap kedua lengannya yang terbuka, tak tertutupi kain seragam sekolahnya.
Sesaat sesudahnya gadis itu menggelengkan kepala kuat- kuat. "Enggak! Jelas- jelas tadi itu bukan hantu."
Jena kebingungan sekarang. Ia tidak tahu apa yang tadi dilihatnya itu adalah nyata atau sekadar halusinasinya. Namun yang jelas, satu hal yang membuat Jena bertambah bingung. Mengapa bisa sosok itu sangat mirip dengan Jun?
Oh, iya! Omong- omong, di mana Jun saat ini?
"Jangan kamu ulangi lagi, ya, Jun!"
Sayup- sayup Jena mendengar suara bentakan di luar ruang UKS. Suara yang sangat familiar baginya. Bagaimana tidak familiar, jika pemilik suara itu adalah Mamanya sendiri.
"Iya, Tante."
Dan suara itu adalah suara Jun. Cowok itu sepertinya tengah berusaha berbicara lebih keras lagi, karena suaranya terdengar tercekat.
Jena mengerut dahinya. Apa sekarang ... Mamanya tengah memarahi Jun?
Tapi mengapa?
Jangan bilang karena dirinya?!
Jena segera bangkit dari brankar UKS dan mencoba melangkah menuju luar ruangan. Benar saja, di luar memang sepi, dan hanya ada Mamanya serta Jun. Dari tempatnya berdiri kini, ia bisa melihat kalau cowok yang berada di depan Mamanya itu terlihat menunduk dengan raut penuh rasa bersalah.
"Kamu ingat, 'kan, terakhir kali kamu janji untuj jaga Jena biar dia sehat terus?" Mamanya masih memarahi Jun. Sedangkan cowok itu hanya menunduk.
"Kalau sampai Jena kambuh lagi, kamu yang akan Tante salahkan," tukasnya lagi dengan nada lebih tinggi, sembari menunjuk- nunjuk seorang cowok berseragam OSIS itu di depannya.
"Mama!"
Jena melangkah mendekati kedua orang itu, kemudian mulai berdiri di dekat Mamanya.
"Mama kenapa marahin Jun, sih? Jena gak apa- apa, Ma. Lagipula ini bukan salah Jun," jelasnya dengan menggebu- gebu di depan Mamanya.
Marlina menatap anak gadisnya yang tengah berkacak pinggang di depannya itu. "Jena, kamu gak apa- apa, Sayang?" tanyanya dengan khawatir, ia memegang pundak putrinya itu.
Jena menyingkirkan tangan Mamanya dari pundaknya dengan perlahan. "Jena gak apa- apa, Ma. Jadi lebih baik Mama pulang sekarang." Gadis itu masih memberengut memandang Mamanya.
Jun memandang Jena dan bersyukur dalam hati bahwa ternyata gadis itu baik- baik saja. "Gak apa- apa?" tanyanya lirih.
Jena mengangguk memandang Jun. Kemudian kembali mengalihkan tatapannya ke arah Mamanya. "Lebih baik Mama pulang sekarang, ya, daripada Mama bikin keributan di sini."
Marlina yang tadi masih kesal, kini mulai meredakan kekesalannya. "Beneran? Kamu gak mau pulang sama Mama?" tanyanya sekali lagi. Memastikan keadaan putri semata wayangnya itu.
Jena mengangguk berulang kali. "Iya, Ma. Nanti Jena pulang sama Jun," putusnya. Ia meyakinkan mamanya agar tidak perlu bertanya kesekian kali lagi.
Marlina menghela napasnya dengan pasrah. "Ya udah," ucapnya. Berikutnya ia memandang Jun yang tengah menatapnya juga.
"Kamu jagain Jena, ya. Jangan sampai Jena kenapa- napa lagi." Marlina memperingati cowok itu.
Jun tersenyum lebar dan berpura- pura menjadi anggota perang sekarang. "Siap, Komandan." Kemudian ia terkekeh, tampak santai tidak memikirkan bentakan Marlina tadi.
"Tante tenang aja, Jena akan Jun jaga dengan sebaik mungkin," sambungnya lagi dengan senyum yang lebih lebar.
Marlina mengangguk dan tersenyum. "Oke." Ia beralih menatap Jena. "Mama pulang dulu, ya."
Jena mengangguk. "Em," gumamnya. Kemudian melambaikan tangannya saat Mamanya melangkah menjauh. "Hati- hati di jalan, Ma."
"Hati- hati di jalan, Tante!" Jun berseru dan ikut melambai dengan senyum lebarnya.
Suasana sepi tidak membuat cowok itu berhati- hati dalam bicara. Tidak mempedulikan kelas di sebelah UKS akan terganggu, karena saat ini jam pelajaran terakhir masih berlangsung. Hanya beberapa menit lagi untuk menuju bel pulang sekolah berdering.
"Lo baik- baik aja?"
Pertanyaan itu bukan dari Jun untuk Jena. Melainkan sebaliknya. Jena menatap cowok bertinggi 175 sentimeter itu yang masih melambaikan tangan untuk Mamanya. Jun tampak baik- baik saja setelah dibentak oleh Mama Jena seperti itu, namun sesungguhnya Jena tahu kalau cowok itu sangatlah perasa. Tidak seharusnya ia masih tersenyum lebar seperti itu.
Jun mengerut dahi menatap Jena. "Gue?" tanyanya bingung. "Bukannya pertanyaannya kebalik, ya? Harusnya gue yang itu buat lo." Cowok itu terkekeh.
Jena mengulum bibirnya. "Mama bentak lo kayak tadi dan lo masih bisa senyum lebar, Jun?"
Jun memudarkan senyumnya. "Terus gue harus nangis nih sekarang?" Ia pura- pura mengusap matanya dengan gerakan lebay. Hal itu membuat Jena yang tadi tengah memasang wajah serius, kini memutar bola matanya jengah.
"Lagian lo serius amat. Gue gak apa- apa, kalik." Jun terkekeh senang melihat Jena yang kini menunjukkan ekspresi biasanya.
"Gue minta maaf, ya, tadi Mama marahin lo sampai begitu. Padahal itu semua bukan salah lo." Jena berujar dengan menundukkan kepalanya.
Jun mencondongkan tubuhnya untuk melihat wajah Jena yang menunduk. "Lo barusan minta maaf ke gue? Apa gue gak salah dengar?" tanyanya dengan nada meledek.
Jena mulai mengangkat kepalanya setelah mendengar kalimat dari cowok itu. "Lo pikir gue gak bisa minta maaf?" tanyanya dengan nada kesal.
Cowok di depan Jena itu kini memundurkan wajahnya kembali. Ia menyelipkan tangannya ke saku celana OSIS- nya. "Aneh, aja. Seorang Jena Mustika jarang banget minta maaf ke gue meskipun kesalahannya banyak banget." Jun terkekeh melihat Jena kini mulai jengah padanya.
"Jun!" bentak Jena sembari menghentakkan kakinya di depan cowok itu. "Ih, lo gak pernah bisa serius, ya?!" Gadis itu kesal karena Jun ini adalah tipe yang selalu bercanda dan susah sekali diajak untuk serius. Menyebalkan!
Jun terkekeh menatap tingkah sahabat sejak kecilnya itu kemudian mengacak- acak poni Jena. "Iya, iya. Gue udah maafin." Kemudian tersenyum lebar. "Gue udah kebal, kok. Lo tenang aja. Gue gak apa- apa."
Jena hanya terdiam menahan kekesalannya. Lalu membuat Jun kembali berucap lagi.
"Lagi pula yang dibilang sama Tante Marlina benar, kok. Udah menjadi tugas gue ... buat selalu jagain lo."
***