5- Alasan

1116 Words
"Kapan- kapan gimana kalau kita main ke rumah lo?" tanya Fina tiba- tiba. Jena mengangguk mengiyakan. Mendengar kalimat tanya dari Fina itu membuat Karina reflek menghentikan langkah kakinya, yang mengakibatkan langkah kedua gadis di dekatnya itu pun menghentikan langkah. Jena dan Fina kebingungan menatap Karina yang mendadak menjadi terdiam. "Jangan!" seru Karina tiba- tiba. Berikutnya ia tersenyum canggung melihat kedua teman barunya itu kebingungan. "Ada apa?" Jun sontak mendekati ketiganya. Kemudian menatap Karina yang merupakan paling tinggi di antara ketiganya. Karina tampak memikirkan sesuatu, namun masih diam. Ia menunduk diam. Tanpa berani menjawab apapun, sedangkan empat pasang mata menatapnya bersamaan. "Em, anu ...," lirihnya terbata. Jena dan Fina kembali bersitatap. Kemudian Jun yang penasaran, kembali bertanya. "Kenapa, Jen?" Jena mengedik. "Kita berdua tanya sama Karina tentang main ke rumahnya." Jun hanya mengangguk mendengarnya. Mendengar itu Karina mendongak, dan saat itu juga matanya bersiborok dengan mata Jun. Dengan cepat ia berucap, "Rumah gue lagi rame. Banyak anak kecil." Karina menyengir di akhir kalimatnya. "Gak apa- apa, gue sama Jena suka anak kecil, kok." Fina menatap Jena sembari mengatakan itu. Dan gadis itu mengangguk. Karina kembali beralasan. "Keponakan- keponakan gue itu nakal banget. Kita main di luar aja, jangan di rumah gue." Fina akhirnya mengangguk memahami. "Oke." "Tapi bener sih, Rin. Jangan biarin Fina main ke rumah lo, nanti rumah lo jadi berantakan. Apalagi Jena, nanti jajanan di rumah lo ludes sama dia." Rehan berceletuk dengan santainya. Kemudian mendapat high-five dari Jun di sampingnya yang terkekeh. Jena dan Fina langsung memberi cowok itu death-glare. "Ish!" Karina hanya terkekeh ringan, kini ia mulai kembali berjalan. "Kalian sendiri kalau main seringnya ke mana?" tanyanya tiba- tiba. Ia mengedarkan tatapannya. Mereka kini sudah sampai di koridor penghubung gerbang keluar sekolah. Fina tampak berpikir. "Kita biasa main ke rumah masing- masing aja, sih. Tapi lebih sering ke rumah Jena atau kalau mau makan enak, ke Mekdi minta bayarin Rehan," ucap Fina diakhiri dengan kekehan seraya menatap Rehan di belakangnya. Cowok itu hanya menggeleng kepalanya. "Bangkrut gue lama- lama." "Wah, asik ya." Mata Karina berbinar. "Di rumah Jena aja, biar gue bisa jalan kaki. Terus bisa makan roti banyak- banyak." Jun berceletuk. Cowok itu berkata tidak mengalihkan tatapannya dari ponselnya. Karina membalik badan, "Makan roti banyak- banyak?" tanyanya bingung. "Oh, kita belum kasih tahu, ya. Mamanya Jena 'kan punya toko roti gede. Pengusaha bakery top di kawasan rumahnya," ucap Fina sembari terkekeh. Jena hampir bangga tadinya, sampai Fina menyebutkan tentang 'Kawasan rumah' yang artinya memang hanya terkenal sebatas perumahan saja. "Toko roti Mama terkenal se kota ini, tau." Fina terkekeh. "Iye iye." Karina menatap Jena dengan kagum, lalu tersenyum saat mata mereka bertemu. "Wah." Mereka akhirnya mengobrol banyak hal lain hingga tidak sadar jika mereka telah sampai di depan halte sekolah. Sebenarnya, Karina sejak tadi hanya sekadar menimbrung atau menanyakan beberapa hal, ia merasa masih asing di hari pertama sekolahnya. Meskipun penyambutan geng barunya itu terkesan baik. Fina dan Jena tertawa berdua, sedangkan Jun dan Rehan mengobrol tentang cowok, jadi Karina hanya dapat memandang sepatunya. Ia rasa sepatunya yang tampak paling murah dibandingkan milik keempat orang di sebelahnya. Mendadak perasaan minder menyelimuti gadis itu. Lalu ia memandang Jena yang tengah tertawa bersama Fina. Karina tersenyum memandang senyum cantik Jena, apalagi saat Jena menyelipkan rambut hitam panjangnya ke telinga, makin menambah kecantikan gadis itu. Karina yakin, pasti skincare yang dipakai Jena berharga mahal, sehingga wajahnya tampak glowing nan mulus seperti itu. Jena juga memakai tas ransel yang bermerek. Siapapun yang baru pertama kali bertemu dengan Jena, pasti akan langsung tahu kalau ia adalah anak orang kaya. Karina beralih menatap Fina, gadis manis yang berkulit lebih gelap dari Jena itu. Fina berambut hitam kecoklatan dengan pita yang tersemat di rambut bergelombangnya. Memakai tas branded seperti Jena, dan tak lupa jam tangan yang branded pula. Ia benar- benar tidak ada apa- apanya dibandingkan kedua gadis itu. Mungkin hanya wajahnya saja yang mendukung. Karina mengakui bahwa ia termasuk gadis paling cantik di sekolahnya dulu. Namun sekarang, ada Jena dan Fina, yang sudah jelas jauh berada di atasnya. "Jemputan gue udah dateng." Fina menginterupsi. Ia tersenyum mengedarkan tatapannya. Karina tersentak dari lamunannya. Lalu ia hanya tersenyum lagi. "Gue sama Rehan pulang dulu, ya." Fina menepuk bahu Karina. Kemudian ia mengerti kebingungan Karina itu dan berkata dengan cepat, "Rehan emang biasa nebeng gue balik. Kita searah." Karina hanya membulatkan mulutnya dan mengangguk. "Lo mau bareng?" tanya Fina tiba- tiba. Ia mengangkat alisnya memandang Karina. Karina terkejut lalu hendak mengatakan kalimat penolakannya, namun tidak jadi, karena Jena langsung menyahut. "Karina pulang sama gue sama Jun. Kita 'kan searah." Jena tersenyum tipis. Kemudian menyipit mata. "Udah sana kalian balik!" Fina mengangguk disusul anggukkan Rehan. "Oke, deh. Dadah. See you." Setelah mengucap kalimat itu, gadis itu segera berjalan menghampiri mobilnya di mana supirnya sudah menunggu. "Balik dulu." Rehan berkata dengan santai, setelah melambai dan tersenyum, cowok itu menyusul Fina yang sudah masuk ke dalam mobil. Jena, Jun, dan Karina hanya melambaikan tangan sembari mengumbar senyum mereka, mengiringi lajunya mobil Fina meninggalkan pekarangan sekolah. "Yuk." Jun yang pertama kali berkata. Lalu dengan santainya ia berjalan terlebih dahulu. Disusul oleh Jena dan Karina yang berjalan di belakangnya. Mereka berjalan menyusuri jalan menuju perumahan yang akan membawa mereka ke rumah masing- masing. Jika tidak ada Fina dan Rehan, keadaan berbalik. Senyap. Hanya suara gesekan sepatu mereka dengan aspal yang terdengar. Karina akhirnya memutuskan untuk memulai topik obrolan. "Kalian berdua katanya udah bersahabat sejak TK, ya? Keren dong." Jena mendongak dan menoleh pada Karina. "Iya. Kita memang udah temenan sejak kecil. Em, bahkan sejak sebelum TK keknya." Jun menyeletuk. "Oh iya?" Jena hanya menyipitkan matanya menatap punggung Jun yang berjalan di depannya. "Tepatnya sih Jun yang ke mana- mana selalu ngikutin gue. Makanya gue sama Jun dibilang kek anak kembar, atau pas udah gede dibilang pacaran. Padahal mah kita cuma temenan doang." "Lo pikir gue ngikutin lo terus karena apa?" Jun membalik badan dan memberi Jena tatapan sebal. "Iya, iya." "Hah?" Karina kebingungan. Ia menatap keduanya untuk meminta jawaban. Jena mengerti dengan kebingungan Karina, kemudian segera menjawab, "Oh itu ..." Jena menatap Karina dan Jun bergantian. " ... itu karena Jun jagain gue. Dulu sih dia terpaksa mau ikut gue ke mana pun, tapi lama- lama dia jadi terbiasa dan spontan jadi ikutin gue ke mana- mana. Termasuk sekolah kita yang selalu sama sejak TK." Jena tersenyum mengenang. Karina mengangguk- anggukkan kepalanya. Kemudian ketika ada sesuatu yang masih mengganjal, ia kembali bertanya. "Kenapa Jena harus selalu dijaga?" Ia mengerut dahi bingung. Jena tersenyum setelah memandang Jun yang sudah membalik badan kembali menatap jalanan di depannya. "Gue sakit." Karina tercengang. Matanya terbelalak. "Sakit apa?" Jena kembali tersenyum sedih sebelum menjawab. "Gue lemah jantung. Jadi Jun ditugasin Mama untuk selalu jagain gue." Dan, makin tercengang lah Karina. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD