6- Sakit

1091 Words
"Lo... lemah jantung, Jen?" tanya Karina terbata dengan raut tercengang. Ia tidak pernah tahu bahwa akan langsung mendengar berita ini pada hari pertama mereka bertemu. Gadis itu masih melebarkan matanya. Jena mengangguk, kemudian menunduk. Dalam diam ia tersenyum, namun ada gurat sedih di wajahnya. "Iya. Sejak kecil gue lemah jantung," balasnya. Selanjutnya ia mendongak dan kembali menatap Karina. "Dulu malah parah, sering banget pingsan. Makanya Jun selalu jagain gue." Karina menatap Jena dengan raut sedih. Kemudian ia menatap punggung Jun, yang terlihat tak setegap sebelumnya, bahkan tampak menundukkan kepalanya terus sedari tadi. Cowok itu mungkin hanya diam, namun Karina yakin Jun juga merasa kesedihan saat ini. Karina lalu makin mendekat ke arah Jena. Ia merangkul lengan gadis bermata bulat itu lebih erat. "Lo harus selalu kuat," ucapnya seraya tersenyum lebar. "Gue juga akan ikut jagain lo." Kemudian Karina tersenyum di ujung kalimatnya. Jena menatap Karina dengan haru. Lalu mengangguk. "Makasih, ya, Rin." Jun tiba- tiba membalik badannya, dan tersenyum memandang keduanya. "Jena kuat, kok," sahutnya cepat. Lalu menyipitkan matanya menatap Jena. "Buktinya dia tuh kalau mukul kuat banget, sampai tangan gue sakit," sambungnya diakhiri tawa lebar. Cowok itu sengaja ingin memecah suasana yang tadi tiba- tiba menjadi sedih. Tidak betah berlarut- larut dalam kesedihan. Mereka tak sadar jika sudah sampai di jalan yang tadi disebutkan oleh Karina. Jalan Brotowali. Begitu melihat papan nama jalan itu, mereka segera menghentikan jalan. Jena yang pertama kali menatap Karina dan memberi tahu bahwa mereka telah sampai di jalan yang dimaksud Karina tadi. "Kita udah sampai di Jalan Brotowali," sahut Jena cepat. Ia mengibas rambut hitam panjangnya seraya melepas kaitan tangan Karina. "Rumah lo yang mana?" Karina terkesiap, lalu tampak bingung. Ia menunjuk sebuah rumah besar yang persis berada di pinggir jalan. Rumah berpagar hitam, berlantai dua yang tampak sangat mewah dari luar. Ada dua buah mobil terparkir di halamannya yang sangat luas itu. "Itu," katanya sembari menunjuk rumah yang ia maksud itu. Jena dan Jun melongo menatap rumah yang ditunjuk Karina itu. "Wah, itu rumah lo?" Jena menatap Karina dan rumah itu bergantian. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. "Rumah lo gede banget. Itu bisa buat main sekampung tuh." Jun menyahut sembari terkekeh. Karina tersenyum dan mengangguk. Dengan cepat ia melangkah mendekati rumah itu. "Kalau gitu gue masuk dulu," ucapnya seraya melambaikan tangannya. "Kalian hati- hati." Jena tersenyum lebar dan mengangguk. "Kita sambung jalan lagi, ya." Gadis itu membalas lambaian tangan Karina. "Yuk, Jun," sambungnya seraya menatap Jun yang masih takjub. Jun terkesiap. Kemudian menyengir memandang kedua gadis itu. "Iya, kita balik dulu." Ia terkekeh lalu membalik badan. Menyusul langkah Jena yang sudah berjarak sepuluh meter darinya. Karina hanya dapat tersenyum dan terus melambaikan tangannya. Lalu menunggu di situ sampai Jena dan Jun berbelok di pertigaan, baru lah ia menurunkan tangannya. Karina melunturkan senyum seketika, lalu membalik badan menatap rumah besar itu. Rumah besar yang ia bilang adalah rumahnya. Namun .... itu semua hanyalah bohong. Gadis itu kembali berbalik, dan keluar dari pekarangan rumah itu. Lalu berjalan menuju sebuah gang sempit yang berada di sebelah rumah besar itu. Karina menyusuri gang sempit itu dan menuju rumah di paling ujung gang. Rumah petak yang berukuran hanya empat kali enam meter yang tampak sederhana itu. Rumah yang baru ia dan keluarganya tempati beberapa bulan lalu itu. Kaki Karina makin mendekati rumah itu, dan begitu berada di depan rumahnya, ia berhenti sejenak menatap rumahnya itu. Lalu tersenyum miris memandang rumahnya itu, bagaimana bisa ia membandingkan rumahnya ini dengan rumah besar di depan jalan tadi. Ia pasti sudah tidak waras. "Kalau gue ketahuan gimana?" Karina mendesah sebal. Lalu mengacak rambutnya dengan cepat. "Kamu ngapain berdiri di situ, nak?" Sang Ibu dari dalam rumah meneriakinya. Lalu ke luar rumah untuk mendekati Karina. "Ayo, masuk. Ibu udah masak semur jengkol kesukaan kamu." Ibunya tersenyum lebar. Karina menghentak kaki kesal mendengar nama makanan yang disebut ibunya itu, namun mau tak mau ia pun masuk ke dalam rumah mengikuti tarikan tangan ibunya. "Karina ganti baju dulu, Bu." Setelah mengucap itu, ia segera melepas genggaman tangan ibunya dan melangkah menuju kamarnya. Karina menutup pintu kamarnya dengan sedikit hentakan. "Jangan lupa nanti ceritain ke Ibu gimana hari pertama kamu di sekolah yang baru ya, nak!" seru ibunya. Ibunya hanya menggelengkan kepalanya melihat pintu kamar anaknya sudah sepenuhnya tertutup rapat. Di balik pintu kamarnya, Karina menyandarkan punggungnya. Ia bersandar pada pintu sembari mengedarkan matanya ke penjuru kamarnya yang kecil itu. Ia mulai memikirkan bagaimana besarnya kamar Jena atau kamar Fina itu. Pasti ukurannya tiga kali lebih besar dari kamar miliknya. Dengan sekali hentak, ia melempar tas ranselnya ke atas tempat tidurnya. Kemudian berjalan dengan cepat menduduki kasurnya itu. Karina mengacak rambutnya kembali, dan saat itu ia tak sengaja memandang cermin yang tergantung di dinding. Ia melihat pantulan dirinya sendiri di sana. Ia tampak menyedihkan sekarang. Karina mengacak rambutnya lagi hingga beberapa helainya rontok, sembari berseru dengan kesal. "Gimana bisa gue berbohong kayak gitu?!" *** Jena nyatanya memang memiliki kamar yang ukurannya jauh lebih luas dari kamar Karina. Kamar bernuansa pink yang terdapat ranjang berukuran Queen miliknya. Ada lemari besar dan meja belajar juga di kamar milik Jena itu. Beberapa boneka yang ia beli sendiri dan pemberian orang lain, tersusun rapi di atas rak di dekat meja belajar. Jena memasuki kamar itu dan melempar tas ranselnya ke ujung kamarnya dengan lemas. Gadis itu berjalan lemas menuju kasurnya dan langsung merebahkan tubuhnya, tengkurap begitu saja. Jena menutup matanya untuk menenangkan pikirannya hari ini yang sangat kacau. Namun saat ia memejam mata, sekelebat ingatan tadi pagi terputar begitu saja. Jena sontak kembali membuka matanya. Kali ini ia membalik badan dan bertelentang. Jena memandang langit- langit kamarnya. Jun ... Iya, ia yakin kalau orang yang tadi pagi ia lihat itu adalah Jun. Namun mengapa Jun bisa berpakaian aneh. Jun yang semula memakai seragam OSIS- nya tiba- tiba dalam sekejap memakai baju batik tradisional bahkan dengan blangkon. Aneh bukan? Hal yang membuat Jena makin bingung, jika hal yang ia lihat itu bukannya kenyataan, lalu mengapa ia merasa tadi yang dilihatnya itu sangat nyata? Seperti merasakan dejavu. Namun bagaimana bisa hal yang sama sekali belum ia lihat sebelumnya, menjadi dejavu untuknya? "Apa gue ... udah gila?" Jena menggelengkan kepalanya. Ia menggeleng kuat- kuat. Tidak. Ia jangan sampai gila dahulu. Kemudian Jena reflek memegang ke bagian kiri dekat lengan kirinya, tepatnya memegang dadanya. Ia tadi merasakan jantungnya serasa ditembak oleh peluru berulang kali, dan sakitnya bukan main. Hal yang aneh. Ia tidak pernah merasakan sakit yang seperti itu. Sebelumnya ia hanya merasa nyeri saja, dan jika pingsan pun, sakitnya tidak sampai seperti ditembaki peluru begitu. Sebenarnya ... apa yang terjadi sih dengannya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD