7- Rutinitas

1520 Words
"Jena, udah ditunggu Jun, nih!" Teriakan itu bergema di seisi rumah kediaman Jena. Marlina, Mama Jena itu segera menetralkan ekspresi wajahnya ketika matanya bersitatap dengan manik milik Jun. "Tunggu ya, Jun. Jena kalau dandan 'kan lama," ucap Marlina sembari tersenyum tipis. Ia masih merasa canggung pada Jun karena kemarin sudah memarahi cowok itu dengan keras. Jun hanya dapat menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. "Gak apa- apa kok, Tante," sahutnya singkat. Cowok itu mendudukkan dirinya di sofa yang terletak di ruang tamu itu. Lalu ia mengedarkan tatapannya menatap ruang tamu yang terdapat banyak foto keluarga itu. Jun tersenyum senang menatap foto dirinya dan Jena terpajang di salah satu bingkai. Foto itu diambil saat mereka berdua lulus SMP, dua tahun lalu. "Eh, ada Jun." Jun segera mendongak, memandang seseorang yang memanggil namanya itu. Ternyata Papa Jena tengah berjalan dari arah dalam, menuju ke arahnya. Cowok itu sontak bangkit berdiri dan tersenyum. "Iya, Om." Jun segera menyambut uluran tangan Papa Jena yang mengajaknya bersalaman. Dengan cepat ia bersalim. Riko, Papa Jena itu tersenyum lebar sambil menepuk punggung Jun. "Mau sarapan dulu? Kamu belum sarapan, 'kan?" tanyanya. Lalu menatap istrinya sembari berucap, "Ma, suruh Jun sarapan dulu dong." Marlina terkesiap. Ia bahkan lupa menawarkan hal itu. "Jun, mau sarapan dulu?" tanyanya. Jun sontak mengibaskan tangannya ke hadapan sepasang suami istri itu. "Gak usah, Om, Tante. Tadi aku udah sarapan sama Ibu di rumah," tolaknya dengan nada lembut. Ia meringis lebar. Riko mengangkat alisnya tinggi. "Bener?" Jun dengan cepat mengangguk berulang kali. Akhirnya Riko pun menyudahi ajakannya itu karena Jun sudah menolaknya. Sudah kebiasaan bagi Jun untuk mendapatkan ajakan makan bersama di keluarga Jena. Bahkan ia sering sarapan atau makan siang bersama keluarga Jena itu. Namun tentu saja terkadang ia merasa tidak enak karena sudah diperlakukan sangat baik oleh keluarga itu. "Makasih ya kamu udah jagain Jena," ucap Riko tiba- tiba. Lelaki itu kembali menepuk bahu Jun. "Kemarin kita khawatir banget pas dengar kabar kalau Jena pingsan." Jun mengangguk. "Iya, Om. Sama- sama. Udah tugas Jun untuk selalu jagain Jena." Marlina yang mendengar itu akhirnya ikut memasang raut rasa bersalahnya. "Maafin juga kemarin Tante marahin kamu. Maaf, ya, Jun." Wanita itu menggenggam tangan Jun dengan tiba- tiba. Lalu mengusapnya dengan lembut. Sebenarnya ia jarang marah besar seperti itu. Apalagi ini kali pertamanya ia memarahi Jun hingga membentaknya seperti kemarin. Jadi Marlina langsung merasa bersalah. "Gak kok, Tante. Gak apa- apa. Udah sewajarnya Tante khawatir begitu, jadi wajar kalau marahin aku." Jun tersenyum membalas elusan tangan Marlina. "Tentu aja Mama harus minta maaf sama Jun." Semua orang yang ada di ruang tamu itu sontak menoleh pada sumber suara tadi. Jena berjalan ke arah Mamanya dan melipat tangannya di depan d**a. "Mama 'kan udah bentak Jun kayak gitu. Kasihan Jun kena marah sama Mama mulu," sambung Jena lalu mencebik bibirnya. Marlina tersenyum. "Iya, ini Mama lagi minta maaf." Lalu ia menatap Jun dengan cepat. "Maaf ya, Jun." Jun hanya dapat mengangguk berulang kali. "Santai aja, Om, Tante." Cowok itu tersenyum lebar. Jena yang melihat hal itu langsung tersenyum lebar. "Oh iya, Om jarang 'kan kasih kamu uang saku?" Riko memecah hening. Lelaki itu mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya dan membukanya di hadapan Jun. Setelah ia mengeluarkan beberapa lembar uang, Riko segera menyodorkannya pada Jun. "Ini, buat kamu." Jun langsung menolaknya dengan lembut. Ia dorong kembali uang itu dengan sopan. "Gak usah, Om. Tadi Ibu udah kasih aku uang saku, kok." Seperti biasanya, Jun selalu saja menolak apapun pemberian dari keluarga Jena. Riko tetap berusaha keras mendorong uang itu ke hadapan Jun. Lalu dengan sekali tarik, ia sudah meletakkan uang itu ke dalam genggaman Jun. "Disimpan. Anggap aja sebagai rasa terima kasih dari Om dan Tante Marlina karena kamu udah selalu jagain Jena," keukeuhnya sembari tersenyum. Jena menatap Jun yang masih merasa tidak enak itu. Lalu dengan tegas berucap, "Udah, terima aja, Jun. Lumayan." Gadis itu terkekeh. Jun memandang Jena dan uang di tangannya bergantian. Ia ingin menolak lagi, namun ia juga merasa tidak enak terus menerus menolaknya. Akhirnya ia menerima uang itu. "Terima kasih, Om." Riko dan Marlina tersenyum lega menatap Jun yang akhirnya mau menerima uang itu. Riko masih menatap Jun hingga sebuah tangan terjulur di depannya. Jena tersenyum lebar sembari menengadah. "Buat Jena mana?" tanya gadis itu sambil mengedip- ngedipkan matanya. Riko terkekeh, begitu juga dengan yang lain. "Kamu 'kan udah Papa kasih minggu lalu." Jena mencebik bibir kesal. "Itu 'kan minggu lalu, Pa. Minggu ini belum." Riko tak mau mendengar perkataan Jena dan malah makin menutup rapat- rapat dompetnya, lalu memasukkan dompet itu ke tempat semula. Jena makin mencebik dalam. "Ih, Papa pelit!" Riko hanya memeletkan lidahnya meledek anak gadisnya itu. Marlina yang melihat suami dan putrinya saling mengejek itu akhirnya bersuara. "Nanti Mama kasih kamu uang jajan. Sekarang kamu berangkat dulu, udah siang." Anak gadisnya yang masih mencebik itu akhirnya tersenyum lebar. "Benar loh, Ma?" Setelah melihat Mamanya akhirnya mengangguk, Jena bersorak girang. "Ya udah, yuk, berangkat." Jena tersenyum. Dengan cepat ia menyalimi tangan Papa dan Mamanya sembari berujar, "Berangkat dulu, Pa, Ma." Jun ikut menyalimi tangan kedua orangtua Jena itu. "Pamit dulu, Om, Tante." Cowok itu mengangkat kepalanya dan melirik ke sebuah kamar di dekat ruang tamu. "Salam buat Nenek." Kemudian ia sudah tidak melihat keberadaan Jena di ruang tamu itu. Dengan cepat cowok itu menyusul langkah Jena. "Hati- hati di Jalan." *** Jena dan Jun berjalan bersisian menyusuri komplek perumahan mereka dalam diam. Mereka tidak perlu terburu- buru berjalan karena waktu masih menunjuk pukul enam lebih tiga puluh. Bahkan jarak ke sekolah mereka hanya tujuh ratus meter. Jena sedari tadi mendengarkan musik lewat earphone- nya, sedangkan Jun memainkan ponselnya. Mereka biasa seperti itu. Menghabiskan waktu dalam diam, tidak ada yang berbicara, namun tetap nyaman. Meskipun terkadang mereka sesekali mengobrol, namun Jena ataupun Jun tidak selalu ingin membicarakan hal yang mereka lalui di sekolah. Hal ini merupakan rutinitas mereka berdua seperti biasa. Jun menatap jalan yang membawanya kembali ke arah rumahnya. Ia teringat bahwa Karina tinggal di jalan sekitar wilayah itu, dengan cepat cowok itu menghentikan langkahnya. "Kita berangkat bareng Karina?" tanya Jun. Jena yang juga menghentikan langkahnya, kini mendongak menatap cowok itu. "Karina?" Jena mengangkat alisnya. Ia bahkan lupa bahwa sekarang mereka harus berangkat bersama dengan Karina, si anak baru itu. "Oh, iya. Gue coba chat dia." Jun hanya mengangguk. Lalu ia memandang rumah besar di hadapannya itu. Rumah yang ia tidak tahu siapa pemiliknya sebelumnya, namun akhirnya tahu bahwa rumah itu milik keluarga Karina. "Kata Karina kita disuruh berangkat duluan." Jena menunjukkan layar ponselnya ke hadapan Jun. Cowok itu segera memundurkan kepalanya. Lalu menyingkirkan tangan Jena agar menjauhkan ponsel dari matanya. "Ya udah. Kita lanjut jalan lagi, yuk." Jena hanya menganggukkan kepalanya, kemudian mengikuti langkah Jun yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sebenarnya Papa dan Mama Jena selalu bersikeras untuk mengantarnya ke sekolah dengan mobil, dibanding berjalan kaki. Namun Jena selalu menolaknya. Jena beranggapan bahwa berjalan kaki selama beberapa menit sangat bagus bagi kesembuhan penyakitnya. Lagipula hanya sepuluh menit untuk menuju sekolahnya, daripada harus susah payah menggunakan mobil. "Lo masih berpikiran Karina aneh?" Pertanyaan tiba- tiba dari Jun membuat langkah Jena terhenti. Ia mendongak dan menatap cowok bermata bulat di depannya. "Hah?" Gadis itu melepas earphone- nya. Jun mengedik bahu. "Lo bilang tatapannya Karina itu aneh." Jena mengangkat alisnya. Lalu menyimpan ponselnya ke saku roknya. "Oh, itu mungkin cuma perasaan gue aja." Gadis itu membenarkan tas ranselnya, kemudian ia melanjutkan langkahnya. Diikuti Jun yang berjalan di sampingnya. "Setelah gue chatting- an sama dia, terus dia juga udah masuk ke grup chat kita, gue rasa Karina anaknya asik," sambung Jena. Jun hanya mengangguk- anggukkan kepalanya menatap aspal di depannya. Setelah itu ia melihat gerbang sekolah mereka sudah tampak dari tempat mereka berjalan kini. "Iya, makanya gue pikir ... gak baik kalau gue tiba- tiba berpikiran negatif tentang Karina. Itu mungkin kesan pertama aja pas ketemu dia." Jena menyambung kalimatnya lagi. Jun mengangguk- angguk lagi kali ini sembari menatap Jena. "Terus ... kenapa kemarin lo tiba- tiba pingsan, Jen?" tanyanya random. Setelah dipikir- pikir, ia baru menanyakan hal ini pada Jena setelah seharian kemarin membiarkan dirinya menunggu Jena sendiri yang menjelaskan. Karena biasanya Jena akan langsung memberitahu apapun pada Jun, apalagi jika menyangkut penyakitnya. "Lo udah lama gak pernah pingsan, 'kan, Jen? Aneh banget lo tiba- tiba pingsan gitu." Jun kini mempercepat langkahnya agar berjalan di depan Jena, setelah itu ia membalik badan dan berjalan mundur sambil menatap Jena. Jena yang mendapat pertanyaan itu sekaligus, mendadak gugup. Sebenarnya ia pun tak tahu alasan sebenarnya mengapa ia pingsan kemarin. "Gue ..." Jena menghindari tatapan mata Jun. Apalagi kini siswa- siswi lain sudah bersliweran di depan mereka. Ia tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya pada Jun, 'kan? "Kalau gue ingat, terakhir kali lo pingsan itu pas SMP, itu pun pas lo lagi benar- benar kecapekan hari itu. Anehnya kemarin lo tiba- tiba pingsan gitu aja padahal kita gak ada kegiatan berat." Jun masih memberondong Jena dengan pertanyaannya. Cowok itu sesekali membalas sapaan murid yang lewat, lalu kembali menatap Jena dengan selidik. Sedangkan gadis yang ditatapnya itu malah mengalihkan tatapannya ke arah lain, menghindari tatapan Jun itu sembari mencoba mencari alasan yang tepat untuk diberikan pada Jun. Namun tidak kunjung ketemu. Apa yang harus Jena katakan? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD