[HAGIA]
Tak urung kuikuti keinginan Elfaraz. Penasaran juga, sih, apa maunya kali ini. Mengikuti setiap langkahku seperti tìkus yang terus mencicit. Aku, Hagia Putra Dewangga, pasti akan membuka kedua tanganku kalau dia datang dengan seperti ànjing yang setia pada tuannya. Sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi dari seorang berego tinggi macam Elfaraz Mirza.
Now, here I am. Sengaja aku memilih sebuah bar kecil namun penuh sesak, agar kami nanti tidak terlalu menggiring perhatian orang lain. Sekalipun lebih nyaman, bar yang sepi, tentu akan membuat dinding memasang telinga juga lantai yang ikut bicara. No way! Aku tidak menginginkan hal itu.
Sementara aku diantar Demir ke jalan Istiklal ini, Hilman kusuruh berjaga di Mucevherler, menunggu si lelaki muda peneleponku itu. Muda? Aku yakin usianya belum sampai dua puluh lima tahun. Suaranya menunjukkan hal itu, juga segala ketergesa-gesaannya, caranya menyapa, dan, ah, pokoknya aku yakin dia masih sangat muda.
Seorang anak muda yang ingin mendapatkan sesuatu dalam jumlah besar dengan cepat, tak peduli bagaimana pun caranya.
Kulirik Bell&Rose di pergelangan kiriku. Aku sangat menyukainya, tipe terbaru yang berhasil kudapatkan karena hubungan baik keluargaku dengan pemilik perusahaan distributor arloji bermerek itu. Aku bisa-bisa saja membeli arloji yang dibuat oleh dua sahabat, Bruno Belamich dan Carlos Rosillo—sebagai proyek bersama saat mereka di universitas, langsung di kantor pusatnya. Tapi toh, aku tidak punya waktu, kecuali memang sedang berkunjung ke Eropa untuk urusan pekerjaan, seperti yang kulakukan saat ini, di sebuah negara yang menempati dua benua besar, Eropa dan Asia.
Bisa kulihat pintu bar terbuka, seorang pengunjung datang. Berharap itu Elfaraz, aku telah menunggu lebih dari setengah jam, membuang percuma waktuku hanya untuk si berengsek itu.
"Sophia, Dear!" Seorang laki-laki dari balik meja bar berseru senang sambil melambaikan tangannya ke arah pintu, kuikuti arah pandangannya itu.
Viola! Ternyata si gadis garang yang datang.
There's nothing such a coincidence, right?
"Tuan Halil!" balas Sophia, karena mereka berdua terlibat dalam percakapan bahasa Turki yang tidak kumengerti, jadi percuma kutajamkan telinga, meski mataku sangat awas mengikuti Sophia dan laki-laki itu ke sudut kanan bar, di depan mejaku.
Di sana ada ruang tertutup tirai merah. Lelaki yang kalau aku tak salah dengar, tadi Sophia memanggilnya 'Halil', membuka tirai itu dan mengikatnya di sisi kanan kiri dinding. Sebuah piano tua berada di sana, sekilas bisa kulihat itu Stainway, bagus juga untuk sebuah bar kecil, dan hey! Mataku terperangkap pada sosok Sophia yang kini duduk di bangku pianis lalu mulai memainkan piano itu.
Menarik sekali! Dia bekerja paruh waktu sebagai pemusik bar? Sekadar hobi atau demi uang? Aku jadi penasaran dengan pendapatan yang dihasilkan hotel tua itu.
Gerak lincah jemari Sophia di atas tuts piano menghiburku. Bosanku mulai berkurang, juga ruwetnya isi kepalaku mulai bisa kuenyahkan. Lagu ini, hmm, rasanya aku pernah dengar. Oh, ini pasti Rondo alla Turca atau Turkish March karya si genius Mozart di usia dua puluh tujuh tahun. Tak sia-sia, Mama dulu memaksaku kursus piano klasik, meski tidak sampai selesai pun tidak begitu mahir, aku sempat melakukan resital pertamaku, yang ehm, berakhir kacau karena aku membuat kesalahan nada.
Yah, seseorang tidak mungkin hebat dalam segala hal, bukan? Kekurangan seperti yang terjadi padaku menunjukkan aku manusia biasa. Bisa kupastikan, hanya itu kekuranganku, selebihnya? Sembilan puluh sembilan koma sembilan persen sempurna.
Tuhan sengaja memberiku satu kekurangan supaya Dia tetap menjadi Tuhan dan aku adalah hambanya.
Kutangkap mata Sophia ketika melirik ke arahku, lalu tersenyum. Aku mengangkat botol minumanku, juga memberinya anggukan samar sebagai apresiasiku terhadap permainannya siang ini. Sejujurnya, gadis itu cukup cantik bila tersenyum seperti itu dan dia menggunakan riasan di wajahnya, mungkin untuk kebutuhan tampil di atas panggung. Pakaian yang dikenakannya berupa kain sifon hijau tipis yang jatuh dan melambai. Sebagian rambutnya tertutupi kerudung dari bahan yang sama. Bibirnya dipoles gincu merah dan tebal, juga pipi dan kelopak mata yang tak luput dari pulasan perona.
Aku lebih menyukai sedikit riasan natural yang biasa dia kenakan ketika di hotel. Atau dia tidak perlu mengenakan riasan sama sekali, ya? Entahlah, yang jelas dia tampak jauh lebih muda dan segar. Kalau yang sekarang terlihat jauh lebih dewasa, memikat, juga ehm, seksi.
"Halo, Hagia. Maaf aku terlambat. Kau tau? Cheillo berdandan lama sekali begitu dia dengar kita akan bertemu. Well, aku tidak ingin mengejaknya, juga harus menyalahkan dia atas keterlambatan ini."
[SOPHIA]
Emir Yavas sudah gîla rupanya! Memaksaku berlama-lama di kafe kampus setelah kelas Profesor Fariha Kaya usai. Dan yang lebih gîla lagi adalah, well yeah, aku harus mengakui bahwa aku tergoda untuk ikut! Untung saja tadi Ayse mengingatkan jadwalku, kalau tidak, sudah pasti Tuan Murat Çelik akan memecatku dan memperkerjakan pianis baru.
Aku memaksakan Emine—nama mobil tuaku melaju kencang dari kampus menuju jalan Istiklal. Tak salah kuberi nama Emine, dia tidak pernah gentar sedikitpun dengan tekanan yang aku berikan padanya. Emine juga tidak pernah rewel, kuacungi kedua ibu jariku untuk Emir Yavas. Berkat dirinyalah, Emine selalu dalam kondisi stabil. Bakat dan intuisi sahabat baikku itu dalam hal mekanika dan utak atik kendaraan bermotor, sudah tidak diragukan lagi.
Khusus untuk aku, akan sering aku menyebut istilah 'itulah gunanya seorang sahabat', dia sering memberikan harga servis yang bisa menghemat kantongku. Aku yakin sih, ayah Emir, Tuan Mahmoud Yavas tidak tau anaknya memberikan diskon besar untukku. Biarlah, aku toh tidak meminta-minta atau mengemis padanya. Dia sendiri yang suka rela menjebloskan diri ke dalam jurang bahaya. Sekali lagi kubilang, itu gunanya sahabat, dan perlu kutekankan, aku tidak akan pernah memanfaatkan atau menjerumuskan teman. Tidak sama sekali.
Esra Halil, si manager bar, bukan orang yang sabar. Berulang kali dia menghubungi ponselku. Terpaksa aku menerima panggilan sambil mengemudi. Mengganggu konsentrasi saja! Sesuai namanya, Esra, selalu menginginkan segala sesuatu dengan cepat dan segera. Padahal biasanya aku selalu datang tepat waktu, baru kali ini terlambat tapi dia bersikap seolah aku selalu datang terlambat. Syukurlah tadi aku sempat berganti baju di toilet kampus. Kalau tidak, akan sangat menggelikan bermain piano dengan celana jeans lusuhku tadi.
Segala ketergesa-gesaan terbayar lunas di saat jemariku menyentuh tuts Stainway. Si hitam anggun keluaran Jerman itulah yang menyebabkan aku dulu memohon agar Esra Halil mengajukan namaku sebagai pianis pada bosnya, Tuan Murat Çelik. Kepercayaan Esra Halil juga Tuan Murat Çelik padaku akan terus kujaga, agar aku juga tidak kehilangan pekerjaan ini.
Terkadang aku merasa putus asa. Pengunjung bar lebih menikmati minuman atau serius dengan obrolan mereka ketimbang mendengarkan melodi karya klasik. Yah, aku terlalu menghormati Stainway dengan tidak memainkan melodi hingar bingar dan lagu-lagu yang hanya menjadi trending sejenak saja. Bagiku, Stainway semewah Mozart, Beethoven, Sebastian Bach, juga Frederic Chopin. Musik hingar bingar atau musik populer memiliki banyak penggemar, sekaligus banyak kekurangan lainnya. Sedangkan musik klasik akan selamanya terdengar indah di telinga, meski tidak semua orang mengenalinya. Well, tidak ada satupun di dunia ini yang menjadi sempurna tanpa cela. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Aku sudah masuk di bait tengah Rondo alla Turca, satu lagu kesukaanku, ketika kedua mata ini tertumbuk pada laki-laki mentereng yang duduk di kursi sudut kanan bar. Tuan Hagia Dewangga. Aku hapal namanya dengan jelas, meski di bagian akhir agak sulit melafalkannya. Bukankah pernah kubilang, Baba mengajariku untuk mengingat dan mengenal siapa penyewa kamar di Mücevherler?
Dia—Tuan Hagia, mengenaliku rupanya mengangkat gelas birnya dan mengangguk samar untukku. Cukupkah kubalas dengan senyum tipis saja? Kurasa, ada semacam dorongan kuat di hatiku kalau dia menikmati permainanku menjelang sore ini.
Baguslah. Supaya dia bisa menghargai orang lain, tidak bersikap sok. Aku yakin dia sangat kaya raya, tapi kalau dia berkeliaran di Mücevherler dan sekitar lingkungan kami, sudah seharusnya dia menyesuaikan diri.
Eh, apa urusanku? Selama ini dia tidak pernah mengganggu. Kecuali yah, nongkrong berjam-jam di Galata—kafe milik Fatma Şahin di seberang hotel kami, dan menyuruh-nyuruh asistennya mondar-mandir melakukan pekerjaan untuknya.
Buatku itu cukup menyebalkan, juga sangat angkuh!
*****