[HAGIA]
Ini hari ketiga aku berada di hotel busuk tanpa ada kejelasan tentang si penelepon gelap itu. Isi kepalaku berputar-putar, terutama karena pertemuanku dengan Elfaraz Mirza kemarin sore. Terkadang, aku tidak tau harus bersikap apa dengan mataku yang setajam mata elang, juga instingku yang selalu tepat menilai sasaran. Kemarin, dalam waktu singkat aku bisa tau, musuh bebuyutanku itu menempatkan beberapa penjaganya dalam radius dekat dengan kami. Juga beberapa snipers di atas atap dan di balik jendela dalam gedung-gedung tua dan kosong di sekitar tempat kami bertemu.
Sialnya, aku datang sendiri. Ah ya, Hilman menyelipkan pisau Swiss Army menemani di saku celana dan Zemheri Demir berhasil menyediakan sepucuk Colt 1911 yang kusimpan di saku dalam jasku. Colt 1911, jenis pistol tua yang telah beredar selama tujuh dekade di Amerika Serikat. Karya John Browning itu sudah melegenda bukan hanya di Amerika saja, tapi juga di seluruh dunia. Tidak mungkin Colt 1911 bisa bertahan selama itu kalau bukan karena kualitas menuju sempurnanya, kan? Menurutku, kecepatannya memuntahkan peluru dalam hitungan 1.225 kaki per detik, pun nyaman dalam genggaman, menjadikannya pantas menyandang predikat legenda yang juga diminati kalangan rumahan di negeri Paman Sam.
After all, itu yang terbaik yang kupunya sebagai pengaman untuk menghadapi Elfaraz Mirza berikut kroni-kroninya. Dan aku menghargai bagaimana mereka berdua—Hilman dan Demir, mengupayakan kedua senjata itu agar bisa berada di tanganku.
Kemarin, kami hanya berbasa-basi sejenak di bar. Elfaraz mengajakku melanjutkan obrolan ringan sebagai sesama teman semasa kuliah, ke sebuah taman di dekat jalan Istiklal. Aku tau maksudnya, berada di tempat terbuka, tentu akan mudah baginya menyerangku. Sayang niatnya itu tidak terkabul. Banyak orang lalu lalang di sekitar kami di taman itu. Ia tidak mendapatkan waktu hanya berdua denganku dalam artian yang sebenarnya. Kurasa dia masih memikirkan keselamatannya sendiri, jika menghabisiku di ruang terbuka dengan banyak saksi. Namun begitu, dia berusaha mengintimidasi sebelum kami berpisah.
Dipikirnya, aku takut?
"Ezza Internasional telah mendapatkan tender Tarlabaşı secara khusus dari parlemen. Sebaiknya kau mundur, Hagia. Tinggalkan Turki, tidak ada gunanya berlama-lama di sini."
Gaya bicaranya, wajah juga sorot matanya kurekam betul di otakku. Agar semangatku semakin terpacu untuk bisa mengalahkannya dan untuk kutunjukkan, aku tidak akan pernah menyerah sampai nafas terakhirku.
"Kau boleh bermain kotor dengan orang-orang di parlemen. Silakan saja. Kalau kenyataannya Tarlabaşı sudah ada di dalam genggamanku, mau tidak mau kau harus mengambilnya dariku. Sebagai catatan, aku tidak berkenan menjualnya pada siapapun, El, terutama padamu!"
Elfaraz tertawa mencemooh. "Tidak ada bukti atas ucapanmu, Gia. Kau boleh saja menghayal tinggal di angkasa luar, membangun istana megah di Mars. Tapi bumi lebih cocok untukku dan Ezza Internasional lebih pantas menguasai dunia ketimbang Mulia Corp yang sebentar lagi berada di ambang kehancuran."
Dia lalu mendekatiku, jemarinya mengusap debu (yang kuyakin tidak ada) di dekat bahu kananku.
"Kau bisa pilih, melihat Mulia Corp hancur di tanganmu sendiri atau menyerahkannya untuk bergabung di bawah bendera Ezza Internasional," bisiknya lalu meninggalkanku di taman itu.
Berengsek! Segera kutekan nomor ponsel Indonesia.
"Mario, kau sudah kirim seluruh data Tarlabaşı ke Hilman?"
"Sudah," ucap Mario sedikit terburu-buru. Bisa kubayangkan dia berada di balik meja kerjanya, dengan berkas-berkas terserak, mengurus banyak hal dalam satu waktu sekaligus. Itu harga yang harus dibayarnya untuk bisa masuk ke dalam keluarga Dewangga. Mengambil satu-satunya adik perempuanku sebagai istri, bukan hanya Papa dan Mama saja yang memberinya beban tanggung jawab, tapi aku juga. Harus seperti itu, untuk pantas berada di posisi yang banyak orang impikan. Natasha, adikku itu, bukan hanya seorang model terkenal, tapi juga duduk di kursi pemegang saham terkuat di Mulia Corp. Seorang laki-laki sejati harus bekerja keras untuk menjadi suaminya, bukan hanya bermodalkan organ yang tersemat di antara selangkangannya saja, kan?
Sejauh ini, Mario berhasil membuat Natasha tersenyum bahagia. Kedua orang tuaku pun tersenyum karenanya. Meski tetap saja, dia akan terus berada di bawah pengawasan kami, yang tidak akan pernah lalai barang satu detik pun.
Mario sahabatku semasa sekolah menengah, di sebuah sekolah swasta khusus laki-laki di Jakarta. Kami—aku, Mario, Randy, Marcel sudah berteman dekat sejak kelas satu. Reno, si bule sìnting, bergabung di kelas dua, menyusul kepindahannya dari Portugal untuk tinggal bersama neneknya yang asli Indonesia. Dan kami menjadi lima sahabat tak terpisahkan sejak saat itu.
Orang tua Mario dulunya seorang pengusaha konstruksi. Menjalin kerjasama dengan Mulia Corp saat pucuk pimpinan masih dipegang oleh papaku, Rahman Dewangga. Sayangnya, entah karena pengelolaan yang salah atau kecurangan internal, perusahaan itu jatuh bangkrut. Bram Taruna, ayah Mario, menyerah pada hidup setelah stroke membuatnya tinggal berbulan-bulan di rumah sakit. Papa mengakuisisi perusahaan bangkrut itu, memberi tunjangan pendidikan dan biaya hidup untuk Mario, Michael, dan Tante Felicia, ibu mereka, untuk bisa hidup layak hingga saat ini.
Adilkan, jika aku memberinya beban kerja melebih orang lain? Kupercayakan operasional perusahaan di tangannya.
"Ada yang meragukan tentang tender Tarlabaşı, tapi gue belum tau itu apa."
"Bukannya semua informasi sudah jelas dan valid?"
"Yeah," aku sendiri bisa mendengar getar keraguan dalam nada suaraku. "Mungkin saja karena, hm, eh, karena Elfaraz."
"Ada apa lagi dengannya?" Bisa kupastikan Mario terkejut.
"Dia ada di sini. Baru saja kami bertemu. Dia bilang, sudah mendapatkan tendernya langsung dari orang parlemen."
"Nonsense!" Mario menggebrak meja, kujauhkan ponsel dari telingaku. Merusak pendengaran saja!
"Aku sendiri mendapatkannya dari orang parlemen. Dia bilang, si Tuan Fatih Shimshek itu, dia pemegang kendali atas tender Tarlabaşı."
Kalau sedang bersikap bodoh seperti ini, aku menyesali keputusanku mengangkat Mario sebagai adik ipar.
"Sudah berapa tahun lo kerja? Money talks, Dude! Lo pikir si Tuan Sandsack lo itu nggak akan ngiler kalau Elfaraz nyodorin dia duit lebih banyak dari yang kita tawarkan? Dia bahkan bebas menjual kekuasaannya itu ke pihak lain lagi kalau dia mau dan kalau ada yang menawarkan lebih banyak lagi."
Mario diam, semoga saja menyadari betapa naif jalan pikirannya dan lalu berusaha lebih keras mengubah pola pikirnya itu. Aku membutuhkan dia sebagai salah seorang direktur yang bisa diandalkan Mulia Corp.
"Lo mau gue susul ke Istanbul, Gi?"
"Buat apa?"
"Well, at least, gue bisa samperin Mr. Fatih Shimshek dan minta pertanggung jawabannya."
"Nope! Nggak perlu. Mumpung gue ada di sini, gue sendiri yang akan menyelesaikan semua urusan di sini. Lo urus aja kantor selama gue nggak ada di Indonesia."
"Oke, fine."
"I am really count on you, Mario."
"Beres, Bos. Lo take care di sana, oke?"
Kututup sambungan telepon sambil berdoa kuat-kuat agar Tuhan mau mendengar. Semoga Mario memang bisa kuandalkan mengurus kantor. Aku tau, aku kerap melakukan hal-hal kotor atas nama bisnis dan pekerjaan. Aku juga jarang berdoa, tapi untuk urusan yang satu ini, aku benar-benar mengandalkan keajaiban tangan Tuhan.
Satu lagi nomor Indonesia yang harus kuhubungi. Ini sudah panggilan ketiga tapi belum juga diangkat. Tumben, tidak biasanya dia mengabaikan panggilanku begitu la—
"Gia, My Bro! What's up, Man?"
"Lama banget lo angkat telepon gue?"
"You're not in the right time, Man. And please, Gi, you sound like wifey!"
Dari suara di latar belakang telepon, aku sudah bisa tebak Randy, sahabatku itu sedang berada di mana dan melakukan apa.
"Gìla lo, masih sore udah main jedag jedug aja!"
"Hey, hey, man, listen to me, nggak ada itu yang namanya terlalu pagi untuk menikmati hidup. Makanya, jangan kerja aja yang lo pikirin, Gi!"
Suara tawa Randy sedikit terdistraksi. Bisa kutebak itu apa, dua orang perempuan di kanan kiri menghimpitnya rapat, dan tangan-tangan mereka menggerayangi tubuhnya. Mungkin juga bukan dengan tangan, melainkan dengan lidah, ah, persetan. Dasar penjahat kelàmin sahabatku yang satu itu! Predikat yang kami sematkan untuknya. Atas prestasinya menaklukkan banyak perempuan, yang anehnya selalu suka rela menjadi korban sahabatku itu.
"Duh, Ran! Back sound lo ngeganggu banget!"
"Kan gue udah bilang, lo nggak tepat waktu, Bro!"
"Oke, I will call you in five more minutes or just leave you a message?"
"Important?"
"Dead or alive thing."
Kudengar Randy bicara berbisik-bisik. Mungusir perempuan yang menggelayuti dirinya, kurasa.
"Oke, now you can talk, Gi."
"Send me your men, Ran. I need to protect myself."
"Hey, lo mau jadi buronan di negeri orang? Bukannya di sana aman?"
Aku melepas nafas panjang. "I wish, tapi sayangnya enggak. Barusan gw ketemu Elfaraz Mirza. Dia bawa bodyguards, juga snipers."
"What? Seriously? What are guys up to?"
"Yup! That's why I need your men. Kejadian barusan lumayan intimidating me, you know."
"Oke, oke, gue bisa paham situasi lo. Segera gue kirim orang terbaik. Three men, enough?"
"Lo yakin itu cukup?"
"I give you the best I have, Gi."
"Oke, I trust you."
"Datanya segera gue kirim ke email lo langsung. Secepatnya mereka berangkat nyusul lo ke Istanbul."
"Oke, Ran. Trims so much. Gue selalu bisa ngandelin lo."
"Anytime, My Bro, anytime."
"Now you can continue with your girls."
"Ah, the moment is over, thanks to you," kekeh Randy.
"Gue bakal kasih bonus lebih di bill yang lo kirim, sebagai balasan penyesalan gue ngerusak acara lo barusan."
"That's, My Bro! Thanks anyway, Gi."
Lengking tawa Randy menutup pembicaraan kami. Sekarang saatnya kembali ke hotel tua itu dan kalau si penelepon gelap itu belum datang juga, aku akan mengambil langkah berikutnya. Memutar sedikit rencanaku, untuk bergerak lebih cepat dibanding Elfaraz Mirza.
*****