[Sophia]
"Ne ... Aku ingin belajar bahasa Indonesia!"
Nene Yasmine menjewer telinga Salma. "Young lady, biasakan masuk rumah dengan mengucap salam. Jangan seperti anak yang tidak diajarkan orang tuanya."
Bisa kudengar Salma menggerutu, "Nene mulai pikun rupanya. Aku memang tidak pernah mengenal orang tuaku!" Wajah adikku itu bersungut-sungut, dia menghempaskan tas sekolah juga tubuhnya ke sofa.
"Telinga Nene masih bisa mendengar jelas dan ingatanku lebih tajam daripada anak bau kencur, Salma. Apa kau kira Nene dan kakakmu bukan orang tua untukmu?" tegur Nene Yasmine.
Kubiarkan saja Salma dan Nene berdebat. Mereka berdua benar, kan? Salma kehilangan Baba dan Anne tepat dua bulan sebelum ia berusia lima tahun. Sedikit sekali kenangan yang bisa diingatnya tentang mereka berdua. Aku bisa apa, selain membiarkan Salma menumpuk album foto di kamarnya, mencetak foto pernikahan kedua orang tuaku dalam ukuran besar yang juga dipajang di kamar adik kecilku itu.
Tidak cukup, kan?
Kalau bisa memilih, aku ingin Baba dan Anne masih ada, agar mereka sendiri yang menyiapkan sarapan dan bekal, mengantarnya ke sekolah, menjewernya ketika dia sangat nakal, lalu memberinya nasihat panjang.
Well, semua itu bisa dilakukan oleh aku dan Nene selama ini, sih. Hanya saja, kami berdua bukan orang tua yang sebenarnya. Dan menurutku, Nene terlalu memanjakannya, menggunakan alasan kasihan pada adikku itu. Lihatlah sekarang, Nene sibuk menciuminya seperti bayi cuma karena Salma bisa melafalkan kosakata singkat dalam bahasa Indonesia dengan benar.
Menyebalkan!
"Bilang sama Nene, kenapa kamu tiba-tiba begitu ingin bisa bicara bahasa Indonesia dengan lancar?" Nene Yasmine mengangkat dagu Salma. Ternyata, Nene bukan hanya memanjakan anak itu, tapi sungguh memujanya. Aku sering dengar Nene menyebut Salma sebagai cucu tercantiknya.
Cemburu? Tidak sama sekali.
"Aku ingin bicara banyak dengan Tuan Hagia."
Kening Nene Yasmine berkerut, "Kamu mengganggunya, ya?"
Salma menggeleng. "Aku menyukainya, Ne. Dia baik, tampan, dan Nene tau? Dia juga punya hotel seperti kita!"
Aku menajamkan telinga, buku di tanganku menjadi tidak menarik lagi. Ah, sebenarnya sudah sejak tadi, sih. Tapi mau bagaimana lagi? Besok pagi Profesor Yaz Shahin akan memberikan quiz, aku harus belajar, kan?
"Kamu masih kecil, Young lady! Usia Tuan Hagia jauh di atasmu, jangan berpikir macam-macam."
Salma terkekeh. "Justeru Nene yang berpikir macam-macam. Aku hanya mengaguminya, Ne. Aku ingin agar dia mengajari Sophia mengelola hotel kita lebih baik lagi. Nene lihat sendiri, kan? Dari gayanya berpakaian, terlihat jelas dia orang sukses dan kaya raya. Bukan seperti Sophia, pengusaha hotel gembel." Kekehan adikku berubah menjadi tawa panjang menyebalkan. Dia melirik padaku, buru-buru kupaku pandangan pada buku, meski hati dan telingaku panas mendengarnya.
"Begitukah?"
Bisa kulihat Nene Yasmine mulai termakan omongan ngawur Salma. Adikku itu mengangguk menyakinkan Nene.
"Kalau begitu, besok Nene akan bicara dengan Tuan Hagia. Kurasa kamu benar, siapa tau dia mau membagi sedikit ilmunya untuk Sophia."
"Nene!" Aku benar-benar tak tahan lagi. Apa sih, yang Nene dan Salma pikirkan? Aku ... mengemis ilmu pada si orang sombong itu? Maaf, tapi aku tak sudi, ya!
Selama ini aku mengurus hotel dengan baik. Kalau toh masih banyak kekurangannya, bukankah itu wajar? Aku baru berusia lima belas tahun ketika mendapat semua tanggung jawab besar ini. Meski tidak langsung semuanya, sih. Amca Ahmet—adik Baba, mengurus hotel ini hingga aku mendapat usia dewasaku. Dan apa yang terjadi? Di usia delapan belas tahun, aku berhasil menemukan banyak kecurangan dalam pembukuan keuangan yang dilakukan Amca Ahmet. Sampai detik ini, aku masih berusaha mati-matian menutup pinjaman ilegal yang dilakukan pamanku itu. Sementara keluarga ayahku membelanya, dan menganggap apa yang dilakukan Amca Ahmet sebagai bentuk imbalan atas kerjanya mengurus hotel kami.
Hampir saja aku menjadi penghuni termuda rumah sakit jiwa akibat terlalu depresi menghadapi semua itu.
Lalu sekarang aku dianggap tidak kompeten mengurus hotel ini? Hingga batas kesabaranku nanti, akan kutinggalkan semuanya. Tak peduli ini satu-satunya tempat tinggal kami, pun satu-satunya warisan Baba.
Yang ingin punya hotel kan, Baba, bukan aku. Aku ingin menjadi pianis terkenal. Itu cukup keren buatku.
Ponselku bergetar meminta perhatian. Rupaya Emir mengirim pesan.
Kami menunggumu di Corlulu, datanglah segera!
"Kau mau kemana, Sophia?" Melihatku beranjak dari kursi, Nene segera menghentikan langkahku."
"Corlulu, Ne. Teman-teman mengajakku belajar bersama di sana."
"Jangan pulang terlalu malam. Kulihat lingkar hitam di matamu semakin jelas akibat keseringan begadang."
Kujawab dengan anggukan. Kucium punggung tangan keriputnya dan mengucap salam.
[Hagia]
Dari seberang, kulihat Hilman mencegat Sophia di pintu hotel. Percakapan mereka kurang begitu lancar, kurasa. Gadis garang itu memasang wajah masam dan menautkan alisnya. Dia bergegas masuk ke mobilnya dan meninggalkan asistenku dengan kepulan asap knalpot.
Langkah gontai Hilman menyiratkan jelas jawaban untukku.
Aku tadi menyuruh asistenku itu bicara pada gadis pemilik hotel. Bisa jadi penelepon gelap kemarin malam adalah tamu hotel sepertiku. Tadi pagi aku sempat berpapasan dengan beberapa orang di ruang makan, tapi mereka tidak ada yang mengenaliku. Bahkan ketika dengan sengaja aku mengenalkan diri, dan mengucapkan namaku keras-keras, para tamu hanya menganggap angin lalu saja.
Sialan memang. Di Indonesia, mana ada yang berani mengabaikanku?
Ah, tidak hanya di Indonesia saja. Namaku mungkin belum terbiasa di telinga seperti orang menyebutkan Warren Buffett, Bill Gates, Steve Jobs, atau Jack Ma, tapi setidaknya sudah cukup diperhitungkan sebagai pebisnis muda berbakat, terutama di kalangan industri perhotelan.
Kelas tamu Müchevherler memang jauh di bawahku. Wajar saja kalau mereka belum pernah dengar namaku. Aku yakin, jika nanti Tarlabaşı sudah dikuasai Mulia Corp., akan banyak warga Turki yang berebut mendekatiku.
"Sorry, Bos. Sophia tidak kenal dengan nama yang Bos sebutkan."
Jemari kugerakkan, isyarat agar Hilman duduk di kursi depanku. Kami masih betah sepanjang hari di kafe seberang Müchevherler ini. Syukurnya sekarang sudah buka, jadi aku bisa memesan secangkir kopi juga roti lapis.
"Sambungkan aku dengan Mario."
Hilman mengangguk, menekan nomor ponsel Mario melalui iPad agar aku bisa berkomunikasi melalui video call. Asistenku itu mengambil wireless earset dari dlam tas dan memberikannya padaku. Aku tidak suka mengenakan alat itu, jadi kubiarkan saja tergeletak di meja.
Satu panggilan panjang tidak diterima oleh Mario. Apa dia sedang meeting?
"Sudah kamu periksa jadwal Mario sore ini?"
"Tadi sekretarisnya bilang, nanti malam beliau ada meeting, Bos. Di luar kantor. Seharusnya jam segini masih di kantor, kan?" Hilman memutar pergelangan tangannya, memeriksa arloji yang kuberikan sebagai hadiah ulang tahun, dua tahun lalu.
"Malam waktu mana, Man? Jakarta atau Istanbul?"
Hilman langsung gelagapan dengan pertanyaanku. Salahnya sendiri, sudah beratus kali ke luar negeri tapi masih saja sering lupa dengan perbedaan waktu.
"Oh, iya, Bos. Maaf. Berarti sekarang Pak Mario sedang meeting."
"Dengan siapa, sih?"
"Kalau tidak salah dengan GM Amartha Management."
Keningku berkerut, "Urusan apa? Kita bukan level budget hotel. Amartha Management tidak akan mampu mengoperasikan jaringan hotel kita."
Belum sempat Hilman menanggapi keheranku, ponselku bergetar di meja. Sebuah nomor tidak dikenal. Nomor lokal Istanbul. Gegas kutekan tombol penerima, kuharap dari si penelepon gelap kemarin.
"Halo?"
"Hagia, apa kabar? Kudengar kamu ada di Istanbul. Suatu kebetulan, aku juga di Istanbul. Bagaimana kalau kita bertemu untuk sekadar reuni?"
Suara itu ... Kalimat yang diucapkan si penelepon biasa saja kalau ditujukan untuk orang lain. Tapi buatku? Itu cemooh yang melukai egoku. Darahku mendidih dengan cepat, seakan bara api panas diletakkan di bawah kursiku.
"Apa yang kamu inginkan dariku, El? Bukankah sudah kuberikan Cheillomitha untukmu? Belum cukup puas, ya?"
Tawa nyaring Elfaraz menusuk telinga.
"Masih banyak yang kuinginkan darimu, Hagia. Datanglah ke jalan Istiklal besok siang. Kita bertemu di sana."
*****