[Hagia]
Berengsek! Tidak mungkin perempuan licik itu tiba-tiba datang ke sini tanpa maksud apa-apa. Pasti Elfaraz juga ada di sini. Hm ... Aku tidak bisa mengabaikan penelepon gelap itu begitu saja! Bagaimana jika Elfaraz lebih dulu mendapatkannya? Apa memang begitu sampai-sampai dia tidak bisa menemuiku hari ini? Elfaraz telah ...
"Bos!"
Kuangkat wajahku, Hilman terlihat ketakutan ketika kami bersitatap. Ada apa lagi?
"Kenapa?"
"Sudah saya lacak nomor panggilan itu dan hasilnya nihil. Dia menggunakan telepon umum di Ankara. Lokasi yang bisa dilacak hanya merujuk di sekitar terminal bus. Kemungkinan dia menggunakan jalur bus ke Istanbul ini."
"Itu kabar baik, tapi kenapa wajahmu mencurigakan?"
Aku yakin pasti ada sesuatu yang salah di sini. Hilman terlalu ekspresif, dia tidak dapat menyembunyikan apapun dariku dengan wajahnya yang seperti buku terbuka itu.
"Ehm ... Saya ... maaf, Bos ...," ucapnya terbata ragu.
"Bicara yang jelas!" Aku bukan orang yang sabaran untuk urusan remeh, Hilman tau itu. Biasanya dia selalu berusaha bisa mengimbangiku. Kalau sampai dia menguji kesabaranku seperti gaya bicaranya barusan, pasti ada hal yang lebih dari sekadar remeh.
"Maaf, Bos. Saya tadi kelepasan bicara ... dan ... dan ... Ibu Ci—"
Bisa kurasakan mataku membulat tajam ke arah Hilman yang menunduk resah, menatap ujung sepatu pantofel hitamnya, juga memainkan ujung jemarinya.
"Hagia! Sayang!"
Lalu telingaku memanas, tak perlu kupalingkan wajah untuk tau siapa yang memanggilku dengan suara menjijikkan itu. Ngapain perempuan itu di sini? Apa dia menguntitku?
"Tarlabaşı tidak cocok untukmu, Cio. Bagaimana bisa kau datang kemari?"
"Aku merindukanmu, tentu saja, Gia sayang!"
Cheillomitha Masayu, mantan istriku, senyum lebarnya terlalu dibuat-buat, meski aku melihat jelas matanya memancarkan perasaan senang. Berarti benar Elfaraz menguntitku. Buktinya, Cheillomitha senang bisa menemukanku. Mata garang kuhadiahkan pada Hilman. Ini jelas yang membuatnya gelisah sejak tadi. Dia sadar telah melakukan kesalahan, membawa perempuan ini mendekatiku.
"Kupotong gajimu bulan ini, Man!" desisku padanya. Amarahku sudah mencapai ubun-ubun.
"Booosss ... maaf, tadi nggak sengaja ...," rengeknya. Apa aku peduli? Tidak!
"Sambungkan aku pada Mario. Minta dia kirim data Tarlabaşı. Segera!"
Kupalingkan wajah pada Cheillomitha setelah Hilman menjauhi kami. Kedua tanganku berada di saku celana, aku berjalan santai menuju tugu kecil di ujung jalan. Bisa kulihat Cheillomitha kerepotan mengikuti langkah kakiku. Terutama karena heels tiga belas senti yang dikenakannya, berjalan di atas bebatuan terakota yang disusun tidak rata.
Aku menyeringai, rasakan saja! Siapa suruh mengekoriku!
"Giii!!! Jalannya pelan-pelan, dong! Aku kan, bukan pemain akrobat."
Kuputar sedikit tubuhku, sambil terus berjalan, "Ini langkah paling santai yang pernah kulakukan. Bukankah sejak delapan tahun lalu kamu tidak sanggup mengikuti langkahku?"
Sindiran sarkas itu sebuah kebenaran. Aku paling tidak bisa berjalan santai. Ketika seluruh dunia bergerak sedemikian cepat sedemikian hebat, bersantai tidak akan mempu menolongku mengejar semua ketinggalan. Tidak akan ada nama dan fotoku terpampang di majalah Forbes. Tidak akan membuat Hagia Putra Dewangga meraih segala pencapaian ini. Lalu Cheillomitha Masayu? Dia hanya perempuan yang ingin mengambil banyak keuntungan dari kesuksesan, pun keberuntunganku.
"Tuan HAGIIIAAA ...!"
Di ujung jalan, kulihat sedan merah tua melintas, berlawanan arah denganku. Kaca di sisi kursi penumpang terbuka lebar. Si gadis kecil mengeluarkan kepala dan tangan yang melambai padaku. Gaduh sekali. Untung saja jalanan di sini sepi. Kalau di Jakarta dia berbuat seperti itu, bisa-bisa wajah cantiknya terkena ciuman ujung bajaj atau mikrolet. Tak urung kubalas dengan lambaian tangan juga, sambil melihat sekilas sang kakak di balik kemudi. Dia masih berwajah masam. Mungkin hidupnya terlalu membosankan.
Gadis itu turun dan tergesa-gesa mendekatiku.
"Tuan sudah berjalan-jalan kemana saja hari ini?" tanyanya penuh rasa ingin tau.
Kuangkat bahuku, pun ujung garis bibirku. "Aku tidak pergi kemana pun. Hanya ke bandara saja, lalu kembali. Adakah tempat bagus yang harus aku kunjungi?"
Dia mengangguk, lalu berkata cepat.
"Istanbul dipenuhi banyak tempat indah yang harus kau datangi, Tuan! Aku bisa mengantarmu, kau tau? Tidak perlu membayar jasa, cukup dengan kebab dan es krim!"
Aku terbahak. Gadis ini pintar memikat hatiku, hanya dengan binar mata dan senyumnya. Oh ya, juga tingkah kekanakan yang menggemaskan.
"Giii ...! Kita ke Bosphorus saja, yuk!"
Cheillomitha mengambil kesempatan ketika langkah kakiku mengimbangi Salma. Dia lalu bergerak cepat ke depan, menghalangiku melangkah maju. Memuakkan sekali perempuan tidak tau diri itu, kan?
"Siapa wanita ini, Tuan? Apakah dia—?"
Mata Salma bergantian menatapku dan Cheillomitha.
"Dia hanya pengganggu hidup orang lain. Abaikan saja, gadis kecil."
"Hey, aku sudah besar, Tuan!" Bibir Salma mengerucut, tangannya menepis jemariku yang menjentik ujung hidungnya.
"Ya, ya, Gadis besar!"
"Giii...! Sampai kapan kau tidak mau mengacuhkanku?"
Masih kubiarkan kedua tanganku di dalam saku celana. Kupalingkan wajah pada Cheillomitha, menatap lekat netranya yang terlindungi kacamata coklat besar bergaya Jacqueline Kennedy Onasis di masa kejayaannya.
"Apa uang Elfaraz sudah habis sampai-sampai kau harus membuntutiku?"
Kunaikkan sebelah alis, bisa kulihat keberhasilan ucapanku dari wajah Cheillomitha yang berubah pias.
"Kalau kau tidak ingin ludahku mengotori pakaian dan wajahmu, pergilah, Cio! Jauhi aku, jangan membuat alergiku kambuh karena lama berada di dekatmu."
Cheillomitha menghentakkan kakinya, matanya gusar menatapku. Kulirik dari sudut mata, Salma berusaha keras menahan tawa. Berarti gadis itu menangkap ucapanku dalam bahasa Indonesia. Sedikit atau banyak? Hmm, menarik!
"Kamu masih saja menyebalkan, Gia!"
Seringai lebar tak mampu lagi kutahan. "Tentu saja. Buat apa aku menyenangkan hatimu. Silakan pergi, tidak akan pernah aku halangi jalanmu. Bye! Au revoir! Adios! Sayonara!"
Aku menoleh pada Salma, "Apa bahasa Turki untuk selamat jalan?"
"Güle güle." Gadis itu terbahak.
"GÜLE GÜLE, CIO!" teriakku diiringi gelak tawa Salma.
Cheillomitha benar-benar pergi, mendekati mobil yang membawanya tadi. Bisa kulihat dia menghempaskan pintu mobil. Ah, baiklah, kalau dia bersikap arogan itu berarti uangnya masih cukup banyak. Setidaknya untuk membayar ganti rugi kalau pintu mobil itu rusak. Mobil sewaan, kan?
"Nyonya itu sangat lucu."
Aku menoleh. "Begitukah?"
Salma mengangguk. "Kakinya pasti kesakitan mengikuti langkahnu, Tuan," ucapnya tergelak dan aku tertular. Kami tertawa kencang di dekat tugu yang lapang.
"Ayo kita kembali ke hotel."
"Tuan tidak ingin berjalan-jalan?"
Aku menggelang. "Aku menunggu seseorang datang dan yeah, pekerjaanku sangat banyak sebenarnya."
"Jadi kau bukan wisatawan. Tuan bekerja di bidang apa?"
Kutolehkan kepala, tinggi tubuh gadis itu tidak sampai sebahuku, seperti neneknya. Dia harus mendongak untuk dapat bersitatap denganku. Mungkin genetika Indonesia sedikit menghalangi pertumbuhannya, karena tinggi tubuh kakaknya hanya sebahuku.
"Hotel," jawabku singkat.
Salma melonjak antusias. "Berarti sama dengan kami!"
Oh, tidak, gadis kecil! Kita tidak sama. Kalian hanya menyewakan rumah tanpa pengaturan manajemen yang mumpuni. Sementara aku? Aku mengelola hotel, resor, vila, dan yeah, beberapa tempat wisata, juga theme park terbesar di Indonesia.
"Yeah, kurang lebih sama!"
*****