"Faster, faster, Will."
Teriakan seorang wanita memenuhi kamar tidur William satu jam kemudian. Teriakan yang membuat pria sang empunya kamar semakin mempercepat gerakannya.
"Akh!" Wanita itu yang tak lain adalah Cecil, sontak meringis saat gerakan menyodok William terasa lebih kasar dari hari-hari sebelumnya. Entah apa yang terjadi pada pria tampan ini, namun saat Cecil tiba beberapa saat yang lalu, wajah William tidak terlihat baik-baik saja. Pria ini seperti terlihat sangat marah, tatapan William tajam dan juga sangat menakutkan.
Sayangnya, ia sudah candu pada permainan panas pria ini. Dan dengan wajah William yang rupawan, bahkan hanya dengan sedikit sentuhannya saja, Cecil akan langsung melambung tinggi ke angkasa. Satu yang ia tidak mengerti dari William, pria ini tidak pernah mengijinkan Cecil mencium bibirnya. Padahal bibir William sangat menggoda, tipis dan merah, tampak seksi di saat William sedang tersenyum.
"William, kau menyakitiku!" omel Cecil sembari merintih, rasa sakit atas kekasaran yang William lakukan seakan berpadu dengan kenikmatan yang ditawarkan pria itu padanya.
"Diamlah! Sedikit lagi." William menghunjam dengan keras dan dalam, lalu memuntahkan cairan hangatnya pada karet pelindung yang membungkus miliknya. Kepalanya menengadah menatap langit-langit kamar, napasnya terengah, dan titik-titik keringat membasahi keningnya.
Tubuh William bergetar perlahan melepas semua yang sudah seharusnya ia lepaskan. Dan sesaat setelahnya, William segera menarik pinggangnya ke belakang serta mengangkat tangannya dari pinggang Cecil yang terus ia remas sejak tadi.
Cecil tergeletak lemas di atas ranjang. Tiga kali William membuatnya terbang ke awan, bak burung merpati yang baru saja dilepaskan dari sangkarnya. Dan setelah pria itu usai dengan dirinya, yang tersisa padanya hanyalah tubuh yang lelah dan sakit di beberapa bagian. Itu sepadan, setidaknya William telah memberinya kenikmatan jauh di atas para pria yang pernah menjadi mantan kekasihnya.
Cecil bertemu William satu tahun yang lalu, ia masih ingat dengan jelas saat itu William bertanya apakah ia mau menjadi kekasih pria ini?
Saat ia bertemu William, Cecil baru saja putus hubungan dengan kekasihnya yang sebelumnya, yang memilih untuk menikahi wanita lain karena menganggap dirinya tidak pantas untuk bersanding dengan pria itu. Dan ketika William menawarkan diri untuk menjadi kekasihnya, ia yang langsung jatuh cinta pada wajah William, tanpa pikir panjang menyetujui begitu saja permintaan yang pria itu ajukan padanya.
Namun, tanpa Cecil duga, William ternyata mengajukan syarat setelahnya. Hubungan mereka tidak berdasarkan cinta. Hanya teman kencan di ranjang di saat mereka saling membutuhkan. Sebagai imbalannya, Cecil akan mendapatkan kepuasan dan boleh meminta apapun pada William.
"Sudah satu tahun berlalu." Cecil memiringkan tubuhnya ke kanan, melemparkan pandangannya ke arah William yang sedang membuang karet pengamannya ke dalam tong sampah. "Kita sudah dekat selama satu tahun, apa kau ... masih tidak memiliki perasaan padaku?" tanyanya getir dengan bibir bergetar.
William melirik melalui atas pundaknya yang keras, "Apa yang kau inginkan sekarang?" celetuknya acuh tak acuh. Jika Cecil menginginkan hatinya, harusnya sejak awal wanita itu mengerti bahwa ia tidak akan pernah membuka hatinya pada Cecil.
"Bagaimana dengan ... sedikit rasa hormat?"
William tersenyum miring, "Bukankah aku selalu menghormatimu, terkecuali ...." Ia menggantung kata-kata itu di udara sambil meraih bathrope miliknya dari atas lantai, "Ketika kita sedang berhubungan, kau tahu aku tidak bisa melakukannya, 'kan? Aku tidak bisa menghormatimu sekaligus menusukmu, dan aku lihat selama ini kau cukup menikmatinya," ujarnya sinis. William mengenakan bathropenya kembali ke tubuhnya untuk menutupi tubuhnya yang semula polos.
Maaf, ia tidak terlalu suka jika Cecil menatap tubuhnya terlalu lama dengan tatapan penuh damba. Tatapan yang justru ia harapkan berasal dari Hanna. Jika adiknya itu yang memperhatikan tubuhnya, William akan dengan senang hati berpenampilan polos sepanjang malam untuk wanita cantik itu.
Seperti, dua malam yang lalu. Saat itu William tahu jika Hanna mengintip apa yang ia lakukan bersama Cecil dari depan pintu kamarnya yang sengaja ia buka sedikit. Ia tahu Hanna memperhatikan tubuhnya, dan hal itu membuat gairahnya sontak terpicu. Otaknya seakan hampir meledak. Dan ketika William selesai lalu melemparkan pandangannya ke arah pintu kamarnya, ia seketika merasa kecewa. Hanna sudah tidak lagi berada di sana.
"Aku tidak mengharapkannya sejauh itu, setidaknya berikan hatimu sedikit padaku."
"Kau ingin hati atau uang?"
Cecil mati kutu menerima pertanyaan itu. Baiklah, William memang sangat menggoda. Pria ini selalu berkata kepada Hanna bahwa dirinya adalah kekasih pria ini yang bisa dikatakan hampir mendekati kata sempurna. Tetapi, jika ia bisa memiliki William beserta uangnya, bukankah itu jauh lebih baik?
"Apa ini karena Adikmu, hingga kau tidak ingin membuka hatimu padaku?" lontar Cecil lagi, mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia memperhatikan William yang tampak sedang menulis sesuatu di atas selembar cek. William selalu melakukannya di setiap kali pria ini berhubungan badan dengannya, seakan ia seorang wanita panggilan yang hanya datang demi setumpuk uang.
Gerakan tangan William sontak terhenti selama beberapa detik, namun ia kemudian melanjutkannya kembali setelahnya. Usai menulis nominal yang cukup untuk Cecil, ia memberikan cek tersebut kepada kekasihnya itu. Begitulah ia menyebut Cecil di hadapan Hanna atau saat memperkenalkan wanita ini pada almarhum kedua orang tua angkatnya beberapa bulan yang lalu. Ini cara yang William ambil untuk mengatasi ketakutan kedua orang tua angkatnya terhadap dirinya. Takut jika ia akan melakukan sesuatu pada Hanna karena kedekatan mereka.
Padahal, ia sudah mencoba menjaga jarak dengan Hanna. Meski dalam prosesnya William merasa sangat tersiksa.
"Bukankah kau sudah menyetujui permintaanku di awal kita bertemu? Jadi mengapa masih menanyakannya?" cetus William gusar. Dengan netranya, ia memberi isyarat pada Cecil yang telah menerima cek darinya agar segera mengenakan pakaiannya kembali.
Hati Cecil berdenyut atas isyarat mengusir secara halus yang William tujukan padanya. Pria itu selalu seperti ini, William hanya akan memintanya untuk tinggal lebih lama jika mereka bertemu dengan Hanna.
Well, Cecil akui wanita itu sangat cantik. Hanna memiliki rambut pirang yang indah dan sehat. Di bawah cahaya matahari, rambut itu bak helaian emas yang menjadi mahkota di kepala wanita itu.
William dan Hanna, mereka berdua tampak seperti pahatan patung yang sangat sempurna yang dibuat oleh seorang pengrajin yang sangat terampil. Dan mereka kakak adik, Cecil pikir itu sangat wajar jika mereka memiliki keindahan yang hampir sama levelnya.
Sialnya, William justru memiliki perasaan terlarang terhadap adiknya sendiri. Jika Cecil seorang pria, ia mungkin juga akan jatuh cinta pada Hanna seperti saat ini ia jatuh cinta pada William.
"Aku hanya berharap kau bisa melupakan Hanna, Will. Cintamu padanya ... benar-benar tidak pantas untuk dipertahankan!" gerutu Cecil, sambil mengenakan kembali pakaiannya. Tanpa menyadari bahwa ucapannya itu membuat William menatapnya dengan tajam.
"Perasaanku adalah urusanku, kau tidak berhak mencampuri apa yang aku rasakan terhadap Adikku."
Ucapan itu terlontar dengan nada dingin dari mulut William, namun Cecil justru menanggapinya dengan tersenyum tipis.
"Berapa lama lagi kau sanggup menahannya? Bagaimana jika suatu hari nanti Hanna dilamar oleh seseorang? Saat itu terjadi, apa yang akan kau lakukan?"