Pagi hari Hanna terbangun saat Doris membuka tirai jendela kamarnya. Matanya masih berat gara-gara ia kurang tidur semalam, dan itu semua terjadi karena William.
"Apa sarapan Anda ingin dibawa ke kamar Anda, Nona?" celetuk Doris.
Hanna menelengkan kepalanya, "Di mana William?" ia balik bertanya kepada wanita itu. Doris tampak tersenyum kikuk, membuat Hanna mengerti bahwa William benar-benar telah pergi dari Istana ini. "Dasar pengecut!" ocehnya.
Doris menatap Hanna dengan raut cemas. "Tuan William pergi pagi-pagi sekali, Nona. Di saat para pelayan baru bangun. Tuan memintaku untuk menyerahkan sebuah amplop untuk Nona, itu, di sana!" tunjuknya ke atas nakas yang berada di samping ranjang yang Hanna tempati.
Hanna mengalihkan pandangannya ke amplop tersebut. Amplop itu berukuran A4 dengan warna coklat, isinya tampak tebal. Hanna bisa menebak apa isi amplop itu karena ada cap keluarganya di sudut kanan atas amplop tersebut.
"Dia meninggalkan uang saku untukku?" ia meringis, geram akan ulah William yang seolah menganggap bahwa semalam tidak terjadi apapun di antara mereka. Ia berpura-pura tidur, itu benar. Tapi William menyentuhnya, pria itu juga mencium bibirnya. Jadi bagaimana ia bisa berpura-pura kalau semalam tidak terjadi apa-apa? Bahkan ia tidak bisa memejamkan mata setelahnya. 'Kau anggap apa aku, b******k,' umpat Hanna dalam hati.
Baiklah, jika ini yang William inginkan— Hanna akan melayaninya. Tidak sulit baginya untuk mencari tempat tinggal William, apalagi Caleb, Asisten William di Nottingham Corporation sekarang, dulu adalah tangan kanan ayahnya. Pria itu pasti akan dengan senang hati memberikan semua informasi tentang William padanya.
"Siapkan gaunku sementara aku mandi, Doris!" titah Hanna sambil menyibak selimutnya. "Aku juga ingin desert manis sebagai penutup sarapan hari ini, karena ada pertempuran yang harus kulakukan," imbuhnya lagi.
Hanna segera turun dari ranjang sebelum Doris mengangguk padanya. Sesaat setelah mendengar jawaban dari wanita itu, ia telah berada di dalam kamar mandi.
***
Pukul 10 pagi, Hanna menghubungi Caleb. Sesuai dugaannya, pria itu saat ini sedang diminta oleh William untuk mengurus rumah baru yang akan ditempati oleh saudara lelakinya itu.
"Aku menginginkan alamatnya, Caleb!" tukas Hanna tegas pada Caleb.
Sambungan ponsel menjadi hening selama beberapa saat, seolah Caleb sedang berpikir terlebih dahulu sebelum memberitahunya.
"Jalan Old Lenton, satu-satunya rumah terbesar di sana." Akhirnya Caleb menjawab.
"Apakah dia memiliki pelayan?" tanya Hanna.
"Tuan sudah memesannya melalui serikat pekerja. Lima pelayan terlatih akan segera dikirim untuk merawat rumah baru Tuan, Nona Rosendale."
Hanna mengerutkan keningnya, "Sejak kapan Will membeli rumah itu?" lontarnya, kembali bertanya.
"Setahun yang lalu, Nona," jawab Caleb.
"Selain rumah dan Perusahaan, apa kau tahu ke mana William biasanya akan pergi untuk bersenang-senang? Tempat yang akan Kakakku itu kunjungi bersama Cecil, atau Sahabatnya mungkin?"
"RC Klub, Talbot. Setiap jum'at malam Tuan William akan selalu pergi ke sana bersama Tuan Dereck, Nona Rosendale."
"Baiklah, itu cukup. Terima kasih, Caleb. Jangan sampai William tahu jika aku sudah menghubungimu," pesan Hanna pada pria itu.
"Tentu, Nona."
Hanna langsung memutuskan panggilan setelahnya. Hari ini mungkin ia tidak bisa melakukan apapun, tapi ia memiliki rencana untuk William pada jum'at malam nanti.
"Nikmati waktumu selama dua hari ini, Will. Setelah itu, mari bertemu!" geram Hanna.
***
Sore hari ... William pulang ke rumah barunya. Rumah itu terasa sangat sepi saat ia masuk. Pelayan yang ia minta belum dikirim, dan wanita cantik yang biasanya selalu ia temukan di Rosendale House, juga tidak ada di tempat ini. Membuat William semakin merasa seakan ia terasing dari dunia ini.
Caleb telah merapikan rumahnya sesuai permintaannya, dua isi koper yang ia bawa pagi tadi juga telah disusun ke dalam lemari yang terdapat di dalam kamarnya.
Di dekat tungku perapian modern, ada sebuah lemari yang dipenuhi oleh berbagai jenis whisky. Dan di dalam ruang pendingin, berbotol-botol wine tampak tersimpan rapi. William telah mempersiapkan rumah ini sebelum ia mengenal Cecil, sebab ia pernah berniat untuk meninggalkan Rosendale House agar bisa menjauh dari Hanna.
Sekarang, keinginannya itu terwujud. Namun William sama sekali tidak senang. Pisiknya mungkin berada di rumah ini, tapi hatinya tertinggal di Rosendale House.
Sambil melepas dasinya, William mengamati kamar tidurnya. Kamar yang besar dan mewah tetapi seolah ada sesuatu yang kurang dari kamar ini. Hanna!
Ranjangnya sangat luas. Ketika ia memperhatikan ranjang itu, ia justru membayangkan Hanna ada di atas sana. Dengan gaun tidur sutranya yang melekat di tubuhnya hingga membuat setiap lekuk tubuh adiknya itu terpampang di depan matanya.
"Sial," gerutunya dengan suara pelan. Merasa stres karena ia masih juga memikirkan tentang Hanna padahal ia sudah tidak lagi berada di Rosendale House. Tempat di mana adiknya yang cantik itu sering berlarian di selasar Istana itu.
Tidak ingin menyiksa dirinya, William pun memilih untuk membersihkan tubuhnya di kamar mandi. Ia keluar belasan menit kemudian dengan hanya mengenakan bathrope di tubuhnya yang kekar dan tinggi. Tetesan air dari rambutnya yang belum sepenuhnya kering, jatuh ke atas dadanya yang bidang. d**a yang tidak tertutup oleh bathrope yang ia kenakan di tubuhnya.
Sambil mengeringkan rambutnya, pria bertubuh indah ini melangkah ke arah jendela kaca, memperhatikan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai menyala tak jauh dari rumahnya.
Tiba-tiba, William dikejutkan oleh suara nada dering ponselnya. Ponsel yang ia lempar ke atas sofa sebelum ia membuka jasnya beberapa saat yang lalu. William melangkah ke arah sofa untuk mengangkat panggilan itu. Nama Cecil tertera di layar ponselnya.
"William speaking."
"Hai, kau sudah pindah?"
Suara ceria Cecil menyapa indera pendengaran William. Namun tidak mampu mengubah ekspresi dingin yang terukir di wajahnya.
"Aku sudah di sini, ada apa?"
Alih-alih menjawab, Cecil justru kembali bertanya. "Apa kau sibuk malam ini?"
William menautkan kedua alisnya yang tebal dan rapi. "Tidak, aku hanya ingin beristirahat," jawabnya.
"Mau kutemani?"
Sebuah undangan yang sangat menggiurkan, kebetulan William butuh melampiaskan hasratnya yang tidak bisa ia salurkan pada Hanna.
"Hanya dua jam, kau tidak bisa menginap!" tekannya pada Cecil.
"Em, tidak masalah. Dua jam sudah cukup. Aku sudah di jalan, tunggu aku!"
"Baiklah." William mengangguk, ia lupa jika Cecil sama sekali tidak bisa melihat anggukannya itu.
Setelah memutuskan panggilan, ia kembali melempar ponselnya ke atas sofa. Lalu pergi menuju ruang pendingin untuk mengambil sebotol wine. Ia membutuhkan minuman itu agar ia bisa membayangkan wajah Hanna saat nanti ia bermain dengan Cecil.
Meski, Cecil tidak secantik Hanna. Setidaknya wanita itu memiliki tubuh yang bagus, dan pinggang yang ukurannya sangat mirip dengan ukuran pinggang Hanna. Karena itu William senang memegang pinggang itu saat ia menghunjamkan miliknya ke dalam tubuh kekasihnya itu.
"Akan lebih baik jika kau yang benar-benar berada di bawahku," bisiknya sendu sambil mengukir wajah Hanna di dalam benaknya.