Bab 2. Bertengkar

1045 Words
"Aku sudah mengatakan dengan jelas di hadapanmu, kami tidak memiliki hubungan darah." Hanna beranjak dari kursinya dengan raut marah, ia kecewa pada William. Tapi ia juga sangat kecewa pada Gibson. "Aku pikir kau bekerja pada kedua orang tuaku." Ia melirik Gibson dari sudut matanya, mendengus gusar, kemudian pergi meninggalkan ruang tamu. Melangkah tergesa-gesa menuju kamarnya. "Anda tidak akan mengejar Miss Rosendale?" tanya Gibson pada William. William hanya diam sambil memperhatikan punggung Hanna yang semakin bergerak menjauh dengan tatapan sayu. Kedua tangannya terkepal erat, emosi membuncah di dalam jiwanya, begitu pula dengan perasaannya terhadap Hanna. "Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir." Setelahnya, William langsung mengalihkan pandangannya ke arah Gibson. "Di mana berkas wasiat dari kedua orang tuaku?" tanyanya datar. Gibson geleng-geleng kepala melihat reaksi William itu. Tak lama, ia pun memberikan sebuah amplop coklat yang memiliki cap Rosendale di sebelah kanan atas pada pria itu. "Ini wasiat resmi dari Ayah Anda, Tuan William." William menerima amplop tersebut tanpa ekspresi, "Akan kuberikan salah satu salinannya nanti pada Hanna," tukasnya. Gibson mengangguk pelan, "Tentang Miss Rosendale ...." "Dia selalu dimanjakan oleh kedua orang tuaku, jadi aku tidak pernah memikirkan apapun yang dia katakan padaku. Kau bisa menganggap sikapnya itu sebagai brother complex, aku tidak pernah menganggap serius apa yang dia bicarakan." Sekali lagi Gibson menganggukkan kepalanya. Merasa sangat setuju dengan ucapan William itu. "Baiklah," katanya akhirnya sambil menepuk kedua pahanya lalu beranjak dari sofa. "Sudah saatnya aku pergi, ada banyak pekerjaan yang masih membutuhkan perhatianku di kantor." William ikut beranjak. Ia mengulurkan tangannya pada Gibson kemudian menjabat tangan pria itu dengan erat ketika Gibson menyambut uluran tangannya. "Hubungi saja aku jika masih ada yang ingin Anda tanyakan seputar surat wasiat itu," ujar Gibson seraya melirik ke arah amplop coklat yang berada di tangan William yang lain. "Tidak masalah, silakan!" William lalu memerintahkan pada Kepala Pelayan yang baru saja memasuki ruang tamu untuk mengantarkan Gibson hingga ke pintu Rosendale House, sementara ia sendiri terus melangkah menuju kamar Hanna. Ia benci harus menemui adik angkatnya itu saat ini, di saat perasaannya terhadap Hanna sedang campur aduk. "Dia cemburu pada Cecil?" William tersenyum miring. Hanna sama sekali tidak tahu jika selama satu tahun ini ia hanya menggunakan Cecil untuk melampiaskan keinginan gilanya terhadap adiknya itu. "Hmm, aku pikir sebaiknya aku pindah dari tempat ini," imbuhnya lagi. Tatapannya yang tajam seketika menjadi teduh saat ia memikirkan tentang Hanna, tentang tubuh adiknya itu yang selalu menggodanya di setiap waktu. Di saat yang sama, di dalam kamarnya, Hanna saat ini sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terdapat di samping jendela kamarnya. Kursi yang biasanya selalu ia pergunakan untuk membaca buku n****+ klasik tentang kisah cinta indah antara pria dan wanita. Hanna menyukai buku-buku itu, meski tak satupun dari buku yang ia miliki mempunyai jalan cerita tentang kisah cinta antara kakak dan adik. Hanna masih termangu menatap ke luar jendela kamar saat sebuah ketukan terdengar dari arah pintu kamarnya. "Pergilah, Will! Aku sedang tidak ingin bicara padamu!" teriaknya sebal. Tanpa Hanna duga, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Pria berwajah dingin dan angkuh dengan tubuhnya yang besar dan tinggi, melangkah masuk ke dalam kamarnya. Suara telapak sepatu William yang beradu dengan lantai terdengar stabil, seperti sikap pria itu terhadapnya yang tidak pernah berubah sejak dulu. "Sialan, kau. Bukankah sudah kukatakan kalau aku tidak ingin bicara padamu?!" gerutu Hanna. Ia mengerucutkan bibirnya sambil memicingkan matanya pada William. Saudara lelakinya itu hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman dingin. Meski begitu, kedua lesung pipi yang William miliki membuat Hanna tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah saudaranya itu. "Kau tidak pernah berubah." Suara dengusan terlepas dari bibir William, "Jika sewaktu kita kecil dulu aku memperbolehkanmu untuk memasang mahkota bunga di kepalaku dan menganggapku sebagai Pangeranmu, itu karena kau dan aku masih kecil. Sekarang semua telah berbeda, Hanna." "Tidak ada yang berubah bagiku." Hanna komat kamit dengan suara pelan, namun ia membiarkan agar suaranya itu tetap terdengar oleh William. William hanya diam dan meletakkan amplop coklat yang ia bawa beberapa senti di depan ujung jemari kaki Hanna yang sangat ramping. Jemari kaki yang kuku-kukunya dicat dengan warna merah muda, membuat kulit Hanna yang pucat semakin terlihat seputih kertas. Ia meneguk ludah sesaat, ketika ia melirik ke arah betis adiknya itu yang tersingkap karena Hanna menekuk kedua kakinya, menggunakan kedua lututnya sebagai tempat adiknya itu meletakkan kedua lengannya yang terlipat dan juga untuk menyandarkan dagunya di sana. "Ayah dan Ibu tidak akan tenang di alam sana jika kita menghancurkan hubungan persaudaraan ini," ujarnya kemudian demi mengalihkan perhatiannya dari gairahnya terhadap Hanna yang kembali tergoda. "Mereka juga tidak akan tenang jika mereka tahu kau menggunakan harta mereka untuk menafkahi seorang jalang." William mengeraskan rahangnya, merasa gemas pada Hanna yang terus berusaha memancing hasratnya. Namun hanya sesaat. Sebelum Hanna menyadarinya, ia telah menyunggingkan seraut senyum di bibirnya. "Aku akan keluar dari Rosendale House." Hanna terpaku mendengar ucapan William itu. Tidak pernah menduga jika ia akan mendengar kata-kata itu terlontar dari bibir William. Selama ini ia pikir William merasa sangat nyaman berada di Rosendale House. Saking nyamannya, bahkan tanpa memikirkan perasaannya, William kerap membawa Cecil ke Istana ini. Ternyata ia salah. William telah lama merencanakan hal ini, keluar dari Rosendale House demi hidup bersama kekasihnya yang lebih mirip dengan seorang jalang. "Wanita itu tidak pantas untukmu!" "Begitu juga kau," sambung William, menegaskan keputusannya. Hanna menoleh pada saudara lelakinya itu dengan wajah terluka. "Jika kau pergi, aku akan menikahi siapapun yang bersedia menikah denganku." Gigi William sontak bergemeletuk, perasaan cemburu membakar hatinya. Kemarahan memenuhi otaknya gara-gara ucapan Hanna tadi. Tapi William tahu, Hanna tidak akan mungkin berani melakukannya, Hanna hanya mengucapkan kata-kata itu untuk menyakiti dirinya. "Terserah kau saja, dan tentang uang sakumu ...." "Aku akan menghubungimu jika aku membutuhkannya," potong Hanna cepat, berusaha menguatkan diri agar terlihat tegar di hadapan William. Meski, saat ini hatinya telah menangis terisak. "Atau ... mungkin calon suamiku nanti bisa memberikannya padaku?" "Ckk." William menghembuskan napas kasar dan langsung membalikkan tubuhnya dengan kedua tangan terkepal keras di kedua sisi tubuhnya, tidak ingin lagi melanjutkan perdebatannya dengan Hanna. Tetapi, sebelum ia pergi meninggalkan kamar adiknya itu, ia melirik ke balik bahunya. "Kau memiliki segalanya, kau tidak membutuhkan uang dari seorang pria. Dan jika kau membutuhkannya, kau bisa memintanya dariku tanpa harus mempermalukan dirimu sendiri." Setelah itu, William langsung pergi. Meninggalkan Hanna yang menatap kepergiannya sambil tersenyum getir. "Kau ... sangat egois, William."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD