Bab 3. Menginginkanmu

1054 Words
Hanna duduk terdiam di kursinya setelah William pergi, seolah semua tenaga dan semangatnya menghilang bersamaan dengan keputusan yang telah diambil oleh saudara lelakinya itu. Air mata perlahan mengalir di pipinya, jari-jarinya meremas ujung gaun yang ia kenakan. "Kau tahu apa yang kurasakan, dan kau tetap memilih untuk pergi?" ingatan Hanna berkelebat memenuhi otaknya— momen-momen indah ketika mereka masih anak-anak, saat William bersedia menjadi Pangerannya di taman bunga, dan ketika mereka bertukar rahasia di malam hari. Tapi sekarang, dengan semua yang terjadi, segalanya seketika hancur tak bersisa. "Nona Rosendale?" Suara lembut menginterupsi lamunan Hanna, membuatnya mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar yang terbuka. Di sana, berdiri Doris, Kepala Pelayan yang sangat setia pada keluarga Rosendale. "Maafkan saya telah mengganggu, tetapi sudah waktunya bagi Anda untuk pergi makan malam." Hanna mengusap air mata yang telah jatuh ke pipinya dengan cepat, lalu mengangguk pada Doris. "Aku akan ke sana, pergilah, Doris." "Apakah Anda baik-baik saja, Nona?" tanya Doris khawatir. "Apa ini tentang Tuan William, saya lihat Tuan tampak sangat marah tadi." Hanna tersenyum pahit. "Dia tidak marah, Doris. Dia hanya ... egois. Dan akan selalu begitu." "Ah, cinta memang bisa membuat kita bertindak irrasional. Sebaiknya Nona menerimanya, lagipula walau Tuan dalam tanda kutip bukan anak kandung kedua orang tua Anda, tetapi sudah 21 tahun dia menjadi saudara Anda, Nona," tukas Doris, berusaha menghibur Hanna. "Apa maksudmu aku harus melupakan perasaanku padanya, Doris?" Hanna meringis, kemudian menenggelamkan wajahnya ke dalam telapak tangannya. Doris melangkah mendekat dan duduk di sebelahnya. "Cinta yang tulus seharusnya tidak dipaksakan, Nona," kata Doris tegas. "Biarkan Tuan William menyadari betapa berartinya Anda, bukan hanya sebagai adiknya, tetapi juga sebagai seorang wanita yang memiliki perasaan terhadapnya." Hanna mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa berat. Ia tahu Doris benar, namun bagaimana ia bisa membuat William mengerti apa yang ia rasakan? Ketika keduanya terdiam, ingatan akan Cecil tiba-tiba muncul di dalam benak Hanna. "Aku harus bicara dengannya, Doris," gumamnya, dengan cepat Hanna beranjak dari kursi yang terus ia duduki sejak tadi. Doris tersenyum dan mengangguk setuju, “Sepertinya itu ide yang bagus. Tuan William ada di kamarnya, siapa tahu Tuan akan berubah pikiran.” Hanna mengambil napas dalam-dalam terlebih dahulu, baru melangkah keluar dari kamarnya dengan Doris mengikuti dari belakang. Rosendale House terasa sepi sejak kepergian kedua orang tuanya, dan kini William juga akan meninggalkan Istana ini? Sementara itu, William kini sedang duduk di pinggir ranjang, menatap dua koper besar yang telah dipenuhi oleh pakaiannya. Ekspresi muram memenuhi wajahnya yang tampan, seakan ia terjebak dalam suara jarum jam yang berdetak, waktu yang terus berlalu membuatnya semakin merasa gelisah. Di satu sisi, ia ingin pergi, namun di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan Hanna. Ketika ia bergerak di atas ranjang, tersadar akan perasaannya yang mendalam terhadap Hanna, lambat laun mulutnya terkatup rapat. Rahangnya mengeras karena ketakutan akan apa yang mungkin nantinya hilang darinya. Pikirannya mulai melayang pada Hanna, mengingat semua detik berharga yang pernah mereka habiskan bersama. William sengaja tidak pergi ke ruang makan, ia yakin Hanna akan ada di sana. Menatapnya dengan tatapan menyalahkan yang mungkin akan membuatnya mengurungkan niatnya untuk pergi dari Rosendale House. William memejamkan matanya, saat itu suara lembut Hanna tiba-tiba menyapa indera pendengarannya. “Will, bisakah kita bicara?” Detak jantung William sontak berpacu di dalam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sebal. Setelah itu baru menanggapi pertanyaan Hanna tadi, “Masuklah, Hanna.” Hanna membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar William dengan hati yang berdebar. Pemandangan di sekelilingnya tidak pernah tampak lebih menyedihkan, koper-koper yang siap dibawa pergi seolah mencerminkan semua kenangan yang ingin direnggut William darinya. Hanna menutup pintu pelan-pelan di belakangnya dan melihat William yang duduk di pinggir ranjangnya, tatapan saudara angkatnya itu tajam ke arahnya. “Will?” William mengalihkan pandangannya, seolah menghindari mata Hanna. “Apa lagi yang ingin kau bicarakan, Hanna? Apapun yang ingin kau katakan tidak akan mengubah kenyataan. Kita tidak bisa terus hidup seperti ini." Suara William terdengar tegas, namun Hanna bisa merasakan ketidakpastian di balik setiap kata yang dilontarkan oleh kakak lelakinya itu padanya. "Kau memperlakukanku seperti orang asing selama satu tahun belakangan ini. Aku benar-benar merasa telah kehilanganmu sepenuhnya, Will," ucap Hanna lirih, ia berhenti tak jauh dari ranjang William sambil mendekap erat tubuhnya yang ramping dengan kedua lengannya. William menggeram pelan, ia ingin berlari ke sana. Menarik Hanna ke dalam pelukannya, namun ia meninggalkan semua keinginan itu di dalam otaknya. Nyatanya, William masih bergeming di atas ranjang empuknya dengan tatapan lurus ke arah Hanna. Hasratnya memberontak, ia membayangkan Hanna berada di bawah tubuhnya, membusungkan d**a ke arahnya. "Sial," gumamnya pelan. Kedua tangannya terkepal keras dan kuku-kukunya terasa di telapak tangannya. "Kau yang telah membuatku harus mengambil keputusan ini, Hanna," tekannya. William ingin mematahkan keinginan Hanna, meski sisi hatinya yang lain kini terus berteriak padanya bahwa ia adalah seorang pembohong yang buruk. "Dan kau membenciku?" 'Tidak!' hati William berteriak, namun kata-kata itu tidak pernah terucap di bibirnya. Hanya tatapan matanya yang sesaat berubah teduh yang menyiratkan apa yang ia rasakan terhadap Hanna. Sebelum Hanna menyadarinya, William telah mengangkat salah satu alisnya, matanya memicing dengan tatapan tidak suka. "Ada ribuan pria tampan di kota ini, Hanna. Dan puluhan dari mereka berasal dari keluarga bangsawan. Dengan kecantikanmu, kau bisa memilih salah satu dari mereka untuk kau jadikan suamimu." Apa ia baru saja memuji Hanna? Gigi William sontak bergemeletuk, 'Kau b******n, William!' oceh hatinya. "Kecantikanku?" beo Hanna, ia menatap William sambil mengerjapkan matanya. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kakak angkatnya itu katakan padanya. Suara erangan tertahan terlepas dari bibir William saat ia melihat apa yang dilakukan oleh adiknya itu. Tidak, mereka sama sekali tidak memiliki hubungan darah seperti ucapan Hanna beberapa saat yang lalu di ruang tamu Rosendale House. Jadi, jika ia menyeret Hanna ke ranjang ini, itu bukan dosa, 'kan? "Apa kau baru saja mengatakan kalau aku bisa memiliki pria manapun yang aku inginkan dengan wajahku ini?" ulang Hanna. 'b******k, kau tidak bisa melakukannya, Sayang. Kau milikku!' gerutu William dalam hati, ia mendengus gusar tetapi tetap menganggukkan kepalanya. "Ya," katanya tegas. Kemudian benaknya mengumpat geram. 'Aku ingin lihat pria mana yang berani menyentuhmu.' "Sekarang keluarlah, Hanna. Aku akan pergi pagi-pagi sekali agar kau tidak perlu melihat kepergianku. Karena itu aku ingin segera tidur." Hanna tersenyum getir dan meremas pinggiran dressnya, "Kalau ucapanmu itu benar, bagaimana jika pria yang kuinginkan itu adalah kau. Apa aku juga bisa memilikimu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD