William sadar bahwa semua kekuasaan yang sedang ia tangani saat ini adalah milik Hanna, ia tahu itu. Ia juga paham bahwa ia hanya mengambil alih semua ini untuk sementara waktu sambil menunggu Hanna siap memikul beban yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya padanya.
Namun yang membuatnya merasa bingung adalah ... mengapa sekarang Doris tiba-tiba memerintahkan pada Caleb untuk segera menemui wanita itu di Rosendale House? Sebenarnya apa yang sedang Doris rencanakan? Apa wanita itu ingin memaksa Hanna yang belum siap untuk memikul tanggung jawab ayahnya?
"Wanita itu ...." William mengeraskan rahangnya dengan geram, "Aku tahu kalau dia adalah tangan kanan Ibuku, tapi siapa yang telah memberikannya keberanian hingga dia berani melakukan hal ini?" dengusnya.
Caleb menggeleng pelan, tetapi seakan mengingat sesuatu, ia langsung menyahut, "Apakah Doris melakukannya atas perintah Lady Hanna, Tuan? Setahu saya, Doris tidak akan berani mengambil tindakan sendiri tanpa sepengetahuan Pemilik Rosendale House," lontarnya mengemukakan dugaan.
"Hanna?" kernyitan di kening William terlihat semakin dalam. Walau ia setuju dengan tebakan Caleb tadi, namun mengingat bagaimana sikap Hanna selama ini, rasanya ia sulit untuk percaya bahwa adiknya itu akan memerintahkan Doris untuk memanggil Caleb ke Istana. Kecuali ...
"Aku akan memberimu waktu dua hari untuk berpikir, jika kau tidak memberikan jawaban padaku— maka aku akan pergi berkencan dengan seseorang!"
'Mungkinkah Hanna benar-benar serius dengan ancamannya itu?' pikirnya tersentak. 'Apa ini artinya dia sengaja memancing keributan denganku?!'
"Tuan?" panggil Caleb demi menyadarkan sang Majikan yang tengah terpaku di kursi kerjanya. "Apakah aku harus pergi ke sana dengan membawa semua berkas milik Lord Aroon?" tanyanya takut-takut.
William melirik orang kepercayaannya itu sesaat, lalu menghela napas berat setelahnya.
"Kumpulkan saja semua berkasnya juga semua berkas yang sedang kutangani!" titahnya pada pria itu.
"Tapi, Tuan Rosendale ...."
"Jangan membantah, Caleb. Hanna adalah Pemilik Rosendale House dan keturunan langsung Penguasa kota ini. Jika dia memintanya, bahkan aku sendiri harus menyerahkan kepemimpinan Nottingham Corporation ini padanya," tegas William.
Ucapan sang Majikan membuat Caleb seketika bungkam dan hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan patuh.
"Baik, Tuan Rosendale. Akan saya persiapkan semuanya sekarang." Caleb menundukkan kepalanya pada William lalu melangkah mundur satu langkah ke belakang.
Sebelum Asistennya itu membalikkan tubuhnya untuk pergi meninggalkan ruangannya, William kembali membuka mulutnya. "Aku akan pergi bersamamu nanti ke Rosendale House," celetuknya.
Caleb kembali mengangguk. Setelah itu ia pergi meninggalkan ruangan William, meninggalkan sang empunya ruangan yang tampak berpikir keras setelah mendengar laporan darinya.
Sepeninggal Caleb, William memperhatikan pintu ruangannya yang telah ditutup kembali dari luar. Meski tatapannya tertuju pada pintu, namun pikirannya saat ini justru berada di Rosendale House, pada sesosok wanita cantik yang mendiami Istana itu.
"Apa yang sedang kau rencanakan sekarang, Hanna?" gumamnya lirih.
***
Sore hari, Hanna tengah mematung di depan cermin saat suara ketukan terdengar dari arah pintu kamarnya. Ketukan itu terdengar keras dan tegas seperti ketukan William saat saudara lelakinya itu ingin menemuinya di dalam kamarnya. Tapi ... bukankah William sudah tidak ingin lagi kembali ke Rosendale House? Ataukah saudara lelakinya itu datang karena ancamannya semalam? Jika itu benar ...
Hanna hampir memutar tubuhnya dan berlari untuk membukakan pintu untuk William. Namun hatinya dengan cepat melarangnya. 'Kau sekarang wanita dewasa, Hanna Rosendale! Tak bisakah kau berhenti mengejar pria itu seperti di saat kau kecil dulu?' teguran itu membuat Hanna sontak mengurungkan niatnya. Dan dengan kedua tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya demi menahan keinginannya agar tidak menubruk William, Hanna pun berteriak dengan suara lantang.
"Masuklah!"
Pintu kamarnya perlahan-lahan terbuka, disusul dengan langkah tegap William yang masuk ke dalam kamarnya. Hanna tidak mengubah posisinya meski ia mendengar suara langkah itu. Yang ia lakukan hanya terus mengamati penampilannya di kaca cermin.
Tak jauh dari pintu kamar Hanna, William sontak tertegun kala ia melihat penampilan sang adik dari belakang. Sore ini Hanna tidak lagi menyembunyikan bokongnya yang tinggi dan kencang di balik gaunnya, melainkan justru memperlihatkannya dengan seragam Bangsawan yang melekat ketat di tubuhnya.
Tubuh Hanna tampak indah dalam balutan setelan kemeja putih dan celana putih ketat khas kaum Bangsawan. Sebuah syal hitam tampak di bawah kerah kemeja yang Hanna kenakan, sementara rambut adiknya itu yang berwarna pirang keemasan terikat menjadi satu membentuk ekor kuda hingga leher Hanna yang jenjang terlihat dan membuat William reflek menelan ludah dengan sulit.
"Kau datang? Apa itu artinya sekarang kau sudah berubah pikiran?" sindir Hanna sembari memutar tubuhnya lalu melemparkan pandangannya ke arah saudara lelakinya.
"Hmm," sahut William singkat seraya tersenyum tipis, "Jangan berharap, kau pasti tahu bukan itu maksud kedatanganku hari ini," imbuhnya tanpa berani mendekati Hanna sama sekali.
"Bukan?" Hanna memutar kedua bola matanya, tidak menyadari jika ulahnya itu telah membuat erangan pelan terlepas dari mulut saudara lelakinya. "Lalu ... untuk apa kau datang hari ini ke Rosendale House, Will?" tanyanya sambil melangkahkan kakinya ke arah William yang masih bergeming di tempatnya berdiri.
Setibanya di hadapan saudara lelakinya itu, Hanna langsung berhenti dan menengadah, dengan berani membalas tatapan William yang sedang tertuju padanya.
Hanna tidak tahu jika saat ini William sedang berusaha keras menahan diri agar tidak menarik tengkuknya dan melumat bibirnya. Wanita ini tidak bersikap waspada padahal seekor pemangsa tengah berdiri di hadapannya sekarang.
Demi meredakan gairahnya yang sedang berkejaran di dalam tubuhnya, William pun membuang muka lalu berdehem pelan.
Hanna mengamati wajah saudara lelakinya itu yang perlahan mulai bersemu merah di hadapannya. Ia mengernyit heran saat melihat ekspresi aneh yang William tampilkan di wajahnya.
"Caleb berkata kalau kau membutuhkan semua berkas tentang tugas Ayah sebagai Penguasa Nottingham. Karena sekarang aku yang telah mengambil alih tugas itu, maka sudah menjadi kewajibanku untuk mengantarkannya secara langsung padamu," ujar William. Setelahnya, ia sontak mengumpat dalam hati saat ia tiba-tiba merasakan miliknya berkedut di dalam celananya. Sial, sekarang bukan waktu yang tepat. Namun benda sialan itu justru bereaksi gara-gara Hanna terus menatap wajahnya dengan intens. 'Tidurlah, b******k!' ocehnya kemudian dalam hati.
"Oh? Mengapa harus kau yang mengantarkannya? Bukankah Caleb bisa melakukannya sendiri agar aku tidak perlu mengganggu waktumu yang sangat berharga?" sinis Hanna gemas. Sejujurnya, ia merasa sangat sebal terhadap William. Karena, jika saudara lelakinya ini bukan datang untuknya, lalu untuk apa William muncul di hadapannya? Menyebalkan!
"Kau benar." Tidak ingin lagi menghindar, William kembali melabuhkan tatapannya ke wajah Hanna, menatap ke dalam mata biru adiknya itu yang membuatnya sempat terhanyut sesaat. Ia tidak menginginkan ini, ia tidak ingin Hanna tahu apa yang ia rasakan terhadap adiknya yang cantik ini. "Caleb memang bisa mengantarkannya sendiri ke sini. Tapi, Hanna. Sebelum itu, aku ingin tahu terlebih dahulu apa maksudmu menginginkan semua berkas milik Ayah? Katakan, Hanna! Katakan padaku apa sebenarnya yang ingin kau lakukan?" lontarnya dengan wajah serius.