"Kau pasti tahu, bukan kalau kau tidak bisa selamanya menggantikan Ayah?" balas Hanna menantang.
William mengerjap satu kali lalu mengerutkan keningnya, "Apa kau takut aku akan mengambil posisimu sebagai Penguasa Kota?" ujarnya tak percaya. Kulitnya terus menggelenyar saat ia saling beradu pandang dengan Hanna, namun ia berusaha keras untuk menahannya dan memusatkan pikirannya terhadap kata-kata Hanna. Merasa bingung tentang mengapa adiknya ini bisa berpikiran bahwa ia akan mengambil semua milik adiknya ini?
Hanna tidak pernah mencurigainya sebelumnya, tetapi sekarang— entahlah. Ia sudah tidak lagi bisa membaca apa yang sedang Hanna pikirkan terhadap dirinya dari raut wajah adiknya itu yang kini tampak lebih datar dari televisi layar datar.
"Apa sekarang kau takut akan kehilangan semua yang kau miliki saat ini?"
William sontak tertegun, "Sejak Ayah menemukanku, aku tidak pernah memiliki apapun," ujarnya kelu sambil memijat puncak hidungnya.
Hanna mengamati saudara lelakinya itu, hatinya terasa sakit saat ia menemukan raut terluka di wajah William.
"Kau bisa memiliki semua yang aku miliki dengan menikahiku. Kau bahkan bisa menjadi seorang Viscount tanpa ada seorang pun yang akan berani mengganggumu lagi jika kau bersedia melakukannya," cetusnya lelah, "Tapi kau menolak, karena itu aku terpaksa turun tangan untuk menjaga Istana ini."
'Dan juga dirimu,' sambung Hanna dalam hati. Ia tahu dengan identitas William yang tidak jelas, jika ia tidak segera mengambil tugas ayahnya dari saudara lelakinya ini, maka kelak William akan menerima hinaan dari para Bangsawan yang menginginkan kedudukan ayahnya. Hanna tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Selain itu, ayah dan ibunya pernah berpesan padanya bahwa ia harus membela William jika ada seorang Bangsawan yang berani menghina kakak angkatnya ini.
"Kau bukan wanita lemah, Sayang. Selama tujuh generasi keluarga Rosendale selalu hidup dengan pedang terhunus di tangan! Itulah arti hidupmu, melanjutkan tradisi keluarga!"
Ayahnya pernah mengatakan hal ini pada Hanna sambil mengangkat pedang di tangannya dengan wajah bangga usai mengajarinya berlatih anggar. Ayahnya pejuang yang handal, keluarganya secara turun temurun selalu menjaga Kota Nottingham dari segala bentuk kejahatan. Karena itu para Bangsawan yang hidup di kota ini sangat menghormati ayahnya.
Sementara Hanna, mungkin ia belum mampu untuk menjaga semua penduduk yang tinggal di kota ini. Namun untuk menjaga Rosendale House beserta semua penghuninya, termasuk William, ia masih mampu untuk melakukannya.
"Aku pikir kau belum siap," celetuk William, ia menurunkan tangannya dan kembali menatap Hanna. "Satu lagi, kau juga belum lupa, 'kan jika Ayah telah memberimu syarat sebelum kau bisa menerima tanggung jawab sebagai pengganti Ayah?"
"Aku pikir syarat itu hanya untuk mengambil bagian yang seharusnya menjadi milikku," sungut Hanna sembari mengerucutkan bibirnya dengan sebal.
William tersenyum tipis melihat tingkah adiknya itu. Tanpa sadar, ia mengangkat tangannya dan mengusap pucuk kepala Hanna dengan lembut. Membuat Hanna sontak tertegun di hadapan saudara lelakinya itu.
"Kau belum 21 tahun, Hanna. Apa menurutmu para Bangsawan di luar sana yang haus akan kekuasaan akan bersedia menyerahkan posisi Penguasa kota ini pada gadis kecil yang belum beranjak dewasa?"
"Ulang tahunku yang ke-21 hanya tinggal beberapa bulan lagi." Hanna memalingkan wajahnya yang seketika terasa panas gara-gara ulah William yang tiba-tiba mengusap pucuk kepalanya. Sudah lama saudara lelakinya ini tidak melakukan hal itu, William juga sudah lama berhenti tersenyum lembut padanya. Hari ini ia mendapatkan keduanya.
"Kau kira mereka akan bersedia menunggu hingga kau berulang tahun?"
Kelopak mata Hanna sontak melebar. William benar, demi mendapatkan kekuasaan sebagai Penguasa kota, beberapa Bangsawan bahkan mungkin rela menggadaikan iman mereka. Jadi, bagaimana mungkin mereka mau menunggu hingga ia berulang tahun yang ke-21 agar ia bisa menggantikan kedudukan ayahnya?
"Ada satu cara agar kau bisa diakui secepatnya," ujar William menambahkan. Tatapan matanya yang tajam lurus ke wajah Hanna yang tidak ingin menatap dirinya. "Kau harus segera menikah!"
Untuk sesaat Hanna merasakan angin segar menerpa wajahnya. Membuat ia kembali melabuhkan tatapannya ke arah William.
Di sisi lain, William yang mengerti arti tatapan yang diberikan oleh adiknya itu— dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Bukan denganku! Kau tahu aku tidak memiliki identitas, kita juga bersaudara," tekannya, mencoba menasehati Hanna untuk mempertimbangkan pilihannya.
Perasaan bahagia yang baru saja Hanna rasakan seketika menguap ke udara, "Aku telah memikirkannya," jawabnya ketus, kemudian menghela napas setelahnya demi meredam emosi yang bergejolak di dalam hatinya. Kemarahan yang membuatnya ingin menampar wajah William dengan keras untuk menyadarkan pria itu bahwa mereka sama sekali tidak memiliki hubungan darah. William mencintainya, ia juga mencintai saudara lelakinya ini, lalu apa salahnya jika mereka menikah?
"Apa ini yang kau inginkan, Will?" dengan kedua tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya, Hanna memberikan tatapan tajam pada William. "Kau yakin ingin melihatku menikah dengan pria lain?"
'Tidak!' teriak William dalam hati, namun kata-kata itu sama sekali tidak terucap di bibirnya. Dan agar ia tidak menanggapi ucapan Hanna yang seakan ingin memprovokasi dirinya, William sengaja menggigit pipi bagian dalamnya. "Ayah dan Ibu pasti akan senang sekali jika melihatmu mendapatkan suami yang pantas untukmu."
'Kau gila!' hatinya berteriak keras merutuki kebodohan William yang telah mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya ia katakan pada Hanna. Ya, anggap saja ia gila. Tapi bisa bersanding dengan Hanna? Bahkan di dalam mimpi pun ia tidak akan berani untuk melakukannya.
"Ayah dan Ibu?" Hanna tertawa getir, "Apa yang pernah Ayah dan Ibu katakan hingga kau tidak berani mengambil resiko? Apa Ayah dan Ibu pernah memintamu untuk berjanji pada mereka bahwa kau akan mencarikan jodoh yang tepat untukku?"
Janji, semua ini karena janji dan balas budi hingga kini William tidak berani mengungkapkan perasaannya pada Hanna.
"Sebagai Kakakmu ...."
"Ya, kau selalu mengatakan itu," desah Hanna sebal. "Baiklah, aku pikir pembicaraan ini sudah cukup. Sudah saatnya aku bertemu dengan Gibson dan Caleb, apa kau melihat Gibson?" lontarnya sambil menatap William tanpa ingin memperpanjang percakapan mereka.
"Aku belum melihatnya." William diam sejenak, terus menatap Hanna dengan penuh kerinduan. Semalam ia benar-benar tersiksa karena harus menyentuh dirinya sendiri tanpa bisa melakukan apapun pada Hanna. Dan hari ini, adiknya yang cantik ini kembali melakukan sesuatu yang sangat tidak adil padanya dengan mengenakan pakaian yang memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya yang indah.
"Aku harus keluar sekarang." Lelah menyaksikan aksi bungkam William, tanpa pikir panjang Hanna bergegas melangkahkan kakinya melewati saudara lelakinya itu. Gara-gara jarak mereka yang terlalu dekat, jemarinya dan jemari William tanpa sengaja saling bersentuhan.
Tanpa Hanna duga, William tiba-tiba menangkap tangannya dan menggenggamnya dengan erat. Membuat ia sontak menoleh ke belakang. Tatapan William yang semula tajam kini tampak sendu, dan api gairah yang besar tampak di binar mata saudara angkatnya itu. Api yang berhasil membakar setiap aliran darahnya dan memenuhinya dengan hasrat.
"Apakah ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku?" lontar Hanna dengan wajah serius.