Bab 4 Kitab Wasiat Iblis

1352 Words
Dua anak itu tergopoh menembus semak belukar, menghindar dari Gerombolan Jalak Lembah Hantu yang masih penasaran atas menghilangnya pria bercadar putih. Senja mulai merayap, sehingga suasana hutan makin gelap. Mereka masih berusaha agar segera bisa keluar dari hutan. Tak terbayang apabila masih terjebak dalam hutan, sementara hari mulai gelap.  “Ayo cepat keluar! Hutan ini sangat berbahaya apabila gelap tiba!” ajak Kumbara. Mereka berjalan cepat menyusur jalan setapak, di antara kerapatan pepohonan besar. Tiba-tiba langkah Panji terhenti ketika mendengar sayup-sayup suara rintih kesakitan. Sumber suaranya begitu dekat, sehingga Panji penasaran. Ia mengisyaratkan agar Kumbara memasang telinga baik-baik. “Ayo kita pulang saja, Panji! Jangan-jangan itu suara hantu penunggu hutan!” pinta Kumbara dengan paras cemas. “Diamlah! Sepertinya itu suara manusia yang sedang kesakitan. Kita tidak bisa meninggalkannya.” “Ah, cari mati saja kau ini! Ini hampir malam. Kalau kita menolong orang itu, nanti pasti akan kemalaman, dan kita tidak bisa pulang. Kau saja yang menolong! Aku mau pulang!” rajuk Kumbara. Panji tak peduli. Suara rintihan itu begitu dekat. Panji menajamkan pendengaran, sambil memejamkan mata. Sekejap saja, ia berlari ke arah berlawanan menuju serumpun semak liar di bawah pohon ketapang besar. Kumbara merasa gusar. Entah apa yang merasuki pikiran sahabatnya itu? Bagaimanapun, ia mengikuti kemana Panji melangkah. Ia tidak mau sendirian di hutan ini. “Panji, tunggu!” Di balik rerimbunan semak, mereka melihat pria bercadar putih tergeletak tak berdaya sambil mengerang menahan sakit. Naluri Panji untuk menolong pun timbul. Ia segera mendekati pria itu, tetapi bingung harus berbuat apa. “Paman tidak apa-apa?” tanya Panji Panuluh. “Hati-hati, Panji! Bisa jadi ini jebakan!” Kumbara memperingatkan. Pria bercadar putih itu merintih. Keringat dingin menetes di keningnya. Ya, sosok ini tak lain adalah Pendekar Tanpa Nama yang baru saja bertempur dengan Gerombolan Jalak Lembah Hantu. d**a kirinya terluka akibat pukulan beracun milik Jalak Hitam. Sebagian luka sudah menghitam, mengepulkan asap busuk. “To-tolong aku! Si-siapa nama kalian ? Aku sangat membutuhkan pertolongan kalian,” desis pria itu menahan sakit di dadanya. “Namaku Panji Panuluh, dan ini temanku, Kumbara. Paman siapa?” “A-aku tidak punya nama. Sejak dulu mereka menyebutku Pendekar Tanpa Nama. Kini aku terluka parah! Aku membutuhkan kalian untuk membawa....”  Ucapan Pendekar Tanpa Nama terputus. Panji Panuluh terkejut mendengar pengakuan pria yang mengaku berjuluk Pendekar Tanpa Nama tersebut. Selama ini, ia hanya mendengar nama itu dari para tetua kampung. Sungguh tidak disangka, pendekar besar itu terkapar tak berdaya di depannya.  Ia melihat luka semakin menghitam di d**a kiri pria itu. “Astaga! Paman, ini harus diobati!” kata Panji Panuluh. “Ti-tidak bisa. A-aku tidak bisa bangun. Racun ini sebentar lagi menyebar, menghentikan detak jantungku. Sebentar lagi aku pasti mati. Aku membutuhkan bantuan kalian ....” “Bantuan apa Paman? Kami hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa!” Panji Panuluh semakin panik, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam pertarungan sebelumnya, ia melihat Pendekar Tanpa Nama ini bertempur habis-habisan melawan empat pria yang tergabung dalam Gerombolan Jalak Lembah Hantu. Panji menduga, ada sesuatu yang diinginkan oleh mereka, hingga sama sekali tak memberi kesempatan Pendekar Tanpa Nama ini menguasai pertarungan. Dari balik jubah putihnya, pendekar bercadar itu mengeluarkan sebuah kitab tua, kemudian ia serahkan pada Panji Panuluh. Sebuah kitab bersampul hitam yang sangat lapuk, yang mungkin berusia ratusan tahun. Panji merasa bingung, mengapa pria ini menyerahkan sebuah kitab kepadanya? “Ini ... ini adalah Kitab Wasiat Iblis. Aku menemukan kitab yang telah terpendam ratusan tahun di lereng Gunung Sindoro. Kitab ini berisi kumpulan jurus tiada tanding di jagad persilatan. Sayangnya, aku telah ceroboh mempelajari ilmu hitam yang ada di dalamnya. Ilmu hitam yang terkutuk ... kini, aku bukan manusa lagi. Ketika malam menjelang, aku berubah wujud menjadi makhluk yang haus darah. Karena itulah aku bersembunyi dalam hutan ini. Tapi sayangnya, iblis selalu membutakan mataku dan menguasai pikiranku untuk mencabik-cabik tubuh tak berdosa. Tak ada yang bisa menghentikan ini ... kecuali....” Ucapan pendekar itu kembali terputus. “Kecuali apa, Paman?” desak Panji penasaran. “Kitab ini harus dimusnahkan, tetapi bukan aku sendiri yang memusnahkan. Di lereng Sindoro, terdapat sebuah padepokan terpencil bernama Padepokan Tapak Suci. Di padepokan itu, seorang tetua di dunia persilatan bernama Ki Lodaya bersemayam. Beliau adalah guruku. Hanya dia yang bisa memusnahkan kitab setan ini. Aku mohon kepadamu ... bawa kitab ini kepadanya! Karena kalau tidak maka kitab ini akan menjadi incaran para pendekar lain. Bertahun-tahun kitab ini menjadi incaran mereka. Salah satunya adalah Gerombolan Jalak Lembah Hantu. Kumohon ... bantulah aku menyelamatkan dunia persilatan ini, bahkan menyelamatkan umat manusia!” pinta Pendekar Tanpa Nama dengan suara lemah. Panji Panuluh terdiam, tak bisa berkata apa pun. Perjalanan ke Gunung Sindoro jelas sangat jauh, mengingat dia berada belahan utara Pulau Jawa. Tentu perjalanan tidak mudah, apalagi untuk seorang bocah ingusan yang tak mempunyai dasar ilmu pertahanan apa pun. Ia bingung, ingin sekali menolak permintaan itu, tetapi kalau ia menolak jelas berimbas buruk pada nasib kehidupan manusia. Bagaimana mungkin tugas seberat ini harus dibebankan ke pundak seorang bocah seperti dirinya? “Apapun yang terjadi, jangan tergoda untuk mempelajari isi kitab itu, karena sebenarnya ada kekuatan jahat di dalamnya. Segera amankan dan serahkan kitab pada Ki Lodaya!” tambah sang pendekar. “Tapi Paman ... aku hanya....” “Aku tahu yang ada dipikiranmu, Panji! Pasti kamu berpikir bahwa kau adalah bocah kecil yang tak tahu apa-apa. Justru itu yang aku harapkan, karena tidak ada yang menyangka kau mengemban tugas berat ini. Untuk berjaga-jaga, bawalah ini!”  Pendekar Tanpa Nama menyerahkan sebuah golok dengan rangka ukiran emas di permukaannya seraya berujar,“Ini adalah golok sakti berjuluk Golok Halilintar, yang mempunya kekuatan dahsyat asalkan di tangan orang yang benar. Kamu bisa membawa ini untuk berjaga-jaga. Aku tak punya apa-apa lagi, Panji! Dan kamu ... siapa namamu tadi?” Pendekar itu menoleh ke arah Kumbara yang sedari tadi terdiam. “Sa-saya Kumbara, Paman,” jawab Kumbara takut-takut. “Temanilah Panji ke selatan untuk menemukan padepokan itu. Tetapi aku tak punya apa-apa untukmu, hanya ini yang bisa kuberikan kepadamu.” Pendekar itu mengambil sebuah buntalan berisi kerikil. “Kerikil? Buat apa Paman?” tanya Kumbara. “Ini bukan sembarang kerikil, Kumbara. Ini adalah Kerikil Api. Sebutir kerikil, kekuatannya setara dengan batu sebesar bukit. Jika kau lempar, maka akan menimbulkan ledakan dahsyat. Gunakan dengan bijak, karena jumlahnya terbatas.” “Sa-saya ... saya harus ikut?” tanya Kumbara ragu-ragu. “Ya, Kumbara. Setelah ini pulang dan berpamitan dengan orang tua kalian. Maafkan aku yang membebankan tanggung jawab ini kepada kalian. Mungkin hidupku tak lama lagi. Hanya ini yang bisa kulakukan!” “Tapi Paman yang membunuh Rama-ku! Paman yang berubah menjadi serigala dan mencabik tubuh Rama. Aku tidak terima!” tiba-tiba Kumbara bangkit dari tempat duduknya, menatap Pendekar Tanpa Nama dengan nanar. Napasnya tersengal, menahan emosi yang membuncah di d**a. “A-aku minta maaf, Kumbara. Karena semua itu di luar kemauanku. Iblis lah yang menguasai pikiranku! Kau bisa bunuh aku sekarang untuk membalaskan dendam Ayahandamu!” “Aku tidak bisa memenuhi tugas ini, Paman!” ucap Kumbara dalam pikiran yang tengah kalut. Ia tidak pernah membayangkan akan melaksanakan perjalanan yang jauh ke selatan. Sementara perasaannya bercampur-aduk melihat sosok lemah di hadapannya. Ia tahu, sosok pria ini yang mencabik-cabik tubuh Rama-nya. Haruskah ia menghabisi pria tak berdaya ini? Napas Kumbara tersengal menahan dendam. “Sadarlah, Kumbara!” Panji Panuluh berusaha menenangkan. Mereka masih berdiri, saat terdengar sayup-sayup suara Gerombolan Jalak Lembah Hantu yang mulai mencium keberadaan Pendekar Tanpa Nama. Suara itu terdengar tak jauh dari tempat mereka bersembunyi. “Dia ada di sekitar sini! Aku bisa merasakannya!” pekik Jalak Merah. Mendengar suara-suara itu, sontak Pendekar Tanpa Nama menyuruh Panji dan Kumbara untuk segera meninggalkan tempat itu. “Cepat pergi! Jangan sampai mereka mengetahui keberadaan kalian!” bisik Pendekar Tanpa Nama. “Tapi Paman....” “Sudah jangan khawatirkan aku! Cepat pergi atau mereka akan menangkap kalian!” perintah si pendekar. Tanpa banyak tanya, dua bocah kecil itu segera berlari menerobos semak menuju keluar hutan. d**a mereka berkecamuk, tak tahu apa yang setelah ini harus dilakukan. Mereka tak peduli menerjang semak-semak berduri tajam. Mereka hanya ingin segera sampai di rumah masing-masing, mengabarkan berita mengejutkan ini.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD