Kumbara dan Panji Panuluh menyusuri Hutan Utara dengan waspada. Suasana dalam hutan kian gelap, dengan pohon-pohon besar yang mengepung. Cahaya matahari siang bahkan tak bisa menembus kepadatan dedaunan yang begitu rimbun. Suara kicau burung juga mulai menghilang. Jalan setapak dalam hutan mulai menyempit, penuh dengan belukar.
Tiba-tiba terdengar suara gemericik air, seperti aliran sungai. Panji Panuluh menajamkan pendengaran, sembari mengisyaratkan Kumbara agar tidak bersuara.
“Kamu dengar itu?” tanya Panji Panuluh.
“Suara sungai?” jawab Kumbara. Panji mengangguk.
“Biyung-ku pernah bilang kalau mendengar suara aliran sungai dalam hutan ini abaikan saja, karena sebenarnya itu tipuan dari para jin yang menghuni hutan. Sungai itu bisa menuntun ke dunia mereka. Kalau ada yang menyapa biarkan saja!” bisik Panji Panuluh.
“Ah, kamu nakutin aku ya?” rajuk Kumbara.
“Aku tidak menakuti kamu, Kumbara? Apa kamu tidak pernah mendengar cerita para warga di kampung kita?” Panji Panuluh berusaha meyakinkan Kumbara.
“Kita pergi saja dari sini! Ayo cepat!”
Kumbara menarik tangan Panji cepat-cepat. Suara gemericik air seolah menghilang, berpadu dengan suara desir angin. Mereka semakin masuk ke dalam hutan yang gelap. Makin masuk ke dalam, pepohonan semakin rapat. Semak juga makin lebat dan meninggi. Batu-batu sebesar gajah berserak di sana-sini.
Tak berapa lama berjalan, mereka mendengar suara ribut, seperti suara sedang bertarung. Bunyi dentingan pedang, berpadu dengan suara pukulan, terdengar begitu jelas. Tentu saja, hal ini mengusik rasa penasaran dua bocah itu. Sambil mengendap, mereka mengintip dari sebuah batu besar yang berada di tepi tanah agak lapang ditumbuhi ilalang.
“Kau lihat itu!” bisik Panji Panuluh.
“Ya, tentu saja aku melihatnya!” jawab Kumbara.
“Kau mengenalinya?” tanya Panji lagi. Kumbara hanya menggeleng menanggapi pertanyaan Panji.
Tak jauh di depan mereka, seorang pendekar pria berpakaian serba putih, dengan rambut sebahu, memakai cadar putih tampak bertarung melawan empat pria dengan hiasan kepala burung di kepalanya. Mereka mengeroyok pria bercadar putih dengan beringas, seolah bernafsu untuk membunuh. Gerakan pria bercadar putih itu begitu lincah, menghindari serangan bertubi-tubi dari lawannya.
Jelas bukan pertarungan yang seimbang. Walaupun di atas angin, pria bercadar putih itu tetap kerepotan menghadapi empat orang sekaligus. Apalagi serangan begitu padu, nyaris tanpa celah. Pukulan dan sabetan pedang mewarnai jalannya pertarungan.
Kawanan pria berhiaskan kepala burung ini lebih dikenal dengan Gerombolan Jalak Lembah Hantu. Mereka terdiri dari empat pria bengis yang berjuluk Jalak Merah, Jalak Hitam, Jalak Biru dan Jalak Hijau. Komplotan ini kerap membuat onar di dunia persilatan, karena selalu mengincar senjata atau kitab pendekar lain untuk menambah kekuatan mereka. Mereka biasa terlihat di Lembah Hantu, sebuah lembah kosong di lereng Gunung Merbabu. Karena itulah, mereka dijuluki Gerombolan Jalak Lembah Hantu.
“Kali ini kau tak akan lolos!”
Salah satu pria dengan hiasan kepala burung berwarna biru meloncat ke udara dengan begitu ringan, kemudian menukik tajam menghunjamkan pedang ke arah pria bercadar putih. Sementara tiga rekannya yang lain juga melakukan hal yang sama, dari empat penjuru yang berbeda!
Pria bercadar putih mendesis,” Serangan Jalak Empat Penjuru!”
Wuut! Wuut! Wuut! Wuut!
Empat bilah pedang menusuk tajam dari empat penjuru dengan kecepatan luar biasa, sehingga nyaris tidak mungkin si sosok bercadar putih untuk menghindar. Di luar dugaan, si cadar putih menghentakkan kaki ke tanah, mengerahkan energi untuk mengepung tubuhnya. Sontak, sebuah kekuatan angin berputar mengelilingi tubuh, menghempaskan empat pria berhias kepala burung ke tanah sampai pedangnya terpental!
“Astaga, dia menggunakan jurus Benteng Badai di Tengah Samudra!” pekik pria yang berhiaskan kepala burung berwarna biru.
“Benar Jalak Biru! Dia telah menguasai ilmu itu!” sahut temannya yang berhiaskan kepala burung berwarna hijau.
“Kalian masih mau bertarung?” tanya si cadar putih, sambil berdiri tegak menatap lawannya satu-persatu. Tatapan matanya begitu dingin, siap meladeni siapa saja yang hendak menyerang.
“Bagaimana Jalak Merah? Apa kita lanjutkan perhitungan kita kali ini?” tanya Jalak Biru kepada rekannya yang bernama Jalak Merah.
“Sepertinya mustahil merebut kitab itu darinya untuk saat ini ... kita perlu bantuan guru kita untuk menghajar pendekar sombong ini!” bisik Jalak Hijau.
“Bagaimana Jalak Hitam?”
“Tak ada kata mundur untukku! Hiyaaa...!” Jalak Hitam melesat dengan kepalan tangan penuh energi tenaga dalam. Asap hitam berpendar menyelubungi kepalan tangan si Jalak Hitam.
“Hmm. Petaka Jalak Hitam yang penuh racun!” gumam si cadar putih.
Ia sadar bahwa pukulan yang dilancarkan oleh Jalak Hitam bukanlah sembarang pukulan. Ia pernah mendengar bahwa Jalak Hitam ini mempunyai sebuah pukulan yang mengandung racun. Petaka Jalak Hitam, nama pukulan itu cukup ditakuti di belantara persilatan.
Sesaat lagi pukulan itu menghantam tubuh si cadar putih, tetapi dengan gerakan ringan, si cadar putih bergerak mudur seperti berjalan di udara. Jalak Hitam terus memburu, namun dengan gerakan melayang di udara, si cadar putih berkelit ke kiri dan ke kanan.
“Kau bukan tandinganku, Jalak Hitam! Kalau kau ingin mam*pus maka aku tak segan-segan menghabisimu!” ujar si cadar putih tersenyum sinis.
“Jangan sombong! Pikirmu kau pendekar terkuat di jagad ini. Kau bukan siapa-siapa tanpa kitab itu. Rasakan pukulanku ini!”
Amarah Jalak Hitam menggelegak. Mulutnya komat-kamit merapal, seketika ia melesatkan tangan ke udara. Tangan itu berubah menjadi pukulan dengan bunyi angin menderu.
Wuusss!
Pukulan Jalak Hitam tiba-tiba menyebar ke segala penjuru, seolah seribu pukulan memburu si cadar putih yang melesat mundur. Pukulan itu ternyata menghunjam tanpa jeda, hingga ia merasa sedikit repot. Pendekar bercadar putih berkelit kesana-kemari, menghindar serangan Jalak Hitam.
“Mati kau!” sungging Jalak Hitam.
Dari arah tak diduga-duga, tiba-tiba Jalak Merah melayangkan sebuah pukulan lain dari lengannya yang bercahaya merah ke tubuh si cadar putih. Tentu saja serangan tak terduga ini membuat konsentrasi si cadar putih buyar. Ketika hendak menangkis serangan Jalak Merah, muncul pula Jalak Hijau dan Jalak Biru siap mmeyerang dari arah lain, dengan pukulan yang mematikan.
Duuuk!
Akibatnya, serangan Jalak Hitam berhasil menembus benteng pertahanan si cadar putih. Sebuah pukulan beracun hinggap di d**a kiri. Untuk sesaat rasanya seperti terbakar, mengeluarkan asap hitam berbau busuk. Si cadar putih merasakan kesakitan yang amat sangat, sehingga ia terpelanting ke tanah. Karena diserang secara licik, akhirnya ia tumbang. Kondisinya tak memungkinkan untuk melanjutkan pertempuran. Sepercik darah keluar dari mulutnya. Dadanya berasa terbakar.
“b*****h!” rutuknya.
Cadar putih berpikir sebentar, bahwa dengan kondisi luka parah seperti ini ia tidak mungkin bisa melanjutkan pertarungan. Segera Ia melesat secepat kilat dengan kekuatan yang tersisa, menghilang di balik kerimbunan hutan. Saking cepatnya, tubuhnya hanya tampak seperti kilatan cahaya putih perak. Seketika suasana hening.
“Astaga ! Kemana dia kabur?” tanya Jalak Merah. Pandangannya menyapu ke seluruh penjuru hutan.
“Cari! Kita tidak boleh kehilangan jejaknya!” perintah Jalak Hitam.
Jalak Hijau dan Jalak Biru segera menyebar di sekeliling tempat itu untuk memeriksa, sayangnya si cadar putih seolah hilang di telan bumi. Hanya tertinggal kicau burung dan gemerisik dedaunan.
Sementara itu. Panji dan Kumbara yang bersembunyi di balik batu segera menyingkir, takut keberadaannya diketahui. Bagaimanapun, mereka gentar melihat jalannya pertarungan yang sengit itu. Kalau sampai diketahui oleh salah seorang anggota Jalak, bisa-bisa nyawa mereka akan menjadi taruhannya.
***