Chapter 6

1201 Words
"Kedatangan mu membingungkan ku tak tau apa yang akan ku lakukan setelah nya" **** Felisa meringis di dalam mobil merasakan perih di dua bagian yang berbeda antara leher dan pergelangan tangannya. Rubin melemparkan jasnya ke wajah felisa. "Pakai!" katanya. Felisa berdecih membuat Rubin kembali emosi tak lama mobilnya berhenti ia menarik paksa Felisa untuk keluar lalu menyampirkan jas yang ia lemparkan tadi di bahu gadis itu kemudian membopongnya ala bridal Style dan memasuki lobi menuju lift. Kejadian itu di saksikan oleh beberapa orang yang melintas, Felisa menyembunyikan wajahnya di dadaa bidang Rubin, beberapa saat kemudian ia merasa dirinya melayang terhempas di atas tempat tidur yang empuk. "Kamu membawaku kemana, apa yang akan kamu lakukan!? tidakkah kau puas telah memblokir semua tempat untuk tidak menerimaku bekerja!? Dan sekarang apa lagi yang kau inginkan dariku?" Protes felisa tak terima. "Kau bertanya apa yang ku inginkan? Kau tau yang kuinginkan sekarang hanya satu yaitu menyiksamu, jadi sekarang katakan welcome kepada Neraka barumu." Tatapan tajam yang Rubin berikan tak mampu membuat Felisa berkata-kata lagi. "Tunggu saja jadwal penyiksaanmu, kau tak bisa keluar dari tempat ini." Rubin berbalik, Felisa termanggu di atas tempat tidur, masih dengan mempertahankan handuknya, oh astaga sekarang apa dirinya di culik lagi? "Apa salahku, kenapa kau membuatku seperti ini?" Seru Felisa. Rubin tertawa kecil. "Aku juga tidak tau tapi aku suka melihatmu menderita." ujarnya sembari berbalik keluar dari ruangan persegi itu. Felisa menunduk, air mata terjun bebas di pipinya, jika dulu ia menerima untuk tinggal bersama keluarga Nathan di shanghai, hal ini pasti tak akan pernah terjadi padanya. Tapi penyesalan yang baru ia rasakan sekarang ini hanya sia-sia karna waktu tak bisa di putar ke masa lalu layaknya sebuah pintu ajaib doraemon. Sekarang yang bisa Felisa lakukan hanyalah meratapi nasibnya yang tidak begitu jelas akan di bawa kemana bahkan orang asing yang baru beberapa kali ia temui sudah menculiknya dua kali hanya karena sebuah rekaman yang tidak jelas keberadaannya. Felisa mendongak, ia tak bisa terus seperti ini, dirinya tak suka di tindas, ia harus bangkit dan membuktikan kepada Nathan jika dirinya adalah gadis yang kuat, namun sebelum itu dirinya harus mencari cara kabur dari tempat ini dengan cepat di usapnya air mata yang menetes di pipinya kemudian celingukan mencari benda apa saja yang bisa ia gunakan di ruangan ini. Sebelum itu ia harus mendapatkan sepasang pakaian terlebih dulu. Tapi di rumah ini apa ada pakai wanita? Felisa turun dari tempatnya sekarang, membuka semua isi lemari yang hanya berisi beberapa potong baju laki-laki. Felisa tak bisa terlalu memilih di ambilnya satu kaos longgar untuk ia pakai daripada terus memakai handuk yang bisa jatuh kapan saja. Di raihnya gagang pintu yang ternyata tak di kunci, felisa hanya berpikir baru kali ini ada penculikan yang tak menutup pintu dari luar, ini tak seperti film yang pernah ia lihat. Langkah Felisa begitu pasti menuju pintu keluar namun ia tak tahu jika pintu ini ternyata di pasang sebuah sandi dengan bentuk yang rumit. Sebenarnya lelaki yang menculiknya itu siapa sampai pintu saja memiliki kode lebih rumit dari rumus Fisika. Felisa memasukkan kode apapun agar pintunya dapat terbuka namun dari belakang terasa kepalanya bersentuhan dengan benda dingin. "Penyusup harus mati." Badan Felisa membeku, ia tak tau siapa orang yang tengah mengarahkan pistool di kepalanya ini tapi terdengar dari suaranya tentu saja orang itu bukan orang baik-baik. Felisa berbalik menangkap tangan yang mengatainya seorang penyusup, lalu felisa menyiku perutnya dengan kekuatan yang ia miliki mencoba membanting tubuh besar lelaki itu dan berhasil merebut pistool yang di pakai untuk mengancamnya tadi. "Berikan aku password pintu ini dan biarkan aku pergi." Felisa sudah tidak bisa berpura-pura lemah sekarang ia sudah berlatih beladiri selama beberapa tahun tentu saja hal itu dapat membantunya di dunia yang begitu kejam ini. Tapi Felisa meragukan kemampuan beladirinya, sebenarnya ia tidak sekuat apa yang Felisa harapkan. Lelaki yang berhasil Felisa lumpuhkan di bawahnya ini malah tertawa dengan keras, hal itu membuat Felisa mengerutkan dahi, tak lama suara tawa itu di gantikan dengan wajah yang begitu santai. "Aku tak mengisi pistool itu dengan peluru jadi tarik saja pelatuknya." katanya dengan ringan. Felisa melihat bagian bawah pistool yang ia pegang, ternyata lelaki itu bilang benar jika pistol itu tak memiliki peluru. Felisa mendengus. Lelaki itu beranjak berdiri ia kembali tertawa pelan lalu mengulurkan tangannya. "Aku belum pernah melihatmu sebelumnya? Boleh ku tau namamu?" Felisa mengerutkan dahinya. "Apa kau salah satu dari mereka yang ingin menghancurkan kehidupanku?" Lelaki itu menarik kembali tangannya lalu mengedikkan bahu. "Aku tidak tau tapi jika sepupuku sampai membawamu kemari kau pasti memiliki hubungan dengannya." "Kau bilang hubungan! Menurutmu apa orang yang di culik dapat di katakan sebagai suatu hubungan dengan orang menculiknya!" Geram Felisa tak habis pikir. "Percayalah, aku sama sekali tak tahu menahu tentang hal ini, aku baru datang dari Jeepang untuk menemui teman, tapi yang aku dapatkan adalah kau, boleh aku tau di mana sepupuku itu berada?" Felisa menarik kerah baju lelaki di depannya ini sampai lelaki itu sedikit menunduk. "Aku tak akan mudah percaya dengan apa yang kamu katakan." Ujar felisa tepat saat Rubin masuk dan melihat kejadian di depannya. "Jason? Sejak kapan kau datang?" Tanya Rubin, dengan santainya Jason melepaskan tangan Felisa darinya. "Rubin, aku datang untuk bertemu denganmu tentunya." kata Jason yang mulai duduk di kursi. "Keluarga yang aneh." Desis Felisa. Jason melirik Felisa yang masih mematung. "Rubin, gadis itu boleh juga tapi aku tak menyangka sekarang kau menyukai anak-anak." "Tutup mulutmu Jason! Dia sudah 21 tahun." Rubin melemparkan paper bag ke depan felisa. "Itu bajumu, kembalilah ke kamar atau kau akan tau akibatnya jika terus berada di sini!" Felisa menggeram tapi tetap menurut, lelaki bernama Jason tadi membuatnya penasaran untuk menilisik lebih jauh lagi apa yang akan mereka perbincangkan karna ini adalah salah satu rasa penasaran yang memang keistimewaan Felisa sejak lahir. Namun, di saat seperti ini kenapa ia harus kehilangan ponselnya? Jika terus begini bagaimana dirinya bisa memberikan kabar pada Nathan?. Felisa membuka celah di pintu untuk mendengar percakapan mereka. "Apa peduliku, toh disini juga sama saja dengan di sana." kata Rubin, suaranya terdengar seperti malas menanggapi lawan bicaranya. "Aku tau pasti kau akan mengatakan hal ini, jadi paman akan sedikit memaksamu dengan cara akan membunuh keluarga Xia sampai akar-akarnya." "Apa lelaki tua itu sudah mulai mengancamku sekarang hanya untuk hal ini, katakan padanya aku akan segera kesana dalam waktu dekat ini dan membunuhnya." "Sepertinya kau sudah gila ingin membunuh ayahmu sendiri." "Aku tidak peduli. Aku dan dia tidak punya hubungan darah setetes pun." sahut Rubin begitu sedikit geraman. Jason memutar bola matanya malas. "Kau harus datang malam ini." Tuntas nya. Felisa menutup pintunya dengan sangat perlahan lalu ia bersandar setelahnya. "Apa hubungan lelaki itu dengan keluarga Xia kalau tidak salah Xia yang mereka maksud adalah keluarga para artis kan?" lirih Felisa. Tubuhnya terasa terdorong ketika seseorang akan masuk ke dalam dan tatapan Felisa kini melihat ke arah wajah Rubin yang menatapnya dingin. Tatapan Rubin begitu menakutkan, tapi entah kenapa di waktu bersamaan Felisa terpesona dengan ketampanannya. Oh ayolah. Ketampanan tidak bisa jadi tolak ukur untuk sebuah kejahatan. Wajah pria ini sungguh menipu. Rubin sedikit menunduk menayamai tinggi Felisa dan menatap bola mata cantik itu dengan pandangan intimidasi. "Apa kau baru saja menguping pembicaraanku?" **** To be continued Jangan lupa tinggalkan Komentar  Tap love untuk mendapat notif update.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD