"Apa kau baru saja menguping pembicaraanku?" tanya Rubin.
Felisa menggeleng cepat.
"Lalu kenapa masih belum mengganti pakaianmu? Kau ingin aku melakukan hal yang lebih dari yang tadi?" tambah Rubin, Felisa menggeleng lagi.
"Boleh aku tanya sesuatu?" Selanya.
"Katakan selagi aku masih berbaik hati padamu." sahut Rubin.
"Siapa kau sebenarnya?"
Rubin menutup pintu dengan kakinya dan mendorong Felisa ke sana. "Kau ingin tau siapa aku?" Felisa mengangguk, Rubin tersenyum miring "Aku adalah orang paling di takuti oleh para penghianat, jika mereka tau siapa aku sebenarnya, orang orang menyebutku psikopat RUBIN LEE."
Felisa cukup terkejut, sangat, Psikopat? Tapi sial, sepertinya ia terjebak di tangan lelaki kejam ini.
"Seharusnya aku langsung membunuhmu karna kau sudah tau indentitasku yang mengagumkan ini." Rubin menarik dagu felisa untuk menatapnya, "Tapi aku tak sebaik itu." katanya senang.
Rubin menghempaskan dagu Felisa berpindah menangkup wajah gadis itu menatap lekat ke dua manik mata Felisa, sejenak tatapan mereka tak teralihkan, entahlah, tapi di dalam dua bola mata itu sekilas menghantarkan rasa tenang bagi Rubin.
Felisa memalingkan wajahnya, Rubin berdecih melepaskan tangkupan tanggannya.
"Jika beruntung kau tidak akan bertemu denganku besok, tapi bukan berarti kau bisa lepas dariku." katanya tegas.
____
Esoknya, kedua mata Felisa kini sudah seperti mata panda karna tak tidur semalaman dan terus menatap langit-langit kamar, yang pasti Felisa terlihat sangat kacau.
Ia keluar dari kamar, untungnya Felisa kemarin mendengar jika Rubin akan pergi ke Jeppang, itu artinya untuk beberapa hari ini dirinya tak perlu harus bertemu dengan lelaki itu. Felisa menarik kata-katanya yang pernah sempat tertarik dengan Rubin karena ketampanan pria itu. Felisa tak menyangka di balik wajah tampan tersimpan sifat iblis di diri lelaki itu.
Psikopat dia bilang? Hhh.. sepertinya memang cocok dengan wajah tampan sangarnya.
Felisa celingukan, ia lapar dan harus menemukan sesuatu untuk di makannya. Di bukanya lemari pendingin, semuanya tersedia di dalam sana, Felisa hanya perlu memasaknya sebentar, mungkin membuat sup ikan terdengar enak.
Rubin baru tiba di airport pribadi setelah jet yang ia naiki telah mendarat, ia langsung kembali naik ke mobil yang memang sudah menantinya. Saat perjalanan, mobil yang di kendarai seorang supir yang membawa Rubin oleng setelah terdengar bunyi tembakan.
"Siallan. Siapa yang berani bermain denganku." Di ambilnya dua jenis senjata api yang berbeda dari dalam tas lalu Rubin keluar dari mobil menembakkan peluru ke arah mobil hitam yang tak jauh darinya di susul beberapa orang keluar dari mobil lain.
Terjadilah aksi tembak menembak di tengah jalan raya, Rubin berdecih sambil terus menembakkan pelurunya yang selalu tepat mengenai sasaran. Ini pasti orang orang dari Yama yang mengincarnya untuk balas dendam pada ayah Rubin.
Terdengan bunyi ledakan besar di antara orang-orang yang menyerang Rubin, Rubin berbalik berjalan Slow motion sembari memakai kaca mata hitamnya saat mobil lain ikut meledak menyemburkan api besar ke udara.
Kedua piistol yang sudah tak memiliki peluru ia lemparkan ke belakang dengan lagak sombongnya, namun seberapa sombong apapun Rubin kesan sempurna yang ia miliki tetap melekat dengan kuat padanya.
"Bodoh." lirih Rubin sebelum ia masuk ke mobil lain yang langsung membawanya ke tempat tujuan.
Orang-orang berjas menyambut kedatang Rubin saat lelaki itu tiba di sebuah rumah besar, Rubin hanya berjalan melewati mereka karna untuk apa ia memperdulikan hal yang memang wajar di patuhi untuk semua bawahan.
Pintu di buka, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih dan wajah sedikit tirus, bermata tajam dan tegas, pria itu menyuruh Rubin duduk di ruangannya.
Tak lama pintu kembali terbuka di susul suara manja seorang wanita yang memanggil nama Rubin.
"Rubin aku sangat merindukanmu." Kata wanita itu memeluk leher rubin dari belakang.
"Lepaskan aku Lin jian." Perintah Rubin, tapi wanita bernama Lin jian ini malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Aku tak bisa melepaskanmu, kau tau aku sangat senang saat kau kembali ke sini."
"Aku datang bukan untuk menemuimu." Rubin melihat ke arah ayahnya yang malah tersenyum.
"Lin jian datang karna aku yang menyuruhnya dan kalian akan melangsungkan pertunangan dalam waktu dekat ini."
Rubin langsung berdiri membuat Lin Jian melepaskan pelukannya dari Rubin.
"Kau menyuruhku datang dari china hanya karna mengatakan perjodohan! Kau tau aku tak suka di jodohkan dan aku bisa mencari calonku sendiri."
"Rubin! Kau harus menikahi Lin Jian, dia adalah putri keluarga Jian, jika kau menikahinya kekuatan perusahaan akan semakin kuat di mata dunia."
"Tanpa menikah dengan Lin Jian pun aku sudah di kenal oleh banyak orang di dunia dengan kekuasaan yang menyebar di mana-mana, bahkan tanpa aku menunjukkan wajahku pada mereka, jadi apa perlu aku menikahi Lin Jian hanya untuk mengejar hal yang kau inginkan? Jangan bermimpi!"
Rubin berbalik keluar dari tempat itu mengabaikan suara Lin Jian yang terus menyerukan namanya.
"Kau akan tahu bagaimana aku membasmi keluarga Xia jika kau menolaknya?" Seru ayah Rubin Reflek Rubin langsung berhenti saat sudah memegang handle pintu.
"Kau sudah mulai mengancamku?"
Ayah Rubin tersenyum "Ya, aku akan benar-benar membunuh semua keluarga Xia jika kau menolak menikahi Lin Jian."
Rubin menoleh tanpa melepaskan tangan dari handle yang sudah ia pegang, sudut bibirnya terangkat naik, "Huh? Kau kira aku peduli! Jika kau ingin menghabisinya lakukan saja." katanya dan dia benar-benar keluar dari ruangan itu.
"Paman." rengek Lin Jian.
"Tenang Lin Jian kita akan membuat Rubin mau menikahimu."
Bibir Lin Jian mengukir senyum senang.
________
Felisa menatap dirinya di kaca kamar mandi, sungguh ia hampir tak mengenali pantulan dirinya sendiri di cermin. Di perhatikan kedua kantung matanya secara bergantian, ia tak menyangka jika tak tidur semalaman dapat membuatnya memiliki kantung mata seperti ini.
Air keran di putar, Felisa membasuh dengan air dingin dan menatap pantulan dirinya lagi. Felisa selalu mengatakan ia tak boleh di tindas oleh siapapun tapi kenapa setiap kali berhadapan dengan Rubin ia tak bisa melakukan apapun.
Tapi Felisa harus bersyukur, setidaknya beberapa hari kedepan Felisa tak perlu melihat dan bertemu Rubin.
Tapi sampai sekarang felisa tidak tau password pintu rumah Rubin, dan jika felisa nekat lewat jendela sama saja ia cari mati. Entah ada di lantai berapa ia berada sekarang yang pasti bangunan di bawah terlihat lebih pendek dari yang ia tempati.
Felisa tak bisa kehilangan akal ia kembali mengutak atik password rumah Rubin dan percobaan ketiga kalinya pintu itu akhirnya terbuka, Felisa melonjak senang jika tau akan semudah ini ia sudah keluar dari tadi.
Segera ia berlari menuju lift untuk segera pergi dari bangunan ini secepat mungkin untuk segera bertemu Nathan.
Ya! Nathan harus tahu jika dirinya mendapatkan masalah karena berurusan dengan pria psikopat. Meskipun sebenarnya Felisa tidak yakin apa itu psikopat sebenarnya.
Felisa tiba di sebuah cafe dengan mengendap endap tentunya, ia harus berhati-hati agar tidak ada yang tau atau bahkan dapat mengikutinya.
"Felisa, dari mana saja kau? Aku sudah mencarimu kemana-mana." seru Nathan saat Felisa tiba di salah satu meja, lelaki itu langsung memeluknya dengan erat.
"Nath aku sedang-"
"Duduklah dulu dan katakan pelan-pelan, sebentar." Nathan mengeluarkan kotak dari dalam paper bag kecil. "Aku membelikanmu ponsel agar kamu mudah di hubungi."
"Terima kasih."
"Jadi katakan dari kemarin kau kemana saja?"
"Kemarin aku bertemu pria psikopat." jawab Felisa namun Nathan justru terkekeh geli.
"Apa dia menyakitimu?" tanya Nathan, felisa menggeleng.
"Tidak. Tapi dia mengerikan."
"Kamu yakin?" felisa mengangguk "Apa kamu tahu siapa namanya?" felisa menatap Nathan lalu menggeleng, wait! Kenapa ia merahasiakan nama lelaki kejam itu?
Nathan menghela nafas lega kemudian mengusap kepala Felisa, "aku senang kamu tidak apa-apa" ucapnya penuh dengan perhatian.
***
Bersambung...