"Lo tunggu di sini ya. Gue mau beli donat di bawah." ucap Rea sembari mencari dompetnya di dalam tas.
"Hah apaan. Gue ikut." ucap Hana tak terima ditinggal lalu bergegas berdiri.
Rea segera menggeleng. "Lo di sini aja. Gue cuma mau beli donat sama s**u buat kita."
"Justru itu Re, gue ngapain di sini? Inikan ruang kerja daddy lo. Entar kalau daddy lo dateng gimana?" ucap Hana panik. Pokoknya ia tidak mau ditinggal.
"Ck! Atau gini deh. Lo yang beli donat nah gue yang nunggu di sini." tawar Rea membuat Hana diam lalu mengangguk.
"Boleh deh. Belinya di mana?" tanya Hana.
"Di__ tempatnya rada jauh, Han. Mending lo nunggu di sini aja deh." ucap Rea lalu mendorong tubuh sahabatnya itu agar kembali duduk di sofa.
"Tapi__"
"Cuma sebentar kok. Lagian daddy rapatnya kan baru, palingan dua jam lagi baru selesai jadi nggak bakal ketemu lo juga di sini." ucap Rea lalu segera berlari dengan dompetnya membuat Hana mendesah kesal.
'Kenapa gue ngerasa dikerjain.' batin Hana lalu menatap sekeliling. Pandangannya berhenti pada figura besar yang terpasang di dinding. Itu foto Rea dan daddynya.
Ceklek
Hana segera menoleh ke pintu lalu berdiri saat melihat pria berjas melangkah masuk. Yang Hana tahu itu om Ajid, sekretaris daddy nya Rea.
"Duduk lagi saja, om cuma mau ambil dokumen yang tertinggal."
Hana tersenyum ramah lalu kembali duduk. Membiarkan sekretaris daddynya Rea mencari apa yang dia butuhkan.
Setelah pria tadi pergi, barulah Hana bisa merasa lega. Jika saja ada Rea maka Hana tidak akan segugup ini. Bagaimana jika ada yang hilang di ruangan ini dan ia yang tertuduh?
'Harusnya aku tidak ikut Rea ke sini.' batin Hana menyesal.
Ceklek
Hana kembali menoleh ke arah pintu dan langsung melotot kaget. Tubuhnya spontan saja berdiri dan memberi sapaan sopan.
"Om Andrew." ucap Hana menyapa daddy sahabatnya itu. Untungnya ini bukan pertemuan pertama mereka karena Hana pernah beberapa kali menginap di rumah Rea.
"Rea mana?" tanya Andrew sembari melangkah menuju meja kerjanya.
"Katanya mau beli donat, om." jawab Hana lalu segera mengambil ponselnya.
"Hm"
"Om sudah selesai rapat?" tanya Hana memberanikan diri. Siapa tahu om Andrew datang untuk mengambil sesuatu lalu pergi lagi.
"Rapatnya saya tunda."
Hana melotot. Ditunda? Berarti ia dan om Andrew akan berdua di ruangan ini sampai Rea kembali.
'Apa gue tunggu Rea di luar aja ya.' batin Hana lalu melirik ponselnya, panggilannya ditolak lagi oleh Rea.
"Atau gue sekalian pulang saja." gumam Hana pelan lalu mendongak untuk berpamitan dengan om Andrew, namun_
Deg
Hana kembali memalingkan wajahnya. 'Kenapa om Andrew natap gue begitu.' batin Hana lalu segera mengirim banyak pesan untuk Rea. Ia ingin sahabatnya itu cepat datang dan menolongnya dari momen menegangkan ini.
'Apa jangan-jangan om Andrew marah karena mengira gue yang ajak Rea bolos. Iya, pasti gara-gara itu.' batin Hana lalu memberanikan diri menatap daddy sahabatnya itu.
"Om." panggil Hana pelan lalu segera menunduk saat matanya bertatapan langsung dengan om Andrew.
"Hm?"
"Sumpah om, bukan saya yang ngajak Rea bolos. Itu tadi__"
"Saya tahu."
Hana langsung mendongak. Jadi bukan karena itu? Lalu kenapa om Andrew terus menatap ke arahnya?
Andrew melempar senyum tipis lalu mengambil dompet dan kunci mobilnya kemudian melangkah menuju gadis pujaannya itu.
"Rea baru saja mengirim pesan. Dia ingin kita menyusul ke restoran Hall." ucap Andrew membuat Hana segera melihat ponselnya. Kapan Rea mengirim pesan pada daddynya? Dan kenapa pesan yang ia kirim tidak dibaca.
"Ayo!" Ajak Andrew membuat Hana segera menggeleng.
"Saya langsung pulang saja, om." ucap Hana lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas rensel.
"Saya tidak menerima penolakan. Kita makan dulu baru kamu boleh pulang." ucap Andrew lalu menarik lengan Hana keluar dari ruang kerjanya.
"Om_" Panggil Hana sembari terus berusaha melepas tarikan om Andrew pada lengannya. Namun bukannya lepas, om Andrew malah lebih kuat menggenggam tangannya.
'Ya tuhan.' jerit Hana dalam hati lalu menatap sekeliling. Banyak sekali pegawai yang menatap ke arah mereka.
Sedang Andrew hanya tersenyun tipis. Ternyata begini rasanya menggenggam masa depan.