Bab 10

1143 Words
Kiara berkeliling rumah setelah selesai membantu Bik Siti. Ia ingin melihat-lihat rumah besar ini. Selesai mengelilingi bagian dalam dan melihat-lihat foto serta lukisan yang tertempel di dinding, ia melanjutkan keluar. Bik Siti bilang kalau di belakang rumah ada taman yang ada kolam renangnya. Sepasang netra Kiara menatap takjub apa yang ada di hadapannya. Sebuah kolam renang besar di dekat taman yang sangat asri terlihat menggoda untuk dia masuki. Airnya begitu jernih hingga dasar kolam terlihat jelas. Namun gadis itu tak berani masuk. Bukan hanya karena tidak pandai berenang, ia juga takut menotori airnya. Ia berjalan memutari tampungan air jernih tersebut. Sebuah Gasebo menarik perhatiannya. Mata Kiara benar-benar dimanjakan oleh pemandangan yang menakjubkan. Dengan langkah cepat ia mendekati gazebo tersebut. Udaranya juga cukup sejuk meskipun rumah ini berada di kota besar. Pohon-pohon yang tumbuh di sekeliling taman ini sepertinya sengaja ditanam untuk menambah pasokan oksigen sehingga kadar di sekitarnya menjadi sejuk. Tepat di samping gazebo terdapat kolam ikan dengan aneka jenis ikan koi. Di sebelah kanan tumbuh bambu air yang menambah kesan aestetic. Ah, sepertinya tempat ini akan menjadi tempat favorit Kiara mulai saat ini. "Non Kiara suka tempat ini?" Tiba-tiba Bik Siti datang membawa nampan berisi es jeruk dan setoples camilan. "Suka sekali, Bik. Tempatnya tenang, udaranya sejuk, dan pemandangannya bagus banget," jawab Kiara sembari memejamkan mata. Merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Bik Siti tersenyum menatap sikap polos dan santun majikan barunya. Sikap Kiara berbeda dengan Melani yang usil dan ceria. "Kalau begitu, silahkan menikmati suasananya, Non. Biar tambah betah di sini, bibik bawakan minum dan cemilan." "Wah, makasih, Bik. Bibik baik sekali," puji Kiara membuat wanita paruh baya itu tersipu. Hanya Kiara yang tak segan memuji orang lain meskipun berbeda kasta. Dari sejak pertama melihat gadis ini, Bik Siti sudah langsung menyukainya. Ia seperti melihat duplikat putrinya di kampung. "Bik!" "Ya, Non?" Bik Siti mengurungkan niatnya untuk kembali ke dapur. "Kak Mel sering main di sini, nggak?" "Jarang, Non. Tempat ini jarang disambangi. Soalnya semua penghuni rumah ini sibuk bekerja semua. Hanya nyonya nggak nggak kerja, tapi sering keluar juga menemani Tuan atau ikut pengajian. Paling dua Minggu sekali kalau ada yang berenang, Non." "Sayang sekali ya, Bik. Orang kaya itu punya segalanya, tapi tidak bisa menikmatinya," ucap Kiara dengan mata meredup. Ia membayangkan hidupnya yang penuh perjuangan saat masuk di kampung dulu. "Ya, begitulah, Non. Non Kiara bisa bebas main di sini setiap hari. Biar taman ini tidak sepi." Setelah berbincang cukup lama, Bik Siti pamit masuk karena harus menyiapkan masakan untuk makan malam keluarga. Sementara Kiara masih asik menikmati tempat favoritnya. Pukul lima sore, Aksa sudah pulang. Biasanya kalau ada pekerjaan ia memilih untuk menyelesaikan sampai malam daripada pulang. Namun hari ini ia ingin cepat-cepat pulang. Sebagian pekerjaannya yang belum kelar sengaja ia bawa untuk dikerjakan di rumah. Langkahnya terasa ringan dan bersemangat saat memasuki rumah. Netranya memindai ruangan mencari keberadaan seseorang. "Eh, Den Aksa sudah pulang? Tumben, Den," sapa Bik Siti yang tak sengaja hampir menabraknya karena tidak mendengar suara orang melangkah. "Iya, Bik. Sekali-kali pulang tepat waktu." Pria itu menolah ke sana kemari seperti mencari seseorang. "Rumah kok sepi banget, Bik." "Iya, Den, belum pada pulang." Aksa tidak puas dengan jawaban Bik Siti. "Nggak ada orang sama sekali, Bik?" "Ada Non Kiara, Den. Dari siang di gazebo. Betah banget dia di sana." Aksa tersenyum, lalu naik menuju kamarnya. Setelah mbersihkan tubuh secara kilat ia berjalan menuju balkon. Dari tempatnya berdiri ia bisa melihat Kiara yang sedang memandangi ikan-ikan sembari makan sesuatu. Aksa mengambil paper bag kecil dan membawanya menuju ke taman menyusul Kiara. Ketika melewati dapur, hidungnya mencium aroma masakan yang membuatnya tak bisa melewatkan begitu saja. Ia mencomot satu bakwan jagung yang terlihat menggoda dan masukkan dalam mulut. "Enak, Bik," ucapnya sambil berlalu. Wanita paruh baya itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Aksa memang tidak pernah menjaga jarak dengannya. Bahkan ia tak segan menggoda Bik Siti kalau sedang di rumah. Seperti tadi, dia akan mencomot makanan olahannya lalu berkomentar. Kadang komentar tentang rasanya yang keasinan, padahal tidak. Langkah Aksa terhenti ketika jarak antara dirinya dan Kiara tinggal beberapa meter lagi. Ragu-ragu untuk mendekat. Namun saat ia hendak kembali, Kaira sudah lebih dulu melihatnya. "Bang Aksa!" Kiara menunggu jawaban pemuda itu. Lalu berjalan menuju gazebo dan duduk di sana. "Sudah pulang, Bang? Kak Mel sudah pulang juga?" Hati Aksa mencelos. Dia pikir Kiara senang melihatnya datang, ternyata menanyakan Melani. Tapi itu lebih baik sehingga dia bisa leluasa berbicara dengannya. "Abang nggak ke kafe. Biasanya Melani pulang jam 8 malam," jawabnya sembari mendekat. "Yah ...." Kiara mendesah kecewa. Dengan Melani dia bisa bercanda dan mengungkapkan segala rasa. Karena gadis itu begitu perhatian dan pandai mengambil hati Kiara. Kalau dengan yang lain, Kiara masih merasa sungkan kecuali sama Bik Siti tentunya. Aksa menyodorkan paperbag yang ia tenteng. "Buat kamu," ucapnya sembari tersenyum. Ragu-ragu Kiara menerima benda itu. Dia tak tahu apa isinya, tapi mau tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Belum pernah selama ini ia menerima pemberian dari lelaki manapun. "I--ini apa, Bang?" "Buka aja. Kamu pasti membutuhkannya," jawab Aksa sembari duduk di samping Kiara. Namun pria itu menjaga jarak hingga tidak berdekatan. Kedua mata Kiara membelalak melihat benda tersebut. Bermimpi pun dia tidak pernah memiliki benda seperti itu. Dan kini, ia mendapatkannya secara cuma-cuma. Dalam rangka apa? "Ini untuk apa, Bang? Bukankah harganya sangat mahal, ya? Kiara nggak bisa menerimanya," ucapnya lalu menyodorkan kembali kepada Aksa. Pria itu tersenyum. Lalu menyorongkan balik pada Kiara untuk menerimanya. "Kamu butuh ini, Ra. Dengan benda ini, kamu bisa menghubungi kami, menghubungi teman-temanmu atau melakukan apapun." "Tapi ini terlalu mahal, Bang. Kiara nggak bisa menerimanya." "Tidak, Ra. Ini tidak terlalu mahal kok. Lagian kamu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Sama seperti Melani, kamu juga jadi adikku sekarang. Kamu berhak mendapatkan apapun dari keluarga ini. Diterima, ya?" Kiara tak mampu berkata-kata. Entah bagaimana ia bisa mengungkapkan perasaan bahagia yang menyelimuti hatinya. Keluarga ini terlampau baik padanya. Setitik kristal bening menetes mengenai tangannya. "Kok, malah nangis?" "Kiara ... Kiara bahagia mendapat keluarga baru yang begitu baik Sam Kiara. Makasih, Bang. Makasih," ucapnya di sela-sela isakannya. Aksa membantu menghidupkan benda tersebut. Seketika layarnya berpendar menampilkan logo brand ternama. Kiara tak berkedip menatap takjub pada ponsel barunya. Seumur hidup, dia belum pernah memegang HP. Jangankan yang model android, hp zaman dulu saja belum pernah. "Di dalam sudah ada kartunya. Ada nomor kita semua juga di sini. Jadi kamu tinggal pencet kalau mau menghubungi kami." Aksa menjelaskan cara mengoperasikan ponsel tersebut. Dengan seksama gadis manis itu mendengarkan agar tidak terlewat. Setelahnya ia mencoba mengoperasikan sendiri. Tangannya sedikit gemetar memegang benda itu. Bahkan telapak tangannya sudah berkeringat. "Santai aja, Ra. Nggak bakalan rusak kok." Kiara menunduk malu. 'Dasar orang kampung,' makinya dalam hati pada diri sendiri. Ketika ia mengotak-atik benda itu, tiba-tiba ponsel tersebut meluncur karena tangannya licin dengan keringat. Beruntung reflek Aksa sangat cepat hingga bisa menangkapnya. Namun karena aksi tiba-tiba itu, kepala keduanya justru saling berbenturan. "Aduh!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD