Bab 11

1305 Words
Alexa yang panik langsung menatap Aksa. Spontan ia mengusap jidat pemuda itu untuk mengurangi rasa sakit. Namun aksinya tersebut justru membuat Aksa spontan menepis tangannya. Lelaki itu tidak terbiasa bersentuhan dengan perempuan kecuali Melani dan mama. Kiara yang mendapat perlakuan seperti itu langsung berkaca-kaca. Ia hanya khawatir akibat ulahnya bisa menyakiti jidat Aksa. Namun siapa sangka tindakan spontannya justru membuat lelaki itu marah. "Maaf," lirihnya sambil menyembunyikan wajahnya yang sudah basah. Lalu Kiara memilih untuk berlari meninggalkan tempat itu. Tubuh Aksa mematung. Gerak refleknya membuat gadis manis itu terluka. Meskipun berusaha disembunyikan, Aksa tahu betul kalau Kiara kecewa. Pemuda itu menyesali gerak refleknya yang terkadang justru menyusahkan dirinya. Ia menatap telapak tangannya yang terangkat di udara. Tangan yang baru saja melukai perasaan seseorang. Lalu tangan kiri terangkat juga. Sebuah ponsel yang baru saja ia berikan pada Kiara masih ada ditangannya. Gara-gara benda ini juga, Kiara kembali menjaga jarak dengannya. Rasa bersalah langsung merambati hatinya. Sungguh dia tidak sengaja melakukan hal itu. Ia hanya spontan karena mau menjaga supaya tidak bersentuhan. Bagaimanapun Kiara hanya adik angkat, berbeda dengan Melani yang sudah menjadi mahram karena sepersusuan. Dengan langkah gontai Aksa meninggalkan tempat tersebut. Membawa HP baru beserta wadahnya ke dalam rumah. Untuk saat ini lebih baik dia tak menemui Kiara dulu sampai gadis itu tenang. Nanti kalau sudah membaik, dia akan meminta maaf dan menjelaskan alasannya. "Apa salahku? Aku hanya ingin memastikan apa benturan tadi melukainya atau tidak. Kenapa harus bersikap begitu?" ucap Kiara di sela-sela tangisannya. Ia membenamkan wajahnya di batal agar suaranya tidak terdengar dari luar. Padahal tanpa harus ditutup pun tidak akan terdengar karena kamar ini dilengkapi dengan peredam suara. "Aku memang jelek, mungkin dia jijik kalau aku menyentuhnya. Yo wis rapopo. Mulai saat ini aku akan berhati-hati biar dia marah lagi sama aku." Kiara duduk menyandarkan kepalanya di headbord. Matanya menerawang memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini. Tidak mungkin ia bersantai-santai ria dan hanya numpang hidup tanpa melakukan apapun. Sebuah ide melintas di kepalanya. Mungkin dia tidak bisa bekerja seperti yang lain. Tapi dia bisa membantu semua pekerjaan Bik Siti. Mencuci atau memasak adalah pekerjaan yang mudah baginya. Apalagi hanya sekadar bersih-bersih rumah. Seulas senyum terbit di wajahnya menggantikan tangis yang baru saja tumpah. Ya, Kiara akan menjadi orang yang berguna. Dia juga tidak mau menerima kebaikan keluarga ini tanpa imbal balik. Perlahan ia bangkit menuju kamar mandi. Mencuci muka dan merapikan penampilannya kembali. "Bibik masak apa?" Wanita paruh baya itu berjengkit. Kedatangan Kiara yang tiba-tiba di belakangnya membuat ia yang fokus jadi kaget. "Bibik mau masak telor balado, Cha kangkung kesukaan Den Aksa, dan SOP iga kesukaan Non Melani. Non Kiara mau dimasakin apa?" "Nggak usah, Bik. Kiara doyan semua makanan, kok. Kata anak sekolah aku ini sejenis omnivora, pemakan segala," sahutnya sambil terkekeh. Bik Siti ikut tertawa dengan candaan Kiara. "Kiara bantuin ya, Bik." "Eh, nggak usah, Non. Biar bibik aja. Ini sudah jadi kewajiban bibik." Kiara cemberut. Selalu saja begini. Bik Siti selalu melarangnya membantu pekerjaannya, padahal dia suka melakukannya. Justru dia akan merasa sedih kalau hanya berdiam diri. Semua trauma masa lalunya akan muncul kembali kalau dia hanya diam. "Bibik nggak tahu ya kalau Kiara ini jago masak?" "Yang bener, Non? Non Kiara bisa masak?" Wanita yang sudah bekerja lebih dari lima belas tahun itu meragukan ucapan Kiara. Pasalnya remaja zaman sekarang lebih banyak main-main daripada berkutat dengan dapur. "Bibik mau bukti? Sekarang juga Kiara bisa membuktikan, boleh ya?" Bik Siti menghembuskan napas pasrah. Mau dilarang seperti apapun majikan mudanya yang satu ini tidak akan bisa. Akhirnya dia mengangguk pasrah dan membiarkan Kiara memegang kendali salah satu menu. "Kiara yang masak oseng kangkungnya ya, Bi?" "Ya, Non." Gadis itu mengepalkan tangan di udara lalu menariknya kebawah seraya berkata, "yes!" Bik Siti hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kekanakan Kiara. Namun demikian melihat gadis itu bahagia, ia ikut bahagia. Suasana masak yang biasanya hening, hanya ada suara pisau dan wajan beradu dengan spatula, kini lebih ramai dengan celotehan Kiara. Kiara tampak fokus menyiangi kangkung. Saking fokusnya ia tak peduli dengan sekitarnya. Selanjutnya ia membuat bumbu dan memasak kangkung dengan penuh perasaan. "Tara! Oseng cah kangkung ala Kiara sudah jadi," ucap Kiara sembari menghirup aroma masakan yang dibuat sendiri. Cah kangkung versi Kiara adalah oseng kangkung ala kampung. Bukan seperti yang dijual di rumah-rumah makan, ia memasak dengan bumbu yang berbeda. "Wah, dari aromanya enak, Non." "Bibik mau cobain?" Kiara menyodorkan sesendok kangkung ke mulut Bik Siti. Tentu saja ia mengambil dari wajan yang sengaja ia sisakan untuk para pekerja di rumah ini. Wanita paruh baya itu menerima suapwn Kiara dengan senang hati. Kiara menunggu respon Bik Siti dengan harap-harap cemas, takut kalau masakannya tidak sesuai selera orang rumah ini. "Ini enak banget, Non. Beneran, bibik nggak bohong," ucapnya dengan mata berbinar. *** Kiara membantu Bik Siti menata meja makan, menghidangkan masakan yang tadi ia buat berdua. Satu per satu anggota keluarga datang dan langsung menempati posisinya masing-masing. Keluarga ini memang sudah memiliki jadwal untuk makan bersama. Meskipun siang hari tidak ada acara makan bersama di rumah karena semua penghuni bekerja, untuk sarapan dan makan malam semua wajib makan di rumah dengan waktu yang sudah ditentukan. Kecuali ada acara yang tidak bisa ditinggal, baru boleh absen makan bersama. "Wah, menunya lengkap banget malam ini, Bi," ucap Melani sembari menyendok nasi ke piringnya sendiri. Bik Siti yang berdiri di belakang mereka tersenyum sambil melirik Kiara. Keduanya saling memberi kode yang hanya diketahui oleh mereka berdua. "Seharian ini kamu ngapain aja di rumah, Ki?" tanya mama menatap putri angkatnya. "Nggak ada, Ma. Hanya berdiam di-" "Non Kiara membantu bibik, Nya. Padahal bibik sudah melarang, tapi Non Kiara bersikeras membantu pekerjaan bibik," potong Bik Siti sebelum Kiara melanjutkan kalimatnya. Wanita paruh baya itu tak mau kena marah karena dia tidak jujur. Lebih baik dia lapor sekarang daripada mereka tahu sendiri dan akan mempersulit dirinya. Bukan dia nggak suka sama Kiara, dia hanya kasihan pada nona mudanya ini kalau terus-terusan membantu pekerjaannya. Dia bekerja di rumah ini dibayar, sementara Kiara harusnya menjadi nona seperti Melani. "Benar itu, Sayang? Kamu nggak perlu melakukannya, Nak. Nanti kamu kecapaian." "Nggak papa, Ma. Kiara juga nggak punya kegiatan. Untuk mengusir jenuh, Kiara hanya bantu-bantu bibik masak sedikit aja." Melani mengulurkan tangan ke puncak kepala Kiara dan mengelusnya. Semua mata menatap aksinya dengan binar bahagia. "Asal jangan terlalu capek, ya. Kamu butuh banyak istirahat biar cepat pulih," ucapnya lembut. Aksa sampai melongo mendengar tutur kata adiknya yang berubah lembut saat bicara pada Kiara. "Nggak kok, Kak. Kiara seneng bisa bantu bibik." Aksa menyendok makanannya. Mengunyah pelan merasakan cah kangkung kesukaannya. Tiba-tiba ia berhenti mengunyah dan menatap Bik Siti yang juga menatapnya, menunggu respon. "Bik, kok rasa cah kangkungnya beda?" Seketika tubuh Kiara menjadi kaku. Sendok yang hendak masuk ke dalam mulutnya terhenti di udara. Rasa takut masakannya tidak enak tiba-tiba membuatnya gelisah. "I-iya, Den. Bumbunya beda. Apa Den Aksa tidak suka?" tanya Bik Siti hati-hati. "Suka. Suka banget malah. Rasanya lebih gurih. Bibik pakai bumbu apa emangnya?" Secara bersamaan Bik Siti dan Kiara menghembuskan napas lega. Kiara menyembunyikan senyumnya sambil menunduk. "Non Kiara yang masak, Den. Bibik nggak tahu apa aja bumbunya," ucap Bik Siti sambil melirik Kiara lagi. Mendengar pujian itu, Melani dan mama jadi penasaran. Mereka akhirnya ikut mengambil cah kangkung tersebut. Setelah beberapa saat, semua mata menatap Kiara dengan berbinar-binar. "Iya, bener. Ini enak banget. Kamu pinter masak, Ki?" Mendapat pujian lagi Kiara semakin malu. Ia tidak merasa pandai, masakan seperti ini sudah biasa baginya. Bahkan dia bisa memasak yang lebih dari sekadar oseng kangkung. "Kenapa nggak kamu rekrut aja Kiara ke kafe kamu, Sa? Kamu butuh koki tambahan, kan?" Aksa langsung menatap Kiara. Ah, dia bahkan belum sempat minta maaf atas perbuatannya tadi. Bagaimana mungkin dia akan mempekerjakan Kiara yang sedang dalam pemulihan? Kegundahan Aksa bisa dibaca oleh Melani. Lalu ia menatap Kiara tepat pada manik matanya. "Kamu mau 'kan, Ki?" "Hah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD