Pagi ini semua anggota keluarga lengkap bertama satu, Kiara. Formasi yang sudah lama ditunggu-tunggu. Papa duduk di kursi kepala, paling ujung. Di sebelah kanannya ada mama dan sebelah kanannya lagi Aksa. Sementara sebelah kiri papa duduk Melani dan Kiara.
"Makan yang banyak, Sayang biar cepat pulih." Mama meletakkan telur ceplok di atas nasi goreng Kiara.
"Makasih, Ma." Kiara makan sambil menunduk. Baginya, sarapan pagi dengan nasi goreng sayur plus telor ceplok adalah menu istimewa. Karena biasanya dia hanya makan sepotong tempe goreng atau gemblong. Tentu saja dia tidak boleh makan lebih dari itu karena bibik akan marah kalau hasil jualan tidak sesuai jumlah gorengan.
Kehangatan keluarga benar-benar bisa Kiara rasakan saat ini. Mungkin seperti inilah rasanya memiliki orang tua yang lengkap dan juga saudara yang sayang dan saling mendukung. Tidak ada teriakan atau benatakan yang membuat tak nyaman.
"Kamu nggak mau ikut kakakmu, Ki? Biar nggak jenuh di rumah aja," tawar papa. Lelaki itu memang sedikit bicara, namun kasih sayangnya juga sama besar dengan mama.
"Kiara mau di rumah dulu aja, Pa," lirih Kiara tidak berani menatap pria berwibawa tersebut. Sudah dua orang memintanya untuk ke kafe. Dia ingin, sangat ingin malah. Tapi rasa takutnya bertemu banyak orang lebih dominan dibanding keinginannya. Entah dia bisa setegar ini atau tidak jika bertemu dengan orang asing.
"Kamu yakin? Di rumah kamu nggak ada temen loh. Mama mau ikut papa ke kantor. Ada kolega papa yang mengajak makan siang bersama istrinya," ucap mama mencoba menggoyahkan keputusan Kiara.
"Nggak papa, Ma. Kiara mau di rumah aja dulu. Mungkin besok-besok bisa ikut."
"Baiklah, Sayang. Kalau kamu butuh sesuatu bilang sama Bik Siti aja, ya."
Kiara kembali fokus pada makanannya. Rasa nikmat dari makanan inintak bisa disia-siakan. Terlebih dirinya sering kali menahan lapar jika dagangannya belum terjual semuanya. Bibiknya akan marah jika melihat dirinya enak-enak makan sementara dagangan masih di tangan.
Selesai sarapan, semua berangkat dengan kendaraan masing-masing. Melani dengan mini cooper-nya, Aksa dengan audionya dan papa dengan mobil sedan nya. Kiara membantu Bik Siti untuk membereskan bekas sarapan meski sudah dilarang. Namun karena kebiasaan Kiara yang harus bekerja keras, membuatnya tak sungkan membantu PRT. Toh baginya semua manusia sama saja. Tidak ada perbedaan kasta karena yang membedakan hanyalah takwa.
"Sudah, Non, mending istirahat saja di kamar. Nanti capek Lo, Non. Non Kiara 'kan baru sembuh, nggak boleh terlalu capek." Bik Siti berusaha mencegah karena takut majikannya akan marah kalau melihat Kiara membantu pekerjaan PRT. Bagaimanapun status Kiara adalah majikan, sama dengan Melani dan Aksa.
"Nggak papa, Bik. Kiara sudah biasa melakukan pekerjaan rumah. Kalau cuma cuci piring segini kecil bagi Kiara, Bi. Bahkan suruh membersihkan seluruh rumah ini juga Kiara sanggu, Bik," ucapnya tetap maksa membantu.
Mau tak mau wanita paruh baya itu membiarkan Kiara membantu. Sedangkan dirinya memilih untuk menjemur pakaian yang sudah selesai ia cuci. Namun sebelum ke belakang, ia berpesan pada Kiara untuk meninggalkan pekerjaannya kalau capek.
***
Aksa terlihat sibuk dengan tumpukan kertas di mejanya. Hari ini dia tidak ke kafe karena pekerjaannya di kantor cukup banyak. Dia juga memiliki janji temu dengan klien saat jam makan siang di restoran yang ada di pusat perbelanjaan miliknya.
Sesekali ia melirik jam yang melingkar di tangannya, khawatir melewatkan waktu hingga terlambat datang di tempat tujuan. Kebiasaan Aksa kalau sudah larut dalam berkas-berkas yang harus ia teliti dan tanda tangani, akan lupa waktu kecuali jam-jam salat. Karena ponselnya sudah disetting untuk memberi peringatan kalau masuk waktu salat.
Sebuah ketukan pintu terdengar dua kali. Tanda kalau asisten pribadinya yang hendak masuk.
"Masuk!"
Benar saja, seorang pria berkacamata masuk lalu menundukkan kepala sejenak.
"Bapak ada jadwal bertemu dengan Mr. Kim di restoran Alkid jam makan siang, Pak. Sekarang sudah jam 11.25. Bapak ada waktu 5 menit untuk bersiap," ucap pemuda itu tegas.
"Hem. Siapkan mobil, kamu ikut sama saya!"
"Baik, Pak."
Aksa membiarkan Desta keluar lebih dahulu, sementara dirinya mematikan komputer dan merapikan mejanya sejenak. Setelah siap ia segera keluar menuju lift khusus direksi.
"Bahannya sudah disiapkan? Tidak ada yang tertinggal, kan?" tanya Aksa sembari membuka email melalui gawainya.
"Sudah siap semua, Pak. Barusan sekretaris Mr. Kim juga baru menghubungi kalau beliau akan terlambat lima belas menit."
Aksa mengangguk. Lalu melihat rolex di tangannya. Lumayan ada waktu untuk salat dulu, pikirnya. "Belok ke masjid yang dekat lokasi. Kita salat dulu saja," ucapnya.
"Baik, Pak."
Tepat sesuai waktu yang dijanjikan, mereka sudah duduk berhadapan di restoran. Makan siang hanya basa-basi saja. Agenda utama pertemuan mereka tentu saja untuk membahas kerja sama. Setelah melalui negosiasi yang cukup alot, akhirnya Aksa bisa mendapatkan kontrak kerjasama ini dengan keuntungan yang lumayan bagi perusahaan.
Kedua belah pihak berpihak di lantai dua mall ini. Aksa menatap deretan counter HP di sekitarnya. Sebuah ide muncul di benaknya lalu berjalan ke salah satu counter yang paling besar.
"Bapak mau membeli HP baru?" tanya Desta mengekor di belakang bosnya.
"Ya. Untuk adik saya," ucapnya sembari mengembangkan senyumnya.
Desta hanya tahu kalau adik yang dimaksud bosnya adalah Melani. Namun baru Minggu lalu ia membelikan HP keluaran terbaru sebagai hadiah ulang tahun gadis itu. Ia berpikir apa pilihannya tidak cocok? 'Ah, orang kaya mah bebas. Beli HP tiap hari juga bisa,' pikirnya.
Desta sempat berpikir, kenapa bosnya sampai repot-repot memilih sendiri apa yang mau dibeli. Biasanya tinggal menyebutkan specifikasi yang diinginkan lalu dirinya yang disuruh mencarikannya. 'Apa karena pilihannya kemarin tidak cocok jadi pak bos mencari sendiri?' batin Desta.
"Ayo!" ajak Aksa pada asistennya yang hanya berdiri seperti patung di belakangnya.
Dengan langkah tegap dan tenang, pemuda itu menyusul bosnya yang tampak berbeda. Aura wajahnya berseri-seri. Bahkan bosnya sampai bersiul-siul sambil berjalan. Dia tak sadar atau terlalu cuek hingga kelakuannya membuat para pengunjung menatapnya penuh minat.
Desta sendiri merasa aneh dengan perubahan bosnya yang tidak seperti biasanya. Lelaki itu biasanya akan memasang wajah datar dan dingin jika di tempat umum begini. Namun hari ini sepertinya ada yang salah dengan atasannya itu. Desta beberapa kali mendapati bosnya senyum-senyum sendiri.
"Maaf, Pak, bukannya Minggu lalu Bapak habis membelikan HP baru buat non Melani? Apa ... pilihan saya tidak cocok?" tanya Desta takut-takut. Ia sudah tak sanggup menahan rasa penasarannya sehingga nekat bertanya. Dalam hati ia berharap HP bekas Melani akan diberikan padanya.
"Ini bukan buat Melani," sahut Aksa singkat.
Desta hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia yakin sekali kalau tadi bosnya mengatakan kalau akan membelikan HP buat adiknya. Apa, bosnya sekarang sudah mulai pikun?