Bab 3

1058 Words
Aksa spontan berdiri dan bergerak cepat untuk menghentikan aksi brutal gadis itu. "Berhenti di sana! Jangan mendekat!" teriak Kiara tiba-tiba memaku kaki Aksa yang hendak melangkah. Jantung Aksa seperti berhenti berdetak menyaksikan gadis di depannya menyakiti dirinya sendiri. Seolah-olah ia jijik dengan tubuhnya dan terus menggosok wajah dan kedua lengannya yang tertutup baju panjang. Pria itu membayangkan betapa kejinya sosok yang hampir menodai gadis yang entah siapa namanya itu hingga menyebabkan trauma padanya. Andai dia nggak takut dosa, sudah pasti sejak tadi ia menghentikan aksi itu dan memeluk tubuh ringkih si gadis dan memberikan perlindungan agar dia merasa aman. Karena tak bisa berbuat apa-apa, ia memilih memencet tombol di dekat ranjang untuk memanggil tim medis. Tak berselang lama beberapa perawat masuk dan segera menyuntikkan penenang pada pasien hingga dalam waktu sekejap tubuhnya melemah dengan mata terpejam. "Apa yang terjadi, Pak?" tanya perawat setelah berhasil menenangkan Kiara. "Dia tadi mengigau. Terus dia menyalahkan nasib yang menimpanya lalu menyakiti diri sendiri." "Apa dia sudah bisa diajak bicara?" Dokter yang merawat Kiara ikut bertanya. Pasalnya dia sendiri sebagai dokter masih kesulitan berkomunikasi dengan pasiennya itu. "Ya. Tadi kami sempat berbicara. Saya hanya memberinya motivasi dan memintanya untuk meluapkan apa yang membebaninya. Lalu dia menangis histeris dan seperti itu." Perawat tampak mencatat sesuatu. Lalu menatap sang dokter seperti saling memberi kode. Setelahnya mereka keluar setelah mengatakan sesuatu pada Aksa. "Sepertinya dengan Anda dia bisa berbicara. Perlahan-lahan saja. Jangan dipaksa cerita. Tolong kalau dia mau berbicara lagi, upayakan untuk dapat identitasnya." Dokter melangkah meninggalkan ruang rawat VIP tersebut dan diikuti oleh dua perawat di belakangnya. Aksa menghembuskan nafas panjang. Lalu berjalan mendekati ranjang. Dengan sangat hati-hati ia duduk di kursi berhadapan dengan ranjang pasien. Sepasang netranya meneliti wajah polos tersebut. "Sebenarnya kamu ini siapa? Apa yang sudah membuatmu sampai seperti ini?" lirih Aksa yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. "Percayalah, aku akan membantumu keluar dari situasi ini. Kamu harus tetap kuat demi dirimu sendiri," lanjutnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 siang. Perut Aksa terasa melilit karena sejak pagi belum diisi. Rencananya tadi akan sarapan di kafe bersama Melani. Namun karena hal tak terduga itu, ia sampai melupakan perutnya yang kosong. Sekali lagi ia menatap Kiara, lalu keluar untuk mencari makan. Mumpung gadis itu sedang tidur, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia takut kalau gadis itu sadar dan tidak ada dirinya di kamar tersebut, gadis itu kabur dan susah untuk ditemukan lagi. Mengingat hingga saat ini Aksa masih belum tahu jati diri Kiara. Satu jam cukup untuk makan siang di kantin rumah sakit. Setelah selesai, pria pemilik Cahaya Kafe itu gegas kembali ke kamar. Niatnya mau langsung shalat duhur di mushalla. Namun setelah dipikir-pikir lagi, lebih baik dia melakukannya di kamar si gadis. Dengan sangat hati-hati ia membuka pintu, mengintip sedikit untuk memastikan pasien di atas brankar sana masih tertidur. Lalu melangkah ke kamar mandi. Sekilas ia melirik nakas, ada nampan berisi makanan. Setelah berperang dengan pikirannya sendiri, pria itu memutuskan untuk salat dulu baru membangunkan gadis tersebut untuk makan. Sekira 8 menit kemudian, Aksa menyudahi salatnya. Lalu memutar kepala untuk menatap gadis di atas brankar dekat tempatnya salat. Siapa sangka bahwa sepasang mata bening itu sudah terbuka dan tengah menatapnya tanpa berkedip. Ditatap seperti itu membuat Aksa jadi salah tingkah. Dia tak tahu bahwa pandangan gadis itu kosong. Seolah sedang memandangnya padahal dia melamun dan tidak menyadari jika Aksa sudah selesai menjalankan kewajibannya sebagai Muslim. Tadi Kiara terbangun saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Lalu dia menutup matanya lagi pura-pura masih tidur. Banyak hal berkelindan di kepala Kiara melihat pria yang begitu sabar menunggunya padahal mereka tidak saling kenal. Ada rasa senang karena diperhatikan sekaligus takut jika pria ini ternyata tidak jauh beda dengan sosok yang hampir menodainya. "Eh kamu sudah bangun? Makan dulu ya?" ucap Aksa memecah lamunan Kiara. Dengan sedikit gugup, Aksa menyodorkan sendok yang sudah diisi nasi dan sayur ke mulut gadis tersebut. "Aku bisa makan sendiri." Kiara merebut sendok tersebut dan memakan makanan yang tampak menggiurkan di matanya. Dia makan begitu lahap seperti orang yang tidak makan 1 minggu. Sejenak melupakan masalah yang menimpanya termasuk pria dihadapannya. Untuk menetralkan degup jantung yang kian menggila, Aksa memilih mundur dan duduk di sofa yang jaraknya lebih jauh dari tempat Kiara. Gadis itu meski sikapnya cenderung cuek dan ketus entah mengapa memiliki daya tarik yang luar biasa. Bahkan pria cool seperti Aksa bisa tertarik padanya. Aneh bukan? Sosok yang selama ini menghindari kejaran para wanita cantik justru tertarik pada gadis yang tidak diketahui asal-usulnya. "Apa makanan seperti ini masih ada lagi?" ucap Kiara tiba-tiba. Makanan rumah sakit yang bagi orang normal rasanya begitu hambar, tandas dalam waktu singkat dilahap Kiara. Aksa melongo mendengar pertanyaan gadis tersebut. "Kamu masih belum kenyang?" Kiara mengangguk dengan wajah malu-malu. Dia benar-benar lapar karena dua hari tidak makan apapun. Belum lagi tenaganya yang terkuras saat peristiwa kemarin. Wajar jika dia masih lapar sekarang. "Tunggu sebentar, ya. Saya belikan dulu." Tanpa menunggu jawaban, Aksa segera pergi meninggalkan Kiara sendiri. Pria itu sangat bersemangat karena gadis yang ia jaga sudah menampakkan tanda-tanda perdamaian padanya. Ia yakin, jika bersabar menghadapinya, pasti suatu saat akan luluh dan mau membuka dirinya. Terpenting saat ini, gadis itu merasa nyaman dulu bersamanya. Aksa berjalan setengah berlari menuju kamar VIP tempat Kiara dirawat. Ia takut gadis manis yang mampu mengusik ketenangan hatinya itu kelamaan menunggu. "Ini, makanlah. Pelan-pelan saja," ucap Aksa lembut. Di luar dugaan, Kiara bukannya langsung melahap makanannya seperti saat makan jatah dari rumah sakit, melainkan hanya diam menatap makanan yang ia berikan. Tak berselang lama bahunya terlihat bergetar diikuti suara isak tangis. Aksa kekanakan. Tak tahu apa yang salah dari makanan tersebut. Apa karena menunya berbeda? Atau karena dia terlalu lama? "Maaf, apa kamu nggak suka dengan makanannya? Apa perlu saya mintakan makanan yang sama pada pihak rumah sakit?" tanya Aksa dengan wajah panik. Ia tak pernah dekat dengan wanita. Jadi tak paham cara menenangkan wanita yang sedang menangis. Yang dia tahu di film-film yang dia lihat, ketika seorang cewek menangis, maka cowok akan menenangkannya dengan cara memeluk cewek itu. Tapi itu nggak mungkin dilakukan olehnya. Dia tak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aksa juga bukan termasuk cowok yang memiliki pergaulan bebas hingga dengan mudahnya memeluk gadis yang bukan muhrimnya. Tangis Kiara makin kencang, hingga membuat Aksa semakin tak karuan. "Tolong jangan menangis lagi, katakan apa yang kamu inginkan?" Lagi-lagi Kiara semakin mengeraskan tangisannya. Ia menatap Aksa dan makanan di pangkuannya bergantian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD