"Kenapa kamu baik sekali?" ucap Kiara ditengah Isak tangisnya. Bayangan perlakuan bibi dan sepupunya kembali melintas di kepala. Mereka, satu-satunya keluarga yang ia miliki menuduhnya berbuat zina dan melemparnya seperti sampah. Sementara pria ini? Pria yang bahkan ia tak tahu namanya itu begitu baik.
Aksa menghembuskan napas lega. Dia pikir gadis itu menangis karena makanannya tak cocok dengan seleranya. Ternyata, tangisan itu adalah tangisan haru atas perhatian yang tidak seberapa menurutnya.
"Makanlah! Kalau kamu mau, nanti saya belikan lagi."
Sambil sesenggukan, Kiara memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Air mata terus mengalir seperti sungai yang sedang banjir. Entah rasa apa yang sekarang menjalari relung hatinya. Sebuah senyuman ia dapatkan dari pria yang sejak tadi terus menatapnya.
"Terima kasih," lirihnya.
"Sama-sama. Habiskan makananmu, lalu kita bicara kalau kamu sudah siap," jawab Aksa.
Dengan sabar, pria yang tak pernah dekat dengan perempuan itu menunggu Kiara selesai makan. Ada perasaan asing yang tiba-tiba menyergap hatinya ketika manik mereka bertemu beberapa detik hingga dia memutus kontak itu lebih dulu.
Untuk beberapa saat hanya keheningan yang menyelimuti. Aksa menyibukkan diri dengan gawainya. Membuka email untuk mengecek pekerjaan yang ia tinggal. Sementara Kiara sibuk menghabiskan makanannya sambil melamun.
Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan sosok gadis asing yang tidak Kiara kenal. Lamunannya langsung buyar seiring dengan suara ketukan sepatu beradu dengan lantai yang semakin dekat. Gadis itu menatap Kiara dan Aksa bergantian. Lalu sebuah senyuman terbit begitu saja seolah ingin menggoda sepupunya.
"Mel, kamu sudah datang? Apa kamu membawakan apa yang aku minta?" tanya Aksa tanpa beban. Ya, tadi dia sempat mengirim pesan pada sepupunya itu untuk datang dan membawakan pakaian ganti untuk Kiara.
"Nih," balas Melani sembari menyodorkan paper bag padanya. Setelahnya ia berjalan mendekati ranjang dan duduk di samping Kiara yang menatapnya bingung.
"Hai," sapa Melani. "Aku Melani, sepupu Aksa. Kamu siapa?" lanjutnya sembari mengulurkan tangan.
Kiara menatapnya bergantian dengan pria yang menunggunya. Bahkan dia sendiri belum tahu nama pria itu. Dan kini ia tahu, kalau pria berhati malaikat itu bernama Aksa. Ragu-ragu ia menyambut uluran tangan tersebut setelah meletakkan sendok plastik ke makannya.
"Ki--Kiara," jawabnya terbata. Ada sedikit ketakutan ia bertemu orang baru mengingat traumanya belum sepenuhnya hilang. Meskipun ia tampak menurut, namun sikap waspada tetap ia pasang.
"Wah, nama yang bagus, aku suka. Kamu mau kan berteman denganku?" tanya Melani ekspresif. Gadis itu memang memiliki kepribadian yang ceria dan humble. Sangat mudah berbaur dengan orang baru. Berbeda dengan sepupunya yang kaku dan agak menjaga jarak, terlebih sama makhluk bernama cewek.
Ragu-ragu Kiara mengangguk samar. Senyumnya sedikit terbit dari bibir pucatnya itu. Lalu seperti tidak ada siapapun di sekitarnya, gadis yang baru mengalami tragedi menyedihkan itu kembali fokus menyantap makanannya. Tidak ada rasa malu, seolah dia sedang sendirian.
Melihat hal itu, Melani bangkit dan berjalan menuju sepupunya. Duduk di sebelah pria yang sejak kecil selalu bersama itu. Bahkan keduanya saat kecil minum ASI dari ibu yang sama yaitu ibunya Melani. Sehingga mereka sudah seperti saudara kandung.
Kedua saudara itu terlibat perbincangan yang hanya mereka berdua yang mendengar. Karena mereka berbicara dengan bisik-bisik sehingga Kiara tidak bisa mendengar apapun. Lagipula gadis itu juga tidak terlalu peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Fokusnya saat ini adalah menghabiskan makanan di tangannya yang sangat jarang ia makan.
"Sudah selesai makannya?" tanya Melani yang entah sejak kapan sudah kembali duduk di samping Kiara. Gadis yang ditanya mengangguk kecil.
"Mau nambah lagi?"
"Tidak, terima kasih," jawabnya malu-malu.
Aksa tersenyum melihat sikap malu-malu gadis yang ditolongnya itu. Seperti anak kucing yang menggemaskan di matanya saat ini.
"Mel, titip ya. Aku ke kafe dulu," ucap Aksa sembari berjalan mendekati dua gadis tersebut. Lalu matanya menatap Kiara sejenak dan tersenyum penuh arti.
"Kamu bisa berbicara apa saja saja Melani. Dia ini pendengar yang sangat baik. Anggap saja kalian berteman. Kalau ada apa-apa bilang aja sama dia. Jangan sungkan, ok?"
Kiara menatap dua orang asing itu bergantian, lalu tersenyum tipis dan mengangguk. "Makasih."
Sepeninggal Aksa, suasana mendadak hening. Kiara kembali larut dalam lamunannya. Sejak kejadian itu, melamun seperti menjadi hal wajib baginya. Entah mengapa hatinya dipenuhi rasa sesak yang amat sangat. Seolah beban hidupnya sangat berat ia tanggung.
Lagi-lagi bayangan sang bibi yang mencaci dan membuangnya berkelebat di dalam benaknya. Silih berganti dengan tragedi pelecehan yang hampir merenggut mahkotanya yang sangat berharga.
Tiba-tiba Kiara menjerit sekuat tenaga seolah ia kembali mengalami pelecahan itu lagi. Melani yang hanya diam tiba-tiba melompat berdiri saking kagetnya dengan teriakan Kiara yang tiba-tiba. Setelah mampu mencerna suasana ini, gadis yang menjadi asisten Aksa itu langsung memeluk Kiara untuk memberikan ketenangan padanya.
"Kiara, sabar. Santai, Kiara. Santai. Jangan memikirkan apapun," ucapnya menenangkan.
Awalnya gadis itu memberontak. Namun dengan elusan lembut Melani di punggungnya mampu menciptakan ketenangan pada Kiara. Lama-lama terdengar isakan memilukan dari bibirnya. Tubuh dan tangannya tampak bergetar hebat dan Melani bisa merasakan itu.
Berulang kali Melani membisikkan kata-kata yang menenangkan hingga tanpa terasa ia merasakan hembusan napas teratur di dadanya. Rupanya Kiara tertidur setelah capek menangis. Dengan sangat hati-hati, Melani membaringkan Kiara dan menyelimutinya.
"Pasti berat sekali kamu menghadapinya. Entah apa yang membuatmu sampai seperti ini, tapi aku yakin bebanmu sangat berat. Bersabarlah, Kiara. Bersabarlah," bisik Melani di dekat telinga Kiara. Meskipun ia tahu gadis yang terbaring lemah itu tak bisa mendengarnya, setidaknya ia ingin alam bawah sadarnya bekerja menyerap ucapannya.
Perlahan Melani berjalan menuju sofa. Membuka gawainya dan mengetikkan sesuatu untuk Aksa. Dia mengabarkan kejadian barusan padanya karena menurutnya Aksa harus tahu tentang hal itu. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas Kiara saat ini, tentu kabar sekecil apapun mengenai Kiara, Aksa wajib tahu.
Ketukan pintu membuatnya menoleh. Lalu seorang dokter wanita yang menangani Kiara masuk bersama seorang perawat.
"Bagaimana kondisinya?" tanya dokter sembari berjalan mendekati pasien. Perawat dengan cekatan memeriksa tensi dan suhu tubuh pasien lalu mencatatnya.
"Barusan tiba-tiba menjerit histeris, Dok."
"Apa pemicunya?'
Melani tampak berpikir sesaat lalu kembali berbicara. "Setelah makan, dia melamun. Tiba-tiba menjerit histeris."
Perawat mencatat setiap detil informasi yang diterima sebagai bahan evaluasi.
"Usahakan untuk tetap ceria. Kalau bisa ajak bicara terus saat dia sadar. Jangan sampai ada peluang untuk melamun supaya tidak memikirkan kejadian yang menimpanya."
"Baik, Dok. Akan saya usahakan."
"Kalau begitu saya permisi," pungkas dokter lalu keluar ruangan diikuti perawat.
Melani mendesah berat sambil menatap wajah damai Kiara. Entah mengapa baru pertama bertemu sudah membuat hati Melani dekat dengan gadis yang terbaring ini. Mungkinkah karena dia tak memiliki saudara lain selain Aksa? Dan kehadiran gadis ini bisa menjadi obat bagi keinginannya yang tak pernah terwujud?
Ya, Melani menginginkan memiliki saudara perempuan. Namun setelah melahirkan dirinya, mamanya tidak pernah melahirkan lagi hingga sekarang. Hanya Aksa yang menjadi saudara satu-satunya karena pria itu menjadi yatim piatu di usianya yang baru 8 bulan. Saat itu Melani belum lahir, baru setelah Aksa berusia tiga tahun lahirlah Melani ke dunia.
Kehadiran Aksa dalam kehidupan orang tua Melani ternyata membawa pengaruh positif. Ibunya Melani yang memang divonis susah hamil karena kista ovarium yang diderita, merasa seperti mendapat anugerah atas kehadiran Aksa. Siapa sangka karena mengasuh anak yatim-piatu, Allah mengaruniai mereka anak kandung juga.
"Tidak, aku tidak seperti itu! Itu semua fitnah! Itu fitnah!" teriak Kiara tiba-tiba.
Melani langsung berlari menuju ranjang dan dilihatnya sahabat barunya itu dalam kondisi terpejam. Terlihat sekali keringat mengucur di pelipisnya dan kegelisahan menyelimuti. "Rupanya kamu bermimpi, Ki."
Dengan begitu sabar dan telaten, Melani membelai lembut wajah Kiara hingga kembali tenang. Namun lagi-lagi gadis itu berteriak sambil memberontak dalam tidurnya.
"Lepaskan aku! Dasar biadab, lepaskan! Tolong, lepaskan, jangan sentuh aku?"
Air mata Kiara mengalir begitu deras padahal matanya terpejam. Mau nggak mau Melani membangunkannya dan langsung memeluk gadis itu.
"Sssttt, tenanglah, Ki. Kamu cuma mimpi. Tenanglah," ucapnya sembari mengelus lembut punggung Kiara yang bergetar.
Serupa mantera, gadis itu langsung tenang dengan bisikan dan perlakuan Melani. Tanpa sadar Kiara mengeratkan pelukannya dan mencari kenyamanan dari gadis yang baru dikenalnya ini.
"Terima kasih, Kak," lirihnya.