Bab 2

1093 Words
“Suster, tolong bantu gadis ini!” teriak Aksa, pemuda yang menemukan Kiara dengan tergesa. Bahkan ia tak sabar menunggu perawat membawakan brankar, dan mengangkatnya sendiri ke ruang UGD. “Sebaiknya Bapak tunggu di luar saja. Biarkan kami memeriksanya dulu,” ucap salah seorang perawat sembari menyiapkan peralatan medis. Di depan ruang berpintu kaca tersebut, Aksa terlihat mondar-mandir. Biasanya ia tak pernah tertarik dengan seorang gadis. Namun entah mengapa melihat Kiara yang tergolek lemah dengan mulut yang terus meracau tak jelas, membuat hatinya ikut merasakan sakit. Seperti ada ketakutan dan beban berat yang ditanggung gadis tersebut. Ia sangat yakin kalau dia bukan gelandangan meskipun pakaiannya sudah robek sana-sini. Disaat ia tengah gusar karena pintu di depannya tak juga terbuka, ponsel di saku celananya berdering menampilkan nama Melani, sepupu sekaligus orang yang dipercaya mengelola kafenya menelpon. “Ya, Mel?” “Di mana sih, Bang? Katanya tadi mau ke kafe pagi, kok belum datang? Jangan bilang abang lupa dan sudah di kantor sekarang,” ucap Melani tanpa jeda. Terdengar nada kesal dari gadis itu. "Aduh, sorry, Mel. Gue di rumah sakit. Kita pending dulu aja, ya." "Hah, rumah sakit? Siapa yang sakit, Bang?" Aksa menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa kelat. Dia harus bilang apa sama sepupunya itu? Nggak mungkin dia jujur telah menemukan seorang gadis dan membawanya ke sini. Bisa-bisa tuh cewek akan meledeknya tujuh hari tujuh malam. Namun kalau dia nggak jujur siapa nanti yang akan dimintai tolong kalau butuh sesuatu tentang gadis itu? "Tadi gue nemuin seseorang yang tergeletak mengenaskan di depan kafe. Ya udah, daripada nanti ada laporan macam-macam tentang kafe gue, ya gue bawa aja ke rumah sakit." Melani masih ingin mengajukan beberapa pertanyaan lagi, tapi pada saat yang bersamaan pintu UGD terbuka. Pria bertubuh tinggi itu langsung menutup teleponnya. Bersyukur karena dokter tersebut telah menjadi penyelamatnya dari cecaran Melani. Gegas Aksa mendekati wanita yang memakai snalli tersebut. Terlihat sekali ia tak sabar ingin mengetahui kondisi gadis yang telah mengusik pikirannya sejak tadi. "Bagaimana keadaannya, Dok?" Wanita yang dipanggil dokter itu menghela nafas panjang. Lalu menatap pria di hadapannya dengan tatapan iba. Aksa tahu, pasti kabar tidak menyenangkan yang akan terucap dari bibir dokter wanita tersebut. "Anda keluarganya?" Ditodong dengan pertanyaan seperti itu, Aksa gelagapan. Dia bahkan tidak mengenalnya. "Bukan, Dok. Saya menemukannya pingsan di depan kafe saya." "Sepertinya pasien habis mengalami hal yang cukup menyakitkan. Dia seperti depresi dan terus ketakutan saat didekati. Dugaan sementara, gadis itu hampir diperkosa." "Di--diperkosa?" Pria pemilik Cahaya Kafe itu membelalak. Memorinya mulai bekerja. Mengaitkan antara baju yang robek-robek, kancing terlepas beberapa butir, dan ... bekas pukulan di wajah yang sedikit menyisakan lebam di sekitar sudut bibirnya. "Apa yang harus kita lakukan, Dok? Saya tidak mengenalnya. Apa ada identitas yang ditemukan?" "Sayangnya tak ada petunjuk mengenai dirinya. Kita juga masih berupaya untuk menggali informasi dari pasien. Untuk sementara, dia butuh perawatan intensif untuk menghilangkan trauma. Kondisinya juga sangat lemah." "Baik, lakukan yang terbaik, Dok. Saya yang akan bertanggung jawab atas pasien.' Dokter dengan name tag Alexandria itu tersenyum ramah. Lalu kembali ke dalam ruangan setelah meminta Aksa untuk menyelesaikan administrasi. *** Aksa membuka pintu dengan sangat hati-hati, khawatir mengganggu gadis yang tengah istirahat di dalam ruang rawatnya. Langkahnya terhenti menatap tak jauh dari tempatnya berdiri, sosok gadis yang ditolongnya duduk sambil memeluk lutut. Kepalanya tenggelam diantara dua lutut. Bahunya bergetar dan isak tangis terdengar menyayat hati siapapun yang mendengarnya. "Itu fitnah. Itu fitnah. Aku tidak melakukannya, aku bukan gadis seperti itu," racaunya berulang-ulang. Aksa tak jadi mendekat, memilih duduk di sofa samping pintu sambil terus mengamati gadis itu. Hatinya berdenyut nyeri membayangkan gadis itu bertahan melawan kebiadaban orang yang hendak melecehkannya. Ia yakin saat ini gadis itu tak hanya merasakan sakit secara fisik, melainkan jiwanya juga ikut terguncang dilihat dari kondisinya sekarang. "Ajak bicara perlahan-lahan. Jangan dipaksa kalau dia mulai ketakutan," ucap dokter tadi kala ia diajak bicara lebih lanjut mengenai kondisi kejiwaan gadis itu. Hingga saat ini, para medis belum bisa mengorek keterangan terkait identitas pasien. Cukup lama Aksa menunggu gadis itu menyadari keberadaannya. Ia tetap diam tanpa melakukan apapun. Bahkan untuk bernafas saja ia lakukan dengan sangat pelan karena khawatir suaranya dapat mengusik ketenangan gadis tersebut. Tiba-tiba sang gadis mendongak. Lalu memutar kepala dan tatapannya tepat mengenai mata teduh Aksa. Untuk sesaat pemuda itu tenggelam dalam mata yang dipenuhi genangan air mata itu. Ia seperti terhipnotis oleh mata sayu yang menggambarkan betapa dalamnya kesedihan yang dirasa. "Kamu siapa? Apa kamu juga akan menuduhku berbuat nista?" Aksa tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan tiba-tiba dari gadis itu. Suaranya ... meski terdengar sarkas, tapi entah mengapa seperti kidung yang menggetarkan hatinya. "Tidak. Aku bukan mereka. Dan aku tidak akan melakukan hal semacam itu." Setelah sekian detik larut dalam pesona gadis yang terlihat rapuh di sana, akhirnya ia kembali menemukan kesadarannya. "Lalu kenapa kamu ada di sini? Mau membuatku semakin terlihat menjijikkan karena berdua dengan seorang laki-laki? Atau kamu mau mengambil kesempatan seperti para laki-laki itu?" Aksa menghembuskan nafas panjang. Sedikit mulai memahami situasi yang menimpa gadisnya. Gadisnya? Lucu sekali, bahkan dia belum tahu namanya dan sudah berani mengklaimnya sebagai gadisnya. Sangat berbanding terbalik dengan sikap Aksa biasanya yang selalu menolak jika didekati oleh wanita. Sebagai owner kafe yang cukup terkenal dan CEO dari perusahaan ternama, dia cukup terkenal di kalangan para wanita kelas atas. Banyak diantara mereka yang rela menjatuhkan harga dirinya demi bisa menjadi wanita Aksa meskipun hanya sekali berkencan. Namun pria itu seperti patung es yang sangat dingin ketika berinteraksi dengan para gadis. Hanya dengan Melani ia sedikit hangat. Bahkan ia sering memanfaatkannya untuk menghindari kejaran para gadis yang ingin menjadi kekasihnya. Namun gadis yang ada di depannya ini tampak berbeda. Dia tak menginginkannya, tapi justru itu yang membuat hatinya begitu cenderung untuk menolong dan melindunginya. "Tidak. Kamu jangan salah paham. Saya menemukanmu tergeletak di depan kafe saya tadi pagi. Jadi saya membawamu ke sini. Tenanglah, saya tidak akan mengambil keuntungan apapun darimu?" Kiara memalingkan wajahnya. Lalu kembali menunduk seperti posisi semula. Isak tangis kembali lolos dari mulutnya. Aksa ingin sekali mendekat dan menghapus air mata itu. Namun ia tak mau melanggar batas. "Menangislah kalau itu bisa membuatmu lebih tenang." Seperti nyayian pengantar tidur. Kiara terhipnotis dengan suara teduh nan menenangkan milik pria yang tidak dikenalnya. Ia menangis meraung-raung menyesali nasibnya yang begitu buruk. Aksa tersenyum getir menyaksikan hal itu. Hatinya ikut sakit mendengar tangisan yang begitu menyayat hati. "Jangan menyalahkan Tuhan atas apa yang menimpamu." "Tapi Tuhan juga sudah membiarkan aku mengalami penderitaan ini!" teriaknya. Tiba-tiba gadis yang sudah berganti pakaian rumah sakit itu mengamuk. Melempar bantal ke sembarang arah lalu menggaruk tubuhnya dengan brutal. "Hentikan itu! Kamu bisa melukai dirimu sendiri!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD