Alan menatap Kiara dengan pandangan mencemooh. Lelaki itu memang tidak suka kalau kalau ada karyawan masuk melalui jalur dalam dan dia menganggap Kiara masuk melalui owner kafe ini. Terlebih masuk ke dalam timnya maka dia memiliki hak untuk mengetes terlebih dahulu.
"Nggak sanggup?" tanyanya pada Kiara yang masih bengong.
Kiara gelagapan. Tidak mengira kalau dia bakalan diminta membuat makanan dari Italia tersebut. Mana kemarin dia nggak sempat mencoba lagi. Beruntung dia sudah mempelajari video cara pembuatannya. Ya ... meskipun nggak yakin, Kiara tetap mencoba untuk memenuhi permintaan calon atasannya. Terkait masalah hasil, biarkan Allah yang bekerja.
Gadis itu segera berjalan menuju tempat bahan yang ditunjukkan Tiara. Dengan gerakan cepat ia mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan sambil mengingat-ingat apa yang yang harus ia ambil. Setiap gerakannya tidak terlepas dari tatapan tiga orang yang ada di sana.
Kiara memulai kegiatannya dengan berdoa dalam hati. Lalu mencuci bersih bahan-bahan yang harus dibersihkan. Mencincang halus bawang bombai dan bawang putih, berlanjut ke bahan lain sesuai dengan apa yang ia ingat di video.
Tak ada seorang pun yang membantu atau berkomentar saat Kiara malakukan aksinya. Mereka menatap fokus pada setiap gerakan tangan gadis kecil itu. Hingga aroma lasagna panggang karya tangan Kiara menguarkan aroma sedap. Lalu gadis itu mengeluarkannya dari pemanggang dan menyodorkan pada Alan.
"Silahkan dicicipi, Kak," ucap Kiara takut-takut. Keringat sudah mengucur di bagian tertentu tubuhnya saking gugupnya. Ini pertama kali ia membuat masakan yang belum pernah ia makan secara spontan.
Alan berjalan mendekat. Mengamati penampilan lasagna buatan Kiara dengan mata jelinya. Lalu mengambil garpu dan menusukkan padanya. Sebelum memasukkan ke dalam mulut, matanya mengamati sekali lagi lalu menghidu aromanya. Jangan tanyakan jantung Kiara yang sudah jumpalitan di dalam sana. Ia sudah seperti terdakwa yang tengah menunggu hasil putusan sidang saja.
Alan mengunyah pelan makanan tersebut. Lalu menatap Kiara dengan pandangan yang sulit diartikan. Sementara Tiara dan Eksan ikut menunggu komentar dari Alan yang sudah mirip seperti juri di acara MasterChef di TV-TV.
"Not bad, masih bisa diterima lidah," komen Alan membuat tiga orang yang menunggu penilaian pimpinan mereka menghembuskan napas lega.
"Jadi ... gimana, Kak? Saya diterima?" tanya Kiara sambil menunduk. Dia benar-benar tak mampu meredam detakkan jantungnya yang menggila. Khawatir kalau hasil usahanya mengecewakan papa dan mama yang sudah berharap banyak. Terutama Melani dan Aksa.
"Ok. Tamu kamu masih butuh banyak belajar," ucap Alan singkat.
"Baik, Kak. Saya akan terus belajar, mohon bimbingannya," jawab Kiara girang. Wajah gadis itu berubah berseri-seri saat Alan memberinya kesempatan untuk bergabung dalam tim mereka.
"Selamat ya, Kiara, kita satu tim. Semoga bisa bekerja sama dengan baik," ucap Tiara tak kalah girang. Akhirnya dia memiliki teman satu tim yang se-gender dengannya. Sehingga ada teman untuk saling berbagi atau curhat saat sedang istirahat.
"Dasar perempuan, di mana-mana selalu lebay," gumam Alan lalu meninggalkan dua gadis yang saling berpelukan itu.
"Biarkan saja, nggak usah diambil hati ya ucapannya. Dia emang kaku. Mungkin karena kelamaan jomlo makanya jadi sensi kalau lihat cewek bahagia." Tiara menenangkan Kiara yang hampir menunduk mendengar kalimat sarkastik dari Alan.
"Iya, Kak. Makasih sudah mau merimaku."
"Ngomong apa, sih, Ki. Tentu saja aku senang kamu masuk tim ini. Akhirnya aku ada temen ceweknya. Nggak garing lagi hidupku dikelilingi di cowok yang irit bicara."
Tiara bicara seolah tidak ada Eksan di sana. Padahal lelaki itu masih setia di dekatnya dan mendengar semua percakapan mereka.
"Eh, ada bang Eksan," ucapnya cengengesan. "Kirain sudah pergi sih."
"Halah, dapat teman baru aja langsung pura-pura nggak lihat. Emang selama ini siapa yang menghiburmu kalau lagi kena marah sama bos!" ucap Eksan dengan bersungut-sungut.
"Bos?" tanya Kiara penasaran. Ia mengira yang dimaksud bos adalah Melani atau Aksa. Karena kalau melihat betapa ramahnya mereka berdua rasanya nggak percaya kalau sampai memarahi anak buahnya.
"Iya, bos Alan. Kita manggilnya bos."
"Oh."
Saat mereka sedang berbincang, seorang pelayan datang menyerahkan kertas pesanan pelanggan. Alan yang tadi sedang duduk agak jauh dari mereka langsung berdiri dan mendekati mereka.
"Apa saja pesanannya?" tanya Alan pada Tiara yang memegang kertas pesanan.
"Potato wedges, spaghetti bolognese, sandwich telur, buttermilk wafle, matcha latte sama milk shake, Bos," jawab Tiara.
"Ok. Kamu, buat potato wedges," tunjuk Alan pada Kiara. "Dan kamu buat sandwich telur. Eksan, kamu yang buat minumannya! Sisanya saya yang buat."
"Baik, Bos!" jawab Tiara dan Eksan kompak. Sementara Kiara yang masih baru hanya menatap mereka sambil merekam di otaknya.
Dalam hitungan detik semua sudah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Beruntung Kiara sudah terbiasa bekerja keras di kampung dulu, sehingga ia tak merasa kesulitan mengikuti ritme kerja di dapur meski baru pertama kali. Tugas yang diberikan Ki ini tidak terlalu sulit bagi Kiara. Kemarin dia sempat mencoba mempraktikkan di rumah.
Masakan mereka siap dalam waktu bersamaan. Tiara memencet tombol sebagai kode kalau pesanan pelanggan sudah siap untuk diantarkan. Seorang pelayan kembali datang dan mengambil nampan berisi hasil karya mereka melalui lubang khusus sembari memberikan pesanan baru.
Kiara merasa senang karena di hari pertama kerja sudah mendapat kepercayaan untuk memasak. Tidak semua orang bisa mendapatkan kepercayaan dari Alan sebesar ia mempercayai Kiara. Meskipun ekspresinya terlihat datar dan kurang menyenangkan, namun dengan diberi kepercayaan untuk memasak sendiri membuat Kiara senang dan merasa dihargai.
Sampai sore tiba pelanggan kafe terus berdatangan. Kiara yang baru pertama kali terjun di kafe kelelahan memasak seharian.
"Kak Tiara, kita sampai jam berapa?" bisik Kiara sambil melirik Alan yang tengah menyesap minumannya. Ia takut kalau pria yang sudah menjadi bosnya itu mendengar ucapannya.
"Sampai jam 8 malam, kalau weekend bisa sampai jam 10 malam."
"Hah? Emang nggak dibuat dua shift ya?"
"Belum. Tapi katanya ada rencana mau dibuat dua shift supaya tidak terlalu lelah kitanya. Tapi entah kapan. Mungkin setelah kamu masuk, kita akan dibagi dua shift. Secara personil kita 'kan sudah nambah."
Saat ini pelanggan sedang sepi. Hanya ada beberapa saja dan semua sudah mendapatkan pesanan mereka sehingga para juru masak bisa berbincang sebentar sambil meluruskan badan. Kiara baru tahu kalau ternyata kafe kakaknya seramai ini hingga mereka hampir tak bisa istirahat.
Untuk hari pertama kerja, Kiara merasa senang di satu sisi, tapi juga lelah di saat bersamaan. Melani tiba-tiba masuk ke dapur dengan senyum mengembang.
"Gimana adikku, menyusahkan kalian, nggak?" tanya Melani pada Alan dan dua anak buahnya. Mereka yang tahu kalau Melani tidak punya adik saling pandang.
"Kiara ini adik angkatku." Melani mendekati Kiara yang menunduk malu. Lalu merangkul kan tangannya ke bahu gadis itu. "Kalau dia mengalami kesulitan tolong dibantu, ya," lanjutnya.
"Kak," bisik Kiara. Ia malu diperlakukan seperti itu di depan bos dan teman barunya. Khawatir mereka menganggap Kiara hanya mengandalkan kakaknya.
"Nggak papa, Ki. Mereka ini baik semua kok. Nggak usah takut. Ya, kan?" Melani menatap Alan yang sedang menyantap Kiara dengan pandangan misteriusnya.
"Ya."
"Tuh, kan Alan aja sudah setuju. Dia ini nggak bakalan bisa menerima orang baru kalau nggak cocok. Kalau kamu bisa diterima di sini artinya dia cocok sama kamu."
Dengan entengnya Melani bicara seperti itu. Padahal dalam pemikiran Kiara, dirinya bisa diterima karena dibawa langsung oleh Melani dan Aksa, si pemilik kafe. Dan dengan perlakuan Melani yang seperti ini ia semakin khawatir teman satu tim ya akan menilainya rendah, bukan karena dia memiliki kemampuan dibidang ini.
"Kafe sudah mulai sepi, kalau Kiara pulangduluan boleh, nggak?" Melani melontarkan pertanyaan itu pada Alan, si manusia es yang minim ekspresi itu.
"Terserah. Kamu 'kan bosnya," jawab Alan dingin. Namun begitu, Melani tetap tersenyum menanggapinya. Padahal seharusnya Alan berbicara lebih sopan karena bagaimanapun Melani adalah atasannya.
"Ok. Thanks, ya. Kiara masih butuh penyesuaian. Dia juga harus istirahat karena seharian ini sudah terforsisy tenaganya."
Melani langsung menyerat Kiara dan pergi meninggalkan dapur. Tatapan tiga pasang mata di belakangnya mengikuti dua gadis itu hingga hilang ditelan pintu.