Dua hari sejak insiden penyerangan terhadap Kiara, kini gadis itu sudah kembali ceria. Namun Melani masih belum berani membawa adiknya ke luar rumah. Hari ini rencananya Kiara akan mencoba memasak menu kafe. Untuk resep dan cara memasaknya sudah diberikan lebih dulu oleh Melani.
Gadis itu serius ketika mengajak Kiara bergabung di kafenya. Ia bahkan sampai rela repot-repot membuat video cara memasak menu-menu kafe miliknya untuk diberikan kepada Kiara. Awalnya kepala koki menolak untuk divideo mengingat sifatnya yang sangat tegas. Namun Melani pandai membuat alasan sehingga secara tidak sadar rekaman video sudah banyak yang terambil.
Kini Melani sedang berkutat di dapur untuk mencoba beberapa menu sesuai dengan video yang dipelajarinya. Keluarga ini tidak main-main ketika meminta Kiara bergabung di kafe. Buktinya semua bahan yang dibutuhkan untuk percobaan Kiara sudah disediakan. Gadis itu tinggal melatih tangan terampilnya untuk membuat menu kafe.
"Kak, cobain deh. Yang ini gimana rasanya?" Kiara menyodorkan pisang karamel keju parut pada Melani. Ini adalah pertama kalinya Kiara memasak makanan yang sangat asing baginya. Tentu saja gadis itu mengalami sedikit kesulitan karena belum mengenal sepenuhnya bahan dan jenis makanan kafe.
Melani menusuk potongan pisang karamel dengan parutan keju di atasnya. Memasukkan ke dalam mulut satu suap dan mengunyahnya perlahan-lahan. Gadis itu tampak menikmati makanan itu terlihat dari ekspresinya.
"Gimana, Kak, enak nggak?"
"Emm, enak. Ini enak banget! Coba kamu rasain deh?" Melani menyuapkan satu potonga pisang karamel ke dalam mulut Kiara. "Manisnya pas, teksturnya juga lembut tapi tidak lembek. Ini pas di lidah menurutku," lanjutnya sambil terus memamakan menu percobaan pertama sampai tandas.
Kiara tersenyum malu-malu saat mendapat pujian dari kakaknya. Semangatnya mulai tumbuh kala percobaan pertamanya tidak mengecewakan. Mungkin belum sempurna, tapi kalau dia rajin berlatih, dia yakin pasti lama-lama akan semakin mahir. Bagaimana pun dia belum pernah makan makanan kafe sebelumnya. Dia juga belum pernah memasak makanan jenis seperti itu sehingga wajar kalau belum bisa.
Seharian ini, Kiara begitu semangat bereksperimen mengolah bahan-bahan yang sudah disiapkan sesuai arahan kakaknya. Terhitung ada lima menu kafe yang berhas ia coba buat meskipun dua menu gagal rasa. Malamnya, sebelum tidur Kiara membuka chanel YouTube untuk mencari beberapa menu yang akan dia coba lagi besok.
Saking semangatnya ia sampai tak sadar kalau waktu sudah merangkak malam. Matanya sudah mulai pedih dan kepala pun mulai berdenyut. Ia memutuskan untuk tidur agar bisa bangun pagi.
***
Sayup kumandang azan terdengar dari pengeras suara masjid terdekat. Melani sudah bersiap untuk salat subuh di kamar mushalla yang dibuat khusus di dalam rumah besar ini. Sebelum menuju ke sana, tak lupa ia mengetuk pintu kamar Kiara untuk mengajaknya salat bersama. Tak butuh waktu lama, Kiara sudah membuka pintu karena dia pun juga sudah siap untuk keluar kamar.
Di rumah ini, Kiara jadi lebih rajin melakukan ibadah wajib tersebut karena semua anggota keluarga saling mengingatkan jika ada yang terlupa. Ada ketenangan tersendiri yang belum pernah ia dapatkan di kampung sebelumnya saat tinggal di rumah ini. Kiara benar-benar beruntung bertemu dengan Aksa dan membawanya ke keluarga di sini.
"Sudah siap, yuk!" Melani langsung merangkul pundak Kiara dan mereka berjalan beriringan menuju mushalla di ujung lorong. Sementara papa dan Aksa pergi ke masjid, semua perempuan salat jamaah di rumah dengan mama sebagai imamnya.
Sesampainya di mushalla, mama sudah menunggu sambil menjalankan salat Sunnah qabliyah subuh. Dua gadis ini langsung melakukan hal yang sama lalu dilanjutkan subuh berjamaah. Hal yang paling Kiara sukai adalah bagian setelah salat, yaitu tausiyah. Mama selalu memberikan tausiyah singkat yang mampu mengubah cara berpikir Kiara. Sungguh gambaran keluarga muslim yang sempurna ada di keluarga ini.
"Hari ini siap ikut ke kafe?" tanya Melani sembari melipat mukenah. Rencananya dia akan mengenalkan Kiara pada semua karyawan kafe secara langsung dan mengajaknya untuk melihat langsung cara kerja mereka.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Kiara sudah benar-benar siap untuk bekerja. Dia sudah berusaha untuk melawan rasa takutnya bertemu banyak orang. Bahkan selama seminggu terakhir ini, sehabis subuh di ikut jogging Melani untuk terapi bertu banyak orang. Sedikit demi sedikit rasa takutnya berangsur hilang. Meskipun belum sepenuhnya, tapi setidaknya dia tak lagi menjerit ketika ada gerombolan orang.
Kiara mematut dirinya di depan cermin. Penampilannya saat ini sangat berbeda dengan hari-hari biasanya. Ia memakai gamis polos dengan model yang sangat simpel dan kerudung segi empat motif. Perpaduan yang sangat pas hingga membuat Kiara semakin terlihat cantik alami. Terlebih gadis itu tidak memakai make up apapun. Kecantikannya tidak dibuat-buat. Itulah sebabnya di kampung ia mencari incaran para pemuda.
Mobil melaju dengan gerakan konstan menuju kafe yang jaraknya tak lebih dari 8 kilo meter dari rumah. Sepanjang jalan jantung Kiara berdebar-debar tak karuan. Ia terlihat sangat gelisah hingga membuat Melani yang berada di sampingnya menoleh padanya.
"Kamu baik-baik saja, Ki?" Pertanyaan itu juga membuat Aksa yang tengah menyetir meneh ke belakang.
"Iya, Kak. Hanya sedikit deg-degan aja," jawab Kiara malu-malu.
Melani meraih tangan Kiara dan menggenggamnya lembut. Terasa sekali tangan tersebut sudah basah dengan keringat.
"Relax aja, Ki. Tanamkan dalam benakmu kalau orang-orang kafe adalah keluarga kita, bukan orang lain. Jadi kamu tak perlu takut saat berkenalan nanti, ok?"
Kiara mengangguk. Berharap bisa melakukan hal itu. Sungguh, rasa traumanya benar-benar mengganggu. Kiara juga ingin hidup normal seperti yang lain. Tapi ada daya, kejadian masa lalu di kampunga benar-benar meninggalkan bekas yang mendalam.
Lima belas menit, mobil memasuki area parkir khusus karyawan kafe. Kiara menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Beberapa kali ia melakukannya hingga tubuhnya bisa sedikit santai. Dengan sabar Melani menunggu adiknya siap untuk turun. Pun dengan Aksa yang masih menunggu di sambil bersandar di pintu mobil.
Mereka bertiga berjalan bersamaan dengan Aksa sebagai pemimpin. Semua karyawan langsung menyambut kedatangan mereka. Namun ketika melihat ada Kiara yang baru pertama kali datang, semua mata menatapnya penuh tanya. Terlebih melihat sikap Melani yang begitu sayang padanya, membuat mereka bertanya.
Kebetulan kafe masih belum buka karena masih persiapan. Jadi semua karyawan bisa menyambut kedatay bos mereka.
"Semuanya, kenalkan ini Kiara, anggota baru kita. Nanti dia akan bekerja di bagian dapur satubtim dengan Eksan dan Tiara membantu Alan," ucap Melani.
"Kiara kenalkan, ini Alan," ucap Melani sambil menunjuk pria yang bernama Alan. "Dia ini yang akan memimpin dapur. Kamu harus patuh dengan semua instruksinya ya." Kiara menatap pria itu sekilas lalu mengangguk.
"Alan tolong bimbing diam, ya," pinta Melani pada pemuda bertubuh tinggi itu.
"Baik," jawabnya singkat.
"Nah kalau ini Eksan, dan ini Tiara, kalian nanti akan menjadi satu tim."
"Halo Kiara, selamat bergabung," ucap Eksan antusias.
Kiara yang sudah tahu mereka sebelumnya dari foto, tersenyum tipis ketika mereka welcome padanya. Ketakutannya sedikit sirna saat orang-orangbyang akan menjadi timnya ternyata menyambutnya dengan ramah, kecuali Alannyang terlihat cuek dan datar. Namun Kiara tidak mempermasalahkannya karena sudah tahu karakternya memang begitu. Sebisa mungkin Kiara tidak akan mengusiknya nanti jika ingin bertahan menjadi bagian dari timnya.
Kemudian Melani mengenalkan semua karyawan satu per satu. Ada yang menyambut Kiara dengan ramah ada pula yang berbisik-bisik menilainya. Kiara tak ambil pusing karena baginya yang penting satu tim bisa menerima kehadirannya.
"Yuk, Kiara kita langsung ke kantor kita," ajak Tiara yang langsung mengakrabkan diri dengannya. Kantor yang dia maksud tentu saja dapur. Kiara menoleh sesaat melempar senyum pada Melani lalu mengikuti langkah timnya masuk ke dapur.
"Oke, mumpung belum ada pelanggan, sekarang tunjukkan kemampuanmu padaku," tantang Alan dengan nada datar tanpa ekspresi.
Kiara menelan Salivanya susah payah. Meskipun dia sudah berlatih di rumah, namun tetap saja deg-degan. Terlebih dengan tatapan intimidasi pria itu.
"Ba--baik, Kak. Apa yang harus saya buat?"
"Lasagna!"
Deg. Wajah Kiara berubah pias. Dari sekian menua yang ia pelajari kenapa nama asing itu yang diminta? Kiara bahkan belum tahu makanan seperti apa itu.