Kiara terus berceloteh sepanjang jalan. Menceritakan pengalaman pertamanya bekerja bersama Alan yang dingin dan tegas. Antusiasme Kiara dalam menceritakan pekerjaan pertamanya membuat sudut bibir Melani berkedut.
"Ada ya, Kak cowok yang nggak bisa senyum seperti Kak Alan. Udah gitu kalau ngomong bisa dihitung dengan jari lagi. Satu dua, satu dua kayak hitungan baris berbaris," celoteh Kiara.
Melani terkekeh geli mendengar kalimat Kiara yang lucu didengar telinganya.
"Kamu suka bekerja di kafe?"
"Suka banget, Kak. Apalagi ada Kak Tiara yang baik banget. Jadi betah aku di sana. Sayangnya Kak Alan sama Kak Eksan lebih banyak diam. Nggak asik," jawab Kiara. Padahal Melani hanya bertanya sekali tapi Kiara menjawab dengan panjang lebar.
Melihat kebahagiaan terpancar di wajah adiknya, Melani ikut bahagia. Setidaknya dengan menyibukkan diri di kafe, Kiara bisa melupakan traumanya sedikit demi sedikit. Sengaja papanya mengusulkan Kiara di bagian dapur supaya tidak bertemu dengan banyak orang. Sehingga dapat meminimalisir kekambuhan, selain karena faktor bakat memasaknya yang bagus tentu saja.
"Tapi Alan tidak menyusahkan mu 'kan, Ki?" tanya Melani tanpa menoleh. Fokusnya tertuju pada jalanan karena dia sedang mengemudi.
"Enggak kok, Kak. Justru Kiara senang karena baru pertama masuk sudah diberi kepercayaan untuk memasak sendiri tanpa pendampingan."
Melani menoleh sekilas untuk memastikan apa yang dikatakan adiknya benar. Mencari kesungguhan di wajah manis Kiara, namun nihil. Gadis itu memang berkata jujur kalau dirinya langsung diberi tugas untuk membuat masakan sendiri.
"Wah hebat loh, kamu. Alan ini termasuk orang yang tidak mau ribet. Sehingga anggota baru yang akan bergabung dengannya pasti diminta jadi pengamat dulu sambil melayani Alan ketika pria itu memasak. Dia nggak mau mengulang masakan kalau sampai rasanya tak sesuai dengan standar kafe."
Kiara berpikir sejenak. Apa benar yang dikatakan Melani? Tapi kenapa di hari pertamanya bekerja dia sudah diminta untuk membuatkan pesanan pelanggan secara mandiri? Apa karena dirinya dibawa oleh Melani atau memang karena memang kemampuannya. Namun Kiara memilih opsi pertama. Ia tidak percaya diri kalau memang dirinya memiliki kemampuan itu hingga Alan langsung percaya akan kemampuannya.
Mobil berbelok memasuki pelataran rumah megah tersebut. Kiara turun lebih dulu dan langsung masuk. Tujuan utamanya adalah mencari Bik Siti. Gadis itu seolah merasakan sedang berbincang dengan bibiknya di rumah sebelum insiden itu ketika sedang bersama Bik Siti.
Kedua matanya berbinar mihat orang yang dicari tengah sibuk di dapur untuk membuat makan malam.
"Masak apa, Bik?" tanya Kiara sembari sembari memindai sekeliling.
"Eh, Non Kiara sudah pulang? Ini loh Non bibik masak rawon. Eh, gimana kerjanya?"
Kiara tersenyum. Ia selalu suka ngobrol dengan Bik Siti karena wanita paruh baya ini selalu antusias menanggapi ceritanya.
"Asik, Bik. Tapi capek." Kiara nyengir. Apa yang diucapkan seolah berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan. Meski mulut bilang capek, nyatanya gadis itu malah membantu Bik Siti.
"Kalau capek istirahat saja, Non. Biar bibik kerjakan sendiri. Mendingan Non mandi dulu aja, biar tubuhnya segar."
Kiara cemberut. Namun tetap beranjak meninggalkan wanita paruh baya yang ia sayangi itu sambil mencomot tempe goreng dan memakannya. Bik Siti hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan majikan barunya itu. Namun sikap adanya yang ditunjukkan Kiara justru membuat wanita paruh baya itu semakin menyukainya. Terlebih Kiara tidaklah menjaga jarak dengannya yang notabene hanya seorang PRT di rumah ini.
Saking fokusnya Kiara pada tempe yang ia makan, ia berjalan sambil menunduk. Ia juga berjalan setengah berlari menuju anak tangga yang berada di balik pintu ruang makan. Tepat ketika ia hendak naik di anak tangga pertama, Aksa berasal dari arah berlawanan sambil memegang ponsel. Keduanya sama-sama fokus hingga tebarkan pun tak terhindarkan lagi.
"Aduh!" ucap mereka bersamaan.
Kiara hampir saja terjengkang karena pijakan kakinya terpeleset. Reflek Aksa melempar ponselnya dan segera menarik pinggang Kiara hingga posisi mereka saat ini seperti orang yang tengah berpelukan. Untuk sesaat dunia serasa berhenti berputar. Netra mereka saling beradu dan jantungnya berdetak bersahutan.
Bik Siti yang mendengar suara orang mengaduh langsung berlari mendekati mereka. Telapak tangannya menutupi mulutnya yang menganga melihat pemandangan yang tidak pantas itu.
"Astaghfirullah," ucapnya spontan membuat dua insan yang saling menempel itu langsung menoleh ke sumber suara. Lalu Aksa melepaskan pinggang Kiara dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pria itu tampak salah tingkah begitupun dengan Kiara yang wajahnya sudah memerah.
"Kalian ngapain?" tanya Bik Siti heran. Namun tatapannya seolah menyelidik pada dua muda-mudi yang tampak malu-malu itu.
"Kami nggak sengaja tabrakan, Bik. Kiara hampir jatuh, jadi saya menolongnya," ucap Aksa santai. Ia segera menguasai diri meskipun jantungnya masih jumpalitan di dalam sana.
"Bang Aksa, HP-mu," cicit Kiara sambil menatap benda pipih milik Aksa yang sudah retak layarnya. Mungkin saking kerasnya benturan benda itu pada lantai hingga menyebabkan layar kaca itu retak.
Aksa memungut benda itu lalu mencoba menghidupkan kembali. Masih menyala, tapi layarnya yang retak membuat tulisannya susah terbaca.
"Nggak papa, ini yang pecah cuma anti goresnya saja, kok. Tinggal diganti aja, beres."
Kiara menghembuskan napas lega. Lagi-lagi karena dirinya Aksa selalu mendapat masalah. Sebelumnya jidatnya terbentur oleh dirinya dan sekarang ponselnya pecah gara-gara dirinya lagi. Gadis itu jadi berpikir kenapa setiap kali bertemu mereka selalu tabrakan. Untung tidak membawa kendaraan, kalau saja mereka tengah mengendarai kendaraan dan selalu tabrakan pasti sudah celaka.
"Ada apa sih, ribut-ribut?" Tiba-tiba mama muncul dari ruang tengah.
"Hanya insiden kecil kok, Ma," jawab Aksa santai. Sementara Kiara masih sibuk menetralkan deburan jantungnya yang seperti ombak di laut selatan.
"Insiden? Insiden apa?" tanya mama panik. Ia langsung mendekati Kiara dan membolak-balikkan tubuh gadis itu seraya menelitinya apakah ada luka pada gadis kecil itu.
"Nggak papa kok, Ma." Kiara tersenyum. Kiara nggak papa. Cuma hampir jatuh saat naik tangga tadi," lanjutnya.
"Duh Kiara, hati-hati dong, Sayang kalau jalan. Kamu bikin Mama khawatir saja." Mama terlihat embhenbuskan napas lega mendengar jawaban Kiara.
"Iya, Ma."
Kiara lalu naik ke lantai dua menuju kamarnya. Badannya sudah sangat lengket dan ia ingin segera berendam di bathtub. Membayangkannya saja ia sudah merasa relax.
***
Hari kedua bekerja di kafe, Kiara sudah mulai bisa mengimbangi ritme kerja di dapur. Ia juga mulai merasa enjoy dengan apa yang menjadi tugasnya. Kebetulan ia datang lebih awal kali ini karena Melani ingin memeriksa laporan pendapatan bulan ini.
Kafe masih tutup dan karyawan belum pada datang. Hanya dua orang bagian bersih-bersih yang sudah mulai bekerja untuk membersihkan semua lantai dan perabot di kafe.
Masih ada waktu tiga puluh menit dari jadwal kehadiran karyawan lainnya. Jadi Kiara bisa bereksperimen lebih dulu. Gadis itu masuk ke dapur dan membuka catatan buku menu. Ia sangat khusu' mempelajari buku tersebut hingga tidak menyadari kehadiran seseorang.
Rencananya ia ingin mencoba membuat salah satu resep yang belum pernah ia buat. Namun saat ia beranjak berdiri dan balik badan seseorang sudah berdiri tepat di belakangnya. Tubuh Kiara menjadi kaku ditatap tajam seperti itu.
"B-bos? Selamat pagi, Bos!" sapa Kiara terbata-bata pada pria dengan ekspresi datar tersebut.
"Hm," jawabnya singkat.
Kiara terdiam, berpikir apakah ia akan melanjutkan niatnya atau tidak. Dia takut kalau bosnya akan melarangnya. Namun kalau dia tidak pernah mencoba, maka tidak akan pernah bisa.
"Maaf, Bos, bolehkah saya mencoba membuat menu ini? Mumpung belum mulai bekerja," ucapnya gugup sembari menunjukkan gambar menu pada Alan. Pria itu menatapnya sekilas lalu mengangguk.
Kiara tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya hingga tanpa sadar dia melompat kecil seraya berkata "yes!"
"Dasar childish," gumam Alan lirih. Namun Kiara mendengar ucapan itu dan langsung berdiri kaku seperti patung arca. Ia merutuki dirinya yang selalu ekspresif dan tidak bisa menahan diri untuk tidak meluapkan perasaannya.
"Maaf, Kak," ucapnya tanpa sadar menggunakan sapaan "kak" seperti awal-awal.
Alan menaikkan sebelah alisnya. Lalu sudut bibirnya tertarik tipis. Sangat tipis hingga senyum samar itu tak bisa dilihat oleh Kiara yang sedang gugup.
Kiara segera memulai percobaannya. Semua bahan sudah ia siapkan dan kini ia mencoba untuk menyayat tipis daging merah yang akan ia gunakan sebagai bahan dasarnya. Gadis itu tampak sedikit kesulitan saat melakukannya. Ia pikir mudah. Saat ia melihat di video, terlihat sangat mudah dilakukan. Namun faktanya hal itu sangatlah sulit.
Tiba-tiba Alan berdiri di belakangnya dan memegangi tangan kanan Kiara. Lalu membimbingnya untuk menyayat daging itu dengan sangat hati-hati. Perbuatannya itu membuat tubuh Kiara tegang. Terlebih posisi mereka saat ini sangat intim hingga ia bisa merasakan hembusan napas Alan menerpa pipinya.
Sementara Alan sendiri melakukan itu tanpa sadar. Entah mengapa tangannya sangat gatal ingin membantu Kiara yang kesulitan, tanpa memikirkan efek yang ditimbulkannya telah mengganggu kesehatan jantungnya.
Tiara masuk dapur melihat adegan itu dengan mulut menganga. Tubuhnya menjadi kaku dan kakinya seolah terpaku di bumi. Hingga tiba-tiba tubuhnya sedikit terhuyung ke depan karena terdorong oleh pintu yang dibuka dari luar. Tak hanya Tiara, sosok yang baru masuk pun juga sama. Pemandangan itu sangat langka dari baru terjadi sekali ini sepanjang mereka bekerja dalam satu tim. Bosnya yang dingin dan selalu menjaga jarak, terlihat berbeda. Posisi mereka yang seperti itu membuat otak dua anak buahnya ini mulai mengembara dan berprasangka.