"Aku teringat kejadian itu," lirih Kiara. Tanpa sadar kedua tangannya mencengkram seprei. Rasa sakit masih begitu nyata. Sakit ketika keluarga yang seharusnya mendukung dan melindungi justru menjadi orang pertama yang menghujat dan menuduhnya. Lalu setelah puas mencaci, membuangnya seperti sampah yang menjijikkan.
"Dasar gadis pembawa sial! Sampah masyarakat! Bisanya hanya mengotori kampung kita saja! Karena kelakuan kamu ini, kampung kita bisa kena sial tujuh turunan!" maki seorang wanita dengan bibir merah darah sembari menarik kerudung Kiara.
"Kita usir saja dia dari kampung ini biar kita semua tidak terkena azab akibat perbuatan terkutuknya itu!" sahut yang lain dengan melempar sendal yang mendarat tepat di pipinya.
Kiara hanya diam sembari mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Membela diri hanya akan membuat dirinya semakin direndahkan oleh orang-orang sok suci ini.
Hujatan demi hujatan, makian demi makian saling bersahutan bersamaan dengan tangan-tangan yang begitu ringan melempari Kiara yang tak berdaya. Benda apa saja yang mereka temui menjadi sasaran untuk menyiknya fisik lemah Kiara.
Seolah orang-orang sekampung ini dirasuki setan, mereka menyiram tubuh Kiara dengan air comberan diiringi dengan riuh tawa tak berdosa. Mereka lupa jika gadis kecil yang mereka siksa ini adalah gadis yatim piatu yang harus mereka jaga. Mereka tak tahu jika tangisan anak yatim bisa menggetarkan Arsy Allah.
"Namamu Suci, tapi kelakuanmu lebih rendah dari binatang!" maki seorang wanita umur 25 tahunan.
"Ampun! Ampuni aku. Aku tidak seperti itu. Itu semua fitnah!" mohon Kiara dengan suara lemah diiringi tangisan menyayat hati.
Sebuah elusan lembut di punggung, mengembalikan kesadaran Kiara ke dunia nyata. Setiap kali memory itu terkuak kembali, tubuhnya gemetar hebat. Seolah ia baru saja mengalaminya saat ini.
"Kamu kenapa?" tanya Melani khawatir. Ia melihat perubahan pada diri Kiara yang begitu kentara. "Kalau kamu nggak sanggup, nggak usah diingat-ingat lagi. Apapun yang pernah menimpamu, anggap sebagai ujian untuk mendewasakanmu. Sabar, ya? Badai pasti berlalu," nasehat Melani.
Kiara bersyukur bisa dipertemukan dengan orang-orang yang baik seperti Aksa dan Melani ini. Tak ada kata-kata kasar dan makian. Hanya ketulusan yang ia lihat dari dua bersaudara itu.
"Terima kasih," lirihnya sembari mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya.
Melani membawa Kita ke dalam pelukannya. Kehangatan mengalir ke dalam setiap aliran darah hingga merasuk ke dalam d**a. Baru kali ini gadis yatim-piatu itu merasakan kasih sayang tulus dari seseorang.
Melani tersenyum hangat. Lalu menggenggam erat tangan Kiara yang sudah mulai mengendur.
"Percayalah, kamu bisa mengandalkan kami sekarang. Kamu tidak sendiri, Ki. Ada aku dan Bang Aksa yang akan selalu membantumu. Jangan sungkan untuk berbicara apapun, ok?"
Gadis itu mengangguk dengan senyum kecil yang menambah manis wajahnya.
***
Lima hari sudah Kiara berada di rumah sakit dengan pelayanan dokter terbaik dan fasilitas terbaik pula. Kondisi fisiknya sudah berangsur membaik. Sedangkan untuk menghilangkan trauma, Kiara harus Konsul psikiater setiap pekan.
Gadis itu tak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikan Aksa dan Melani. Biaya rumah sakit untuk membayari dirinya pasti tidaklah kecil mengingat dirinya dirawat di ruang VIP. Sedang gadis itu tak memiliki apapun untuk diberikan kepada mereka. Alhasil dia hanya bisa menurut saja ketika kedua malaikat penolong itu membawanya ke rumah megah berlantai dua milik keluarganya.
Kiara tak henti-hentinya berdecak kagum memandang rumah megah di depannya. Halamannya juga begitu luas dengan taman dan air mancur yang begitu indah di pandang mata.
"Ayo, Ki kita turun," ajak Melani. Ragu-ragu gadis itu turun mengikuti ajakan Melani. Rasa syukur terus terucap karena dirinya mendapat anugerah yang begitu indah. Dua malaikat penolong, dan tempat tinggal. Meskipun ia akhirnya harus bekerja sebagai pembantu sekalipun, Kiara dengan senang hati akan menerimanya sebagai balas Budi pada Melani dan Aksa.
"Kak, apa tidak apa-apa aku ke sini?" bisik Kiara seolah takut ada orang lain yang ikut mendengar.
"Tentu saja. Aku malah senang kalau kamu mau tinggal di sini bersamaku. Aku akan memiliki saudara perempuan," jawab Melani riang.
Seketika Kiara merasa kedua matanya menghangat. Pandangannya memburam terhalang genangan air mata yang berdesakan ingin keluar. Bibirnya bergetar hingga tak mampu berkata-kata lagi.
"Loh, kok malah nangis?" Melani mengusap pipi Kiara yang sudah mulai basah. "Jangan menangis lagi. Lupakan semua dan jalani kehidupan barumu ini. Apa kamu lupa kalau aku dan Aksa selalu ada untukmu?"
Air mata Kita semakin deras mengalir. Bukan, bukan tangis kesedihan yang keluar ini. Tapi ini adalah tangis haru bercampur bahagia. Setelah ujian yang menimpanya bertubi-tubi, Allah menggantikan dengan kebahagiaan yang tidak pernah ia sangka-sangka.
"A--aku bahagia, Kak. Kakak sudah bersedia menampungku. Terima kasih, terima kasih banyak," ucap Kiara terbata.
"Sssttt, mau berapa kali lagi kamu berterima kasih padaku, Ki. Aku sampai bosan mendengarnya," kekeh Melani sembari mengusap air mata itu sekali lagi. "Udah ah, jangan melow begini. Yuk, kita masuk! Papa sama Mama sudah nggak sabar menunggu kedatanganku!"
Tanpa menunggu reaksi Kiara lagi, Melani langsung menarik tangan sahabat barunya menuju rumah mewah itu. Sementara Aksa sudah lebih dulu masuk sejak beberapa menit yang lalu.
"Assalamualaikum!" ucap Melani riang. Pembawaan gadis itu memang selalu ceria sehingga kehadirannya selalu mampu menciptakan warna di sekitar orang-orang tercinta.
"Wa'alaikumsalam," jawab papa dan mama kompak. Mereka tersenyum menyambut kedatangan putri semata wayangnya bersama calon anggota baru, Kiara.
"Kiara, kenalin ini papa dan mama aku," ucap Melani pada Kiara yang menunduk sopan. "Pa, Ma, ini loh Kiara, yang aku ceritakan itu," lanjutnya.
Kiara langsung menyalami dua orang itu sembari mencium punggung tangannya. Suatu tradisi yang tidak pernah ia lupakan ketika bertemu orang yang lebih tua. Tanpa ia sadari sikapnya ini mampu menciptakan kesan pertama yang begitu bagus di mata kedua orang tua Melani.
"Sini, Nak duduk. Jangan sungkan, panggil kami papa dan mama seperti Melani melakukannya, ya? Anggap saja rumah sendiri," ucap mama dengan senyum lembut.
Kiara hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata karena ucapannya tertelan di tenggorokan. Kehangatan keluarga ini benar-benar membuatnya merasa memiliki keluarga baru.
"Mulai sekarang, kamu tinggal di sini, ya. Anggap Melani sebagai kakakmu, dan kami sebagai orang tuamu. Kamu nggak keberatan, kan?"
Sebenarnya air mata Kiara sudah hampir jatuh lagi. Namun sekuat tenaga dia menahannya karena khawatir akan merusak suasana bahagia ini.
"Ba--baik, Ma. Terima kasih sudah mau menerima Kiara di sini," ucapnya sembari mengusap kedua matanya.
Aksa yang sejak tadi hanya diam mengamati interaksi mereka bernapas lega ketika melihat rona-rona bahagia orang-orang yang dicintainya. Ia tahu betul mamanya Melani yang sudah menjadi mamanya juga, sangat menginginkan anak lagi setelah Melani. Dan Allah selalu mengabulkan keinginan itu seperti dulu ketika baru ada dirinya.
Sebelumnya membawanya ke rumah ini, baik Aksa maupun Melani sudah menceritakan kondisi Kiara juga kronologis mereka bisa mengenal gadis itu. Tanpa pikir panjang, kedua orang tua mereka langsung menyetujui ketika Melani meminta izin untuk membawanya pulang. Bahkan dengan senang hati mereka akan menjadikan Kiara sebagai putri angkat mereka.
"Mel, ajak adikmu istirahat di kamarnya. Dia pasti masih lelah dan butuh banyak istirahat," ucap mama membuat Kiara langsung menatapnya penuh tanya.
Kiara bingung kenapa wanita yang masih sangat cantik di usia yang hampir memasuki 50 tahun itu menyebutnya dengan "adikmu" kepada Melani. Seolah paham dengan tatapan penuh tanya Kiara, mama langsung melempar senyum dan berkata, "mama sama papa sudah sepakat mengangkatnya menjadi anak kami. Jadi Aksa dan Melani sekarang menjadi kakakmu, Kiara. Apa kamu keberatan?"
Dalam hitungan detik, kedua pipi mulus tanpa polosan Kiara langsung bersimbah air mata. Tak ada yang bisa ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini selain satu kata, bahagia. Ya, ia kelewat bahagia hingga tak mampu membendung air matanya.
Kasih sayang yang selama ini tidak pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya, kini bisa ia rasakan dengan nyata. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang ia dustakan? Baru kali ini ia percaya dengan sebuah pepatah terkenal yang sering ia dengar, "ada pelangi setelah hujan".
Entah mendapat keberanian dari mana, Kaira langsung bangkit dan menubruk wanita berhati lembut itu dan memeluknya erat. Memejamkan mata meresapi kehangatan yang megalir ketika kedua tangan mama angkatnya mendekap erat.
"Terima kasih, ya Allah. Engkau kirim malaikat-malaikat penolong untukku," ucapnya lirih.
Melani yang jarang sekali menangis ikut menyusut sudut matanya melihat adegan mengharukan di depannya itu. Pun dengan Aksa dan papa yang hanya diam menyaksikannya sejak tadi.
"Terima kasih, Ma. Terima kasih sudah mau mengizinkan Kiara menjadi memelukmu. Kiara bisa merasakan hangatnya pelukan seorang ibu sekarang."