"Bagaimana kondisinya?" tanya Aksa pada Melani yang terlihat sibuk dengan gawainya.
Setelah menyelesaikan urusan pekerjaannya, Aksa segera kali ke rumah sakit karena khawatir Melani akan kesulitan menghadapi Kiara jika sedang kambuh. Lelaki itu tak bisa tenang meninggalkan sepupunya sendiri menjaga Kiara.
"Tadi sempat histeris lagi, tapi matanya terpejam. Sepertinya traumanya cukup dalam hingga terbawa ke dalam mimpi," jawab Melani dengan sorot kasihan menatap gadis yang terbaring di atas brankar tersebut.
Aksa menghela napas berat. Tatapannya fokus pada satu titik yang sama dengan Melani. Kedua saudara sepupu yang sudah menjadi mahram karena sepersusuan itu duduk bersebelahan dengan pikiran masing-masing.
"Bang," panggil Melani tanpa mengalihkan tatapannya pada Aksa.
"Hem," jawab Aksa singkat.
"Kalau seandainya Kiara kita bawa pulang, kira-kira Bunda bisa menerima nggak ya? Kita bisa angkat Kiara jadi saudara. Kasihan dia, Bang."
Aksa mengulurkan tangannya dan mengacak puncak kepala Melaninyang tertutup kerudung. Sebuah senyuman khas milik Aksa terbit sambil mengangguk.
"Abang setuju. Kamu jadi punya saudara perempuan nanti di rumah."
Melani melebarkan senyumnya hingga deretan gigi putih nan tapi milikinya tampak jelas. Entah mengapa sejak pertama ia melihat Kiara, ia sudah menyukainya. Dia sudah membayangkan nanti mereka akan kemana-mana berdua. Ngemall bareng, nyalon bareng, dan tidur bareng juga. Impiannya untuk memiliki saudara perempuan sebentar lagi akan terwujud.
"Tapi Abang sering-sering berkunjung ke rumah, ya. Jangan pacaran mulu sama pekerjaan!"
"Iya, iya, bawel."
Melani mengerucutkan bibirnya. Setiap kali berdua mereka ini terkadang lebih mirip seperti Tom dan Jerry. Namun kalau sudah menyangkut urusan pekerjaan, tak ada juga yang bisa mengalahkan kekompakan mereka berdua. Apalagi kalau sudah menyangkut urusan lawan jenis. Dua-duanya akan saling meminta bantuan jika ada yang mendekati.
Wajar jika orang yang tidak tahu hubungan mereka, mengira kalau Aksa dan Melani adalah pasangan kekasih. Itulah sebabnya hingga saat ini keduanya masih menyandang status jomlo. Selain karena mereka komitmen untuk tidak akan berpacaran, tak ada yang berani mendekati mereka.
"Tidak, kalian salah sangka! Aku tidak melakukan. Tolong ampuni aku?"
Lagi-lagi Kiara mengigau dalam tidurnya. Melani segera bangkit mendekati ranjang Kiara. Dilihatnya peluh sudah membasahi wajah gadis muda itu. Dengan telaten, Melani menyeka keringat yang mengucur menggunakan tisu. Sesekali ia mengelus kening Kiara yang berkerut-kerut seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat hingga terlihat relax kembali.
Merasakan sentuhan lembut di pipinya, perlahan Kiara membuka mata. Pertama kali yang ia lihat adalah wajah cantik Melani yang tersenyum begitu tulus padanya.
"Kak Mel," lirihnya sembari berusaha untuk bangun.
"Tenanglah, Kakak disini menunggumu." Gadis berhijab dengan mata bulat itu meraih kepala Kiara dan membawanya ke dalam pelukan. Usapan lembut di punggung Kiara mengalirkan kehangatan yang selama ini tidak pernah ia dapatkan dari keluarganya.
Tiba-tiba kedua mata Kiara menghangat. Ada sesuatu yang mendesak keluar untuk ditumpahkan. Entah sudah berapa banyak air mata yang keluar sejak kejadian naas itu. Seolah-olah sumber air mata gadis malang itu tidak pernah kering dan terus memproduksi cairan bening tersebut.
Melani merasakan tubuh Kiara kembali bergetar. Isakan kecil lolos dari bibirnya yang sudah ia redam mati-matian. Keluarganya begitu tega membuang dirinya seperti sampah tak berharga. Namun Melani, orang yang tidak memiliki hubungan darah dengannya bahkan tidak mengenalnya begitu tulus membantu.
"Kalau menangis bisa mengeluarkan semua beban yang kamu rasakan, menangislah sepuasmu, Ki. Tapi berjanjilah, setelah hari ini tidak ada air mata lagi yang keluar walau setetes." Melani membiarkan bajunya basah oleh air mata Kiara. Dia tak peduli dengan itu karena baginya memberikan sandaran pada Kiara adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.
Interaksi dua gadis itu tak pernah lepas dari tatapan Aksa. Hatinya ikut berdenyut nyeri mendengar ratapan dari gadis yang ia temukan di depan kafenya tersebut. Ia yakin pasti berat bagi Kiara melalui ujian ini. Meskipun ia sendiri tak tahu persis bagaimana kronologi kejadian yang menimpanya hingga membuat gadis itu trauma.
"Maafkan aku, Kak. Bajumu jadi basah," ucap Kiara dengan senyum malu-malu. Ia masih belum menyadari jika di dalam ruangan ini masih ada sosok lain selain Melani.
"Nggak papa. Apa kamu sudah merasa sedikit lebih tenang?"
Kiara mengangguk. Lalu mengusap sisa-sisa air matanya yang masih menetes membasahi wajah. Pipinya bersemu merah tatkala ditatap intens oleh Melani. Terlebih saat kedua matanya bersirobok dengan netra kelam milik Aksa. 'Duh, Kiara, bisa-bisanya kamu nangis kejer di depan orang yang telah menolongmu? Mana baru kenal lagi,' batin Kiara merutuki dirinya sendiri.
Tanpa Kiara sadari tingkahnya yang malu-malu saat bertemu tatap dengan Aksa, diperhatikan oleh Melani. Gadis itu lalu menoleh pada sepupunya dan tersenyum penuh arti. Namun Aksa memelototinya agar dia tak bicara macam-macam. Masalahnya kalau sudah kenal, Melani akan berbicara ceplas-ceplos tanpa saringan.
"Ki, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Melani hati-hati.
Kiara mengangguk. "Mau tanya apa, Kak? Jangan susah-susah ya pertanyaannya, takut nggak bisa jawab," jawab Kiara polos.
Seketika Melani tergeletak. "Kamu lucu banget sih, Ki. Kamu pikir sekarang sedang ujian sekolah?"
Wajah Kiara yang manis itu terlihat merona. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat oleh Melani. Entah Kiara memang sepolos itu atau karena dia memiliki selera humor yang tinggi sehingga ucapannya mampu memancing gelak tawa lawan bicaranya. Untuk sesaat gadis itu melupakan beban yang menimpanya.
"Kak Mel mau tanya Apa?"
"Kamu berasal dari mana?" tanya Melani hati-hati. Sepasang matanya menatap wajah Kiara yang semula malu-malu berubah menjadi sendu.
"Aku ... aku dari Gunung Kidul, Kak. Sebelah selatan Jogjakarta."
"Apa? Ja--jadi kamu bukan orang Jakarta? Bagaimana kamu bisa sampai ke sini?"
Jelas sekali keheranan di wajah Melani. Pun dengan Aksa yang duduk di sofa sambil mendengarkan pembicaraan dua gadis tersebut. Dia sendiri tidak mengira kalau Kiara berasal dari kota yang cukup jauh.
"Emangnya ini di mana, Kak?" Bukannya menjawab, gadis manis yang usianya belum genap 20 tahun itu justru balik bertanya. Dia mengira kalau sekarang dia berada tak jauh dari Jogjakarta.
"Jakarta."
"Apa?!" Gantian Kiara yang tercengang sekarang. Ia menatap Melani dan Aksa bergantian. Seolah mencari kebohongan di mata keduanya. Namun ia tak menemukan kebohongan itu. Pantas saja dialek bahasa dari para perawat dan dokter yang menanganinya tidak sama dengan dialek Joga.
Kiara menghembuskan napas berat. Pikirannya melayang pada saat pengusiran itu terjadi. Ia ingat kalau dirinya naik ke sebuah bus dan tiba-tiba saat sadar sudah berada di rumah sakit ini. 'Apa aku sampai Jakarta karena naik bus itu? Lalu bagaimana nasibku kelak kalau aku tidak bisa kembali?' batin Kiara.
"Ki," panggil Melani. "Kiara," ulangnya karena Kiara terlihat larut dalam lamunannya lagi.
"Ya!"
Melani menghela napas panjang. "Kamu memikirkan apa?"
"Aku ...."