"Tara!" teriak Melani ceria sembari membuka lebar pintu kamar yang luasnya mungkin empat kali luas kamarnya di rumah bibi. "Nah, Kiara adikku yang cantik, ini kamarmu," lanjutnya sembari menyeret tangan gadis itu agar masuk lebih dalam.
Kiara memindai ruangan yang sangat luas ini dengan tatapan takjub. Sebuah pringbed berukuran Queen ditutup sprei warna soft pink, sebuah meja rias yang sudah lengkap dengan skin care di atasnya, dan sebuah lemari pakaian tiga pintu yang semuanya bernuansa pink memanjakan mata Kiara. Ditambah lagi sebuah sofabed yang menghadap ke jendela kaca terlihat begitu nyaman untuk bermalas-malasan.
Netra Kiara berembun menatap semua yang sudah disiapkan untuk dirinya. Padahal seandainya ia ditempatkan di kamar pembantu sekalipun dia akan merasa bahagia karena sudah diberi tempat berteduh. Namun apa yang ia dapatkan saat ini melebihi ekspektasinya sekalipun.
"Kak, ini ... ini terlalu berlebihan," ucapnya dengan suara bergetar.
"Tidak, Ki. Karena kamu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga ini, maka kamu juga akan mendapatkan fasilitas yang sama denganku."
Melani kembali menyeret tangan Kiara menuju ke kasur empuk yang belum pernah Kiara rasakan seumur hidupnya. Lalu keduanya terlentang sambil menatap langit-langit kamar. Untuk sesaat keduanya terdiam. Saling meresapi rasa yang mbuncah dalam dadanya masing-masing. Kira bahagia karena mendapatkan keluarga baru yang menyayanginya, sedangkan Melani bahagia mendapatkan adik perempuan seperti yang ia impikan selama ini.
Dulu Melani pernah membayangkan bisa berbagi cerita dengan adik perempuannya. Ngemall bareng, nyalon bareng dan akan curhat soal gebetan masing-masing
Sayangnya hingga ia lulus kuliah, mamanya tak kunjung hamil lagi. Namun Allah Maha Rahman. Mengabulkan keinginannya meski bukan lahir dari rahim mama.
"Ki, kamu tahu? Aku pernah memimpikan hal seperti ini sejak SMP." Melani memulai cerita tanpa mengubah posisinya. "Aku pernah iri sama teman-teman yang memiliki saudara perempuan dan berharap suatu saat aku juga memilikinya." Senyumnya mengembang. Lalu memiringkan tubuhnya menghadap Kiara dan menyangga kepalanya menggunakan tangan kanan.
"Terima kasih kasih sudah mau jadi adikku," ucap Melani dengan senyum tulus hingga ke mata.
Kiara ikut memiringkan tubuhnya hingga posisi mereka saling berhadapan. "Aku yang seharusnya berterima kasih karena keluarga ini mau menerima gadis yatim-piatu sepertiku, Kak."
Alih-alih berbincang riang, kedua gadis itu justru saling mengungkapkan berasa yang membuat keduanya menjadi melow.
"Hah, harusnya kita tertawa bahagia, Ki. Bukan malah melankolis begini," ucap Melani sembari menyusut air matanya yang meleleh di pipi. Lalu ia bangkit dan kembali ceria seperti sedia kala.
Dengan semangat gadis yang kini menjadi "kakak" itu menjelaskan seluk beluk rumah ini seperti seorang tour guide. Ia berjalan menuju lemari dan membuka seluruh pintunya. Terpampang lah isi lemari tersebut yang tampaknya semua masih baru.
"Ini semua menjadi milikmu, Ki. Baju, sepatu, dan semuanya yang ada di sini aku sendiri yang memilihkannya loh," lanjutnya jumawa.
Kira tak bisa untuk menahan kekagumannya pada semua yang tertangkap indera penglihatannya. Demi apapun, semua ini sangat bagus dan tidak sebanding dengan apa yang dimiliki sepupunya di kampung.
"Kakak," rengek Kiara sembari menghambur dalam pelukan Melani. Kini ia sudah berani bermanja pada gadis yang sedikit lebih tua dari usianya itu. Ia benar-benar merasakan bagaimana bahagianya menjadi seorang adik.
"Kenapa kakak baik sekali?"
Melani terkekeh. Ia baru bisa melihat sisi lain Kiara yang manja seperti ini. Untung hanya ada dirinya di kamar ini. Kalau ada Aksa, ia yakin abangnya itu akan gemas melihat tingkah Kiara yang mirip anak kucing itu.
"Ini kamar mandimu!" Seolah tak cukup memberi kejutan setumpuk pakaian dengan semua aksesorisnyw, Melani kembali memberikan kejutan lainnya. Lutut Kiara seolah lemas melihat betapa mewahnya kamar mandi yang hanya ia bisa lihat di TV-TV itu.
Belum hilang rasa takjub Kiara, Melani kembali menyeret adiknya keluar. Menunjukkan ruangan lain yang membuat jantung Kiara berdetak cepat.
"Di samping kamarmu ini, kamarku. Kita bisa saling mengunjungi kalau nggak bisa tidur," ucapnya sambil terkikik. Dan yang berhadapan langsung dengan kamarmu ini adalah kamarnya Bang Aksa," ucapnya ringan seringan bulu. Namun mampu membuat bulu kuduk Kiara meremang.
"Hah, dia juga tinggal di sini?"
"Ya. Tapi lebih sering di apartemen, kok."
Huft. Kiara menghembuskan napas lega. Apa jadinya kalau pemuda itu tinggal di sini juga setiap hari. Ia yakin tak mampu mempertahankan jantungnya untuk tidak berdetak normal.
"Apa kamu berharap dia tinggal di sini setiap hari, Ki?" tanya Melani sembari mendekatkan wajahnya. Kiara tak mampu menyembunyikan kegugupannya ditatap seperti itu.
"Ti-tidak!" jawabnya setengah berteriak. Respon spontan Kiara itu justru semakin membuat Melani ingin terus menggodanya.
"Abang masih single loh, Ki."
"Apa?!"
"Kenapa kaget begitu, sih? Hayooo ... jangan bilang kalau kamu sama Abang ..."
"Tidak!" jawab Kiara cepat. Lalu berlari menuruni anak tangga untuk menghindari kakaknya yang jahil itu. Karena buru-buru, ia tidak melihat depan. Tiba-tiba kakinya tersandung keset di depan anak tangga terbawah. Ia sudah memejamkan mata dan bersiap merasakan sakitnya berciuman dengan lantai marmer yang keras. Namun hingga beberapa detik ia menunggu, tak merasakan sakit seperti bayangannya.
"Hati-hati, Ra."
Deg. Kiara mendadak seperti patung hidup. Tubuhnya kaku tak bisa bergerak. Ia yakin saat ini wajahnya sudah memerah tomat busuk, sehingga tak berani membuka matanya.
"Cie ... cie, so sweet banget. Udah kayak Cinderella dan-"
"Melani!" sergah Aksa karena dia tahu saat ini Kiara sedang menahan malu. Dengan lembut, ia menegakkan tubuh Kiara sehingga posisinya sudah berdiri sempurna. "Melani bisa nggak sih sehari aja nggak usil?"
"Iya deh iya." Melani berjalan melewati mereka. Saat matanya bertemu tatap dengan Kiara ia mengedipkan sebelah matanya membuat gadis itu melotot.
"Jangan kaget, dia emang usil," ucap Aksa menenangkan.
"I-iya, Bang." Kiara langsung kabur menyusul Melani yang entah kemana setelah meledeknya. Gadis itu nggak berani berlama-lama dengan Aksa meskipun ke depan mereka akan sering bertemu mengingat status mereka sekarang sudah menjadi kakak angkat.
Aksa senyum-senyum sendiri mengingat kejadian barusan. Lalu mengangkat kedua tangannya dan memandangi seolah-olah habis memegang benda berharga.
"Hayo Lo!"
Aksa tersentak kaget. Lagi-lagi Melani mengusilinya dan itu membuatnya gondok.
"Ekhm! ekhm! roman-romannya ada yang lagi kena virus nih," sindir Melani sembari menarik turunkan alisnya. "Hati-hati, Bang. Tahan iman, dia emang manis," bisik Melani membuat Aksa mengepalkan tangannya. Ia sudah tak tahan lagi digoda terus sama adiknya yang resenya nggak ketulungan ini.
Aksa melenggang pergi meninggalkan Melani yang terus meledeknya. Duduk di ruang tengah sembari menyalakan TV. Memencet nomor secara acak terus-menerus tanpa melihat acara yang sedang ditayangkan.
Tiba-tiba ia melihat Kiara yang melintas di sampingnya. Gadis itu sepertinya juga tengah melamun sehingga tak melihat keberadaan dirinya. Spontan ia memalingkan wajah dan kembali fokus pada layar berpendar di hadapannya. Ekor matanya menangkap sosok Kiara yang berjongkok di sebelah sofa tempatnya duduk. Hatinya bimbang Anatar menoleh atau tetap pada posisinya dan pura-pura tak tahu. Namun entah mengapa ada dorongan kuat yang membuatnya menoleh.
Hatinya berdesir melihat apa yang dilakukan gadis itu. Ternyata dia tengah mengelus-elus Catty, kucing kesangan Melani. Gadis itu memperlakukan Catty seperti memperlakukan seorang bayi. Kiara mengangkat kucing putih jenis Angora itu dan membawanya ke dalam pelukan. Lalu menciumnya dengan gemas seolah-olah makhluk itu adalah seorang bayi.
"Ih, kamu lucu banget, sih. Hemmm, wangi lagi. Jadi pengen nyium kamu terus," ucapnya riang. Ia tak menyadari kalau sedang diperhatikan oleh Aksa.
Wajah pemuda itu memerah mendengar ucapan Kiara yang sebenarnya ditujukan pada Catty. Jantungnya berdetak kencang saat melihat Kiara mencium Catty bertubi-tubi.
"Astaghfirullah, apa yang gue pikirkan," batin Aksa.