Bab 1

1076 Words
Hujan deras disertai petir menyambar-nyambar mengiringi langkah gadis yang terseok tanpa alas kaki. Pipinya basah oleh air mata bercampur hujan. Alam seolah ikut bersedih atas nasib malang yang menimpanya. Gadis berkerudung itu terus menyusuri jalan beraspal yang tampak lengang tanpa tujuan. Sesekali ia memukul dadanya untuk mengurai sesak yang menghimpit hingga membuatnya kesulitan bernafas. Berjalan tak tentu arah dengan perut kosong hingga perih melilit tak ia hiraukan. Sakit hati yang ia rasa jauh lebih menyiksa daripada perutnya yang memang memiliki riwayat penyakit maag. “Enyahlah dari pandanganku sekarang. Mulai hari ini Aku haramkan rumah ini untuk kau datangi lagi!” Lantang suara bibi Sarinah masih terngiang di telinga. Menghantam kesadaran Kiara bahwa ia sudah dibuang oleh satu-satunya keluarga yang ia miliki. Hidup sebagai yatim piatu tak lantas membuat bibinya sayang padanya. Hanya karena sebuah fitnah, ia terusir dari rumah. “Menyesal aku membesarkanmu kalau akhirnya hanya bisa mencoreng arang bagi keluarga!” ucapnya sembari mendorong Kiara dan membanting pintu sekeras yang ia mampu lalu menguncinya rapat-rapat. Membiarkan gadis berusia 22 tahun itu menggigil kedinginan di tengah hujan lebat yang membasahi bumi. Sekilas gadis tak berdaya tersebut melihat seringai jahat dari wajah sepupunya yang selama ini sangat ia sayangi dan utamakan melebihi dirinya sendiri, sebelum pintu benar-benar menjadi penghalang antara dirinya dan keluarganya. Ia bahkan tidak dibiarkan membawa barang-barang pribadinya. Hanya pakaian yang melekat di badan yang ikut serta bersamanya. Kemeja panjang warna biru muda menjiplak tubuhnya yang sintal terkena guyuran air langit. Beruntung ia memakai kerudung hingga menutup d**a sehingga aset berharganya tidak terekspos begitu saja. Beberapa bagian kemeja tersebut sudah robek dan dua kancing lepas akibat keganasan warga saat ia di seret dan diarak keliling kampung. Masih terekam dengan jelas saat semua mata menatapnya jijik dan mencemooh, seolah dia seonggok bangkai yang mengeluarkan aroma tak sedap. Beberapa wanita tanpa belas kasih melemparinya dengan telur busuk dan menyiramnya dengan air comberan. Beruntung saat ini hujan mengguyur begitu deras sehingga aroma menyengat itu tak lagi menempel pada tubuhnya yang mengenaskan. “Anak haram, kelakuan sama haramnya dengan ibunya!” Nengsih sepupunya yang biasanya selalu membela ketika bibi Sarinah menimpakan semua kesalahan padanya, mendadak ikut nimbrung dengan kalimat tak kalah menyakitkan. Lagi-lagi ia teringat kata-kata bak peluru tajam menembus jantungnya. Lalu siapa lagi yang bisa ia mintai pembelaan ketika satu-satunya saudara justru ikut menebar racun dengan mulutnya yang cantik. Semua mata memandang dengan mulut saling berbisik menatap Kiara yang sudah seperti pencuri tertangkap basah warga. Ia sendiri tak tahu kesalahan apa yang ia lakukan hingga orang yang selama ini sudah ia anggap sebagai ibu dengan tega mengusirnya. Bukankah dia hanya korban? Seharusnya pelaku yang mendapat imbalan seperti ini, namun kenapa justru dirinya yang harus menerima? Sudah tak adakah belas kasih dan pikiran jernih dari semua warga di sini? Seseorang yang masih peduli mendekatinya dan membantu bangun dari posisi Kiara yang bersimpuh di depan pintu. Tidak peduli dengan tatapan sinis dari warga yang masih bertahan menyaksikan penderitaan gadis yatim piatu itu. Namun kehadiran pemuda itu justru semakin menambah santer bisik-bisik tetangga yang berhembus seperti angin laut. Menyebar dengan cepat hingga tak ada satu pun warga dukuh Kali Asri yang tidak ikut menghujatnya. “Jangan dengarkan mereka, mereka tidak tahu apa-apa. Ayo, aku bantu cari tempat tinggal,” ucap pemuda yang selama ini selalu membantunya berjualan gorengan jika ia pulang kerja. “Lepaskan! Jangan sentuh gadis kotor sepertiku ini.” “Tidak, Ra. Aku percaya kamu tidak seperti itu,” ucapnya dengan tatapan mengasihani. “Justru kedatanganmu itu akan mempersulitku. Tolong, jangan pedulikan aku dan pergilah dari sini,” ucap Kiara dengan suara tertekan. Tubuhnya sudah sangat lelah dan ia tak mau semakin lelah karena berdebat dengan manusia keras kepala sepertinya. “Aku akan membantumu. Percayalah, Ra.” “Tidak. tolong pergi dari sini,” lirihnya. Namun pemuda yang sudah menaruh hati padanya sejak kelas 3 SMP itu bergeming di tempatnya. Ia tak sampai hati meninggalkan Kiara seperti ini. “Pergi aku bilang!” teriak Kiara akhirnya. Dia sudah tak tahan lagi dengan ghibahan orang-orang tersebut. Setelah mengaraknya keliling kampung seperti binatang, para warga tak cukup puas dan terus menghujani Kiara dengan kata-kata pedas bak ribuan anak panah yang menghujam ke jantungnya. Dengan berat hati, pemuda bernama Satrio itu menyingkir. Melepas kepergian Kiara dengan tatapan nanar dan segenggam luka di dalam hatinya. Dialah satu-satunya sosok yang tidak percaya dengan fitnah yang menjalar seperti api menghabiskan kayu bakar itu. *** Hari sudah cukup gelap ketika kaki Kiara sampai di terminal bus. Ia tak tahu harus pergi kemana dengan keadaannya yang seperti ini. tak ada benda berharga yang melekat di tubuhnya untuk dia jual. Terpaksa ia harus bertahan dalam kondisi lapar dan lelah. Netranya menangkap sebuah bus yang berhenti menunggu penumpang. Entah mau kemana bus tersebut, Kiara tak ambil pusing. Kakinya melangkah naik dan duduk di kursi belakang lalu memejamkan mata begitu saja. Berharap ketika ia bangun nanti semua yang menimpa hanya mimpi. “Dek, dek, bangun, sudah sampai.” Seorang kondektur bus membangunkan Kiara yang begitu pulas dari pertama kali ia naik hingga sekarang sudah menjelang subuh. Entah dia tertidur karena lelah atau pingsan, karena hingga berkali-kali pria berkalung handuk kecil itu menggoyang bahunya tak ada pergerakan sedikit pun. “Bos, iki piye kok bocah iki gak tangi-tangi? (Bos, ini gimana kok anak ini nggak bangun-bangun?)” ucapnya pada sopir yang masih menunggunya. “Maksudmu piye? Semaput po piye? (Maksudmu gimana? Pingsan atau gimana?)” “Ketone yo ngono. Waduh ajur iki! Nek dadi tersangka piye iki (Aduh, hancur ini, kalau jadi tersangka gimana)?” Sopir menoleh ke kanan dan kiri. Lalu berdiri dari balik kemudi dan mendatangi kondektur yang terlihat panik karena tak bisa membangunkan kiara. “Bagaimana kalau kita turunkan di sini saja? Terus kita tinggal mumpung sepi,” usul sang sopir yang langsung diangguki temannya. Keduanya lalu mengangkat tubuh Kiara dan meletakkannya di depan sebuah kafe yang sudah tutup mengingat sekarang sudah menjelang subuh. Mereka tak mau jadi tersangka kalau terjadi apa-apa pada gadis tersebut. Setelah memastikan gadis itu masih bernafas, mereka langsung kembali ke bus dan melajukan kendaraan besar itu meninggalkan Kiara pingsan di depan kafe. Beruntung sopir bus dan asistennya tersebut tidak melakukan kejahatan pada Kiara sehingga gadis itu aman meskipun dalam keadaan hilang kesadaran. Tepat pukul setengah tujuh pagi, seseorang menemukan tubuh Kiara dalam keadaan menggigil dan mengigau. Netra pemuda itu terpaku pada wajah polos bersimbah peluh tersebut. Tangannya terulur untuk menyentuh keningnya, panas. “Siapa gadis ini? Kenapa dia bisa tertidur di sini?” gumamnya dengan perasaan gamang antara ingin menolong atau membiarkannya saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD