Melani mengajak Kiara pulang. Sepanjang jalan Kiara hanya diam seperti patung. Namun tangan dan bibirnya masih gemetar. Melani tak tega melihat adiknya seperti itu. Ia juga nggak mau berlama-lama di jalan karena akan semakin membuat Kiara lebih parah.
"Kamu nggak papa, Ki? Apa perlu kita berhenti dulu?" Melani menyetir sambil sesekali melihat ke arah Kiara. Dia benar-benar tak tenang dengan kondisi adiknya.
"Nggak usah, Kak. Kita pulang aja," jawab Kiara dengan suara bergetar. Apa yang barusan ia alami benar-benar membuatnya ketakutan luar biasa. Pemuda yang entah datang dari mana mengingatkannya pada kasus pelecehan yang dilakukan padanya hingga membuat nasibnya terpuruk dan akhirnya terdampar di kota Jakarta ini.
Saat itu Kiara baru pulang jualan gorengan seperti biasa. Namun karena hujan turun dengan lebatnya, dia memilih berteduh di sebuah pos ronda yang letaknya cukup jauh dari pemukiman. Kondisinya cukup sepi mengingat pos tersebut berada di perbatasan desa Suka Sari dengan desa Kali Asri. Ditambah huja lebat disertai petir, tak ada seorang pun yang melintas.
Kiara sendirian bertahan di gubuk kecil yang tidak sepenuhnya mampu melindunginya dari cipratan air hujan tersebut. Hingga dua jam lebih, hujan tak kunjung reda. Hari pun semakin sore. Kiara memilih bertahan karena jika nekat menerobos hujan dagangannya yang masih separo lebih akan hancur dan itu akan membuat bibiknya marah sepanjang malam.
Tiba-tiba ada sebuah motor yang melintas. Awalnya tidak ada yang aneh karena motor tersebut hanya lewat tanpa berhenti namun beberapa saat kemudian kendaraan roda dua tersebut kembali dan berhenti di depan Kiara.
Pemuda itu turun dan ikut duduk di samping Kiara. Karena gadis itu tahu siapa pemuda itu, dia merasa sedikit lebih tenang. Terlebih pemuda itu sangat sopan dan menghargainya. Entah setan dari mana yang merasukinya, tiba-tiba pemuda itu merangsek maju dan mencoba untuk melecehkan Kiara.
"Kiara, jadilah kamu istriku," ucap pemuda itu.
"Tidak! Kamu sudah akan menikah dengan kakak sepupuku, kan?" Kiara menjauh dari jangkauan pemuda tersebut.
"Aku tidak mencintainya, Kiara. Sebenarnya yang kuinginkan adalah kamu. Aku ingat kamu yang mendampingi hidupku, bukan dia!"
"Tidak! Tolong jangan seperti ini, Mas. Ingat sebentar lagi kamu akan menikah," elak Kiara dengan pipi yang sudah basah air mata. Gadis itu benar-benar ketakutan dengan perubahan sikap calon ipar sepupunya.
"Kenapa kamu menolakku, Kiara? Ayolah, menikahlah denganku. Kamu nggak perlu lagi jualan gorengan seperti ini," rayu pria bernama Purnomo itu.
Wajahnya sudah dipenuhi kabut gairah yang membuat Kiara semakin menggigil ketakutan. Dalam hati gadis itu berharap Tuhan mengirimkan malaikat penolong untuknya. Pemuda di depannya ini sudah benar-benar kehilangan akal sehat hingga berani mengajaknya menikah padahal pernikahannya dengan kakak sepupu Kiara tinggal beberapa hari lagi.
Karena terus menerus mendapat penolakan dari gadis yang dicintainya, pemuda itu jadi gelap mata. Melihat situasi yang juga mendukung, ia lalu menangkap tubuh Kiara. Mengungkungnya di bawah dirinya yang memiliki kekuatan lima kali lipat dengan gadis malang itu. Mencoba melancarkan aksinya hingga membuat Kiara menggigil ketakutan.
Kelemahan Kiara ia manfaatkan untuk terus mencoba memerkosa gadis itu. Beberapa bagaian pakaian Kiara sudah robek dan kancingnya lepas. Gadis itu terus berteriak dan memberontak berharap ada satu orang saja yang mendengar dan berbelas kasih menolongnya.
Dalam kondisi terdesak, Kiara mencoba untuk menendang bagian vital pemuda itu namun karena salah perhitungan justru pria itu semakin di atasa awan. Kiara benar-benar tak mampu lagi melawan. Tenaganya sudah habis terkuras untuk melakukan perlawanan hingga ia pasrah dan berdo'a dalam hati semoga ada keajaiban baginya untuk bisa lepas dari perbuatan b***t Purnomo.
Tepat saat di sisa-sisa kesadaran terakhir, seseorang lewat dan memergoki tindakan pemuda itu. Sayangnya hal itu juga menjadi awal malapetaka bagi Kiara. Orang tersebut salah paham dan berpikir dirinya dan pemuda itu tengah berbuat m***m di pos ronda sehingga ia mengundang warga untuk menangkap mereka berdua.
Ibarat jatuh dan tertimpa tangga. Itulah yang dialami Kiara. Purnomo juga pandai memutarbalikkan fakta dan mengatakan Kiaralah yang menggodanya. Tak berselang lama semua warga datang dan mengarak Kiara setelah menghujani dengan cacian dan makian.
"Ki, Kiara, kita sudah sampai rumah," ucap Melani mengembalikannya pada kenyataan.
"Ah, iya, Kak." Kiara langsung membuka pintu mobil dan berlari menuju kamar. Melewati mama yang sedang menelepon seseorang di ruang tengah. Ia menatap heran Kiara yang berubah menjadi pendiam dan acuh. Di belakangnya Melani berusaha mengejar langkah adiknya namun dihentikan oleh mama.
"Ada apa? Kenapa Kiara berubah jadi murung begitu? Apa terapinya mengalami kendala?" tanyanya penuh selidik. Ia mematikan sambungan telepon dan fokus pada putrinya.
"Tadi ada insiden di rumah sakit, Ma. Kiara diserang salah satu pasien dan itu menyebabkan traumanya kambuh," jawab Melani sambil menunduk. Rasa bersalah kembali merayap di hatinya. Andai dia sabar sedikit dan menunggu sampai Kiara selesai terapi, mungkin kejadian itu tidak akan nimpa Kiara.
"Kok bisa. Emangnya kamu kemana sampai membiarkan adikmu di serang orang lain?"
Melani menghela napas berat. Lalu menatap mamanya dengan tatapan sendu. Ia tahu kalau dia salah. Tapi dia juga tak suka kalau diintimidasi apalagi oleh mamanya sendiri.
"Tadi Kiara masuk ke ruang dokter sendiri ia tak mau ditemani." Lagi Melani menarik napas dalam, menghirup udara sebanyak-banyaknya seolah udara dalam paru-parunya tengah menipis sehingga ia menghirupnya kuat-kuat.
"Karena menunggu lumayan lama, Melani jalan-jalan sebentar. Nah, pas Melani kembali, sudah ada kerumunan di depan ruang praktek dan ternyata ... Kiara sudah teriak-teriak ketakutan," lirih Melani. Dadanya sesak membayangkan adiknya yang berteriak ketakutan seperti tadi.
"Berarti Kiara masih belum bisa bertemu orang banyak. Kita harus pelan-pelan membantunya. Jangan dipaksakan ke tempat umum yang banyak orang. Takutnya hal seperti ini terjadi lagi."
"Iya, Ma. Maafin Melani ya, Ma."
"Maaf untuk apa, Sayang?"
"Maaf karena Melani belum bisa menjaga Kiara dengan baik."
Mama memeluk tubuh putrinya. Wanita itu paham betul bahwa putrinya menginginkan seorang adik sejak dulu. Dan kehadiran Kiara dalam keluarga ini membuatnya sangat bahagia menjadi seorang kakak.
"Kamu tidak salah, Sayang. Sebagai kakak, kamu sudah menjalankan peranmu dengan baik."
Sementara Kiara di dalam kamar masih terlihat menggigil. Tubuhnya gemetar sambil memeluk lututnya sendiri. Akibat kisah naas yang menimpanya itu ternyata membawa dampak buruk bagi masa depannya. Bahkan kini hidupnya dalam bayang-bayang ketakutan yang menyusahkan.
"Kiara tidak salah. Kiara tidak salah. Itu semua fitnah. Itu fitnah," racaunya berulang-ulang seperti mantera.
Kiara dan mamanya menatap Kiara nanar. Di depan pintu mereka melihat sendiri bagaimana sosok gadis malang itu menanggung beban mendalam. Rasanya tak tega melihat Kiara seperti itu.
"Kita harus bagaimana, Ma? Terapinya seperti sia-sia saja kalau begini," ucap Melani setengah berbisik karena takut mengusik sang adik.
"Tidak ada yang sia-sia, Sayang. Kita hanya butuh sabar dan terus berusaha. Terpenting kita tetap mendukung dan memberikan kenyamanan padanya. Melihatnya seperti ini mengingatkan mama pada tantemu."
"Iya, Ma. Kiara terlalu mirip dengan Tante Vita. Tapi kenapa nasibnya juga harus sama dengan nasib Tante Vita."