EMPAT

1636 Words
Beberapa hari belakangan ini, Sky tengah di rundung masalah. Ia melupakan beberapa tugas-tugas penting yang dosennya berikan. Hal itu tentu menjadi masalah besar, mengingat dirinya adalah peserta beasiswa di kampus itu. Seperti saat ini, saat dirinya lagi-lagi di panggil untuk menghadap dosen salah satu mata kuliah yang baru saja selesai ia ikuti kelasnya. “Skylar, jujur saya bingung kenapa kamu bisa mendapat beasiswa saat tugas ringan yang saya berikan saja tidak kamu selesaikan,” ujar Bu Maya. “Maaf, Bu.” Sky menundukan kepalanya merasa malu sekaligus bersalah pada kedua orang tuanya. “Kamu ini mahasiswa baru. Ditambah lagi kamu dapet beasiswa penuh disini. Saya harap kamu enggak akan menyia-nyiakan lagi kesempatan yang kamu punya. Saya minta kamu buat makalah dari pelajaran yang baru kita pelajari. Minimal lima puluh lembar dan kumpulkan minggu depan.” Bu Maya berbicara dengan tegas. “Baik, Bu. Maaf sekali lagi.” Sky hanya bisa menerima hukuman yang ia dapat karena kecerobohannya. “Silahkan keluar.” Bu Maya pun mempersilahkan Sky untuk keluar. Seseorang menahan lengan Sky saat gadis itu hendak pergi menjauh dari ruangan dosen. “Gue denger semuanya,” ujar Claude membuat Sky menundukan kepalanya. Takut karena setelah bertanya pada Jane tentang siapa Claude, Jane memberitahu jika Claude adalah cucu pemilik kampus mereka. Jane sempat aneh dengan Sky yang melupakan hal itu namun ia tak berpikir jauh sebab Sky mungkin tak mendengar penjelasannya saat pertama kali gadis itu bertemu dengan Claude. “Lo mau beasiswa lo dicabut?” Claude menatap heran ke arah Sky. “Heran kenapa bisa dapet beasiswa kalo baru masuk aja ternyata enggak bisa apa-apa.” “Maaf.” Hanya itu yang bisa Sky katakan. Padahal Claude sengaja berkata seperti itu agar mereka kembali beradu argumen seperti waktu itu. “Ck.” Claude berdecak kesal karena bukan ini yang ia inginkan. “Lo sakit?” tanya Claude yang akhirnya memilih untuk mengalah. “Aku sehat, kok,” jawab Sky tanpa ragu. “Gue enggak pernah liat lo lagi belakangan ini. Sekalinya ketemu, lo abis di marahin dosen.” Belakangan ini, Sky memang sering keluar kelas paling akhir dan pulang ke rumah sesegera mungkin. Dirinya merasa mudah lelah belakangan ini hingga ingin sekali menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk beristirahat. “Aku ... sibuk, Kak.” Sky memilih untuk berbohong sebab ia pun kebingungan dengan apa yang terjadi pada dirinya belakangan. Sky memang pelupa namun ia tak pernah merasa kesulitan sama sekali sebab kegiatan di asramanya dulu terorganisir. Terlebih, ia selalu melakukan hal bersama-sama dengan teman satu kamarnya karena mereka memang sekelas dan sering satu kelompok dalam hal tugas. Namun sepertinya sekarang berbeda. Sky tak lagi memiliki orang yang akan membangunkannya ketika ia melewati dua kali bunyi alarm yang sengaja ia pasang. Atau orang yang akan menanyakan jika dirinya sudah mengerjakan tugas atau belum di malam hari ketika ia mulai menarik selimut untuk tidur. “Gue kira lo sakit.” Claude sengaja mengutarakan hal itu, menunjukan ke khawatirannya pada Sky. Sky menimbang. Ia sepertinya harus memeriksakan diri pada dokter karena sering kali kelelahan. Ia bisa saja meminta Gabe mengantarnya. Namun ia benar-benar sungkan untuk merepotkan Gabe sekarang. Terlebih lagi, ia tak begitu memahami jalan di sini. Sky ingin sekali bertanya pada Gabe, kenapa kakaknya itu menjauhinya tanpa alasan. Sky ingin sekali mereka kembali bersama, seperti saat dulu, saat Maharani masih hidup. Saat semuanya belum seperti ini. Sebuah ide tiba-tiba melintas di dalam kepala Sky. “Tapi ... apa aku boleh minta tolong?” Sky bertanya dengan ragu. Tak ingin merepotkan tetapi tak punya pilihan. “Sekali ini aja, mungkin?” lanjutnya. “Bilang aja.” Sebuah seringaian terbit di wajah Claude. Sepertinya permainannya kali ini akan berjalan dengan mudah. “Bisa anterin aku ke rumah sakit?” Sky meremas ujung bajunya karena takut Claude akan menolak permintaannya. Sky ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik simpati Gabe. Ia ingin berpura-pura sakit di hadapan Claude agar Claude menyampaikannya pada Gabe. “Ayo!” Dengan senyum yang mengembang karena membayangkan Action Figure Iron Man yang ia idam-idamkan, Claude menarik bahu Sky dan membimbing gadis itu berjalan untuk pergi ke mobilnya. Banyak pasang mata yang menatap mereka penasaran. Penasaran bagaimana bisa seorang gadis yang penampilannya biasa-biasa saja berada dalam rangkulan Claude. Termasuk sepasang mata yang akhirnya mengalihkan pandangannya dari pusat perhatian itu, berpura-pura tak mengerti apa yang terjadi. ***** “Sialan!” Sudah berapa kali umpatan itu keluar dari mulut Claude. Alasannya hanya satu, ban mobilnya bocor dan ia tak pernah sekali pun membawa ban lain di bagasi mobilnya. “Lo pergi sendiri enggak apa-apa, kan? Gue bisa aja minta supir gue jemput. Tapi gue males banget nunggu.” Claude menatap kesal ke arah ban mobilnya. “Enggak apa-apa, kok, Kak. Aku bisa naik taksi online,” kata Sky dengan nada penuh penyesalan yang kentara karena telah merepotkan Claude. Ia tak mengira jika mobil pemuda itu akan rusak. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, sebuah taksi online yang dipesan oleh Sky datang. Sky pun pergi meninggalkan Claude yang juga ingin meninggalkan tempat itu. Sky menghembuskan napas lelah. Ia berharap jika dirinya baik-baik saja sehingga ia hanya perlu berpura-pura sakit. Sky memejamkan matanya sejenak. Ingatannya berputar pada hari dimana ia sampai di rumah kedua orang tuanya. Ia sangat berharap jika Gabe akan berada disana, menunggunya di pintu masuk dengan senyum lebar. Namun harapan hanyalah sebuah harapan. Jangankan menunggu Gabe di pintu masuk, berada di rumah pun tidak. Setetes air mata jatuh membasahi pipi Sky yang memerah karena terbakar sinar matahari tadi. Ia merindukan Gabe, ia merindukan pemuda itu memeluknya hangat saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan Sky mengingat betul jika Gabe adalah orang yang mengajarinya bermain sepeda. Namun seulas senyum terbit di wajah Sky saat mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat Gabe menjemputnya di halte bus dan memayunginya sampai ke gedung apartemen. Meski setelah hari itu, tak sedikit pun ada pembicaraan lagi diantara mereka. Sky lagi-lagi menghembuskan napas kasarnya. Semakin ia pikirkan, semakin terjebak dirinya dalam tebakan yang sulit sekali ia pecahkan. “Mbak, udah sampe,” ujar supir taksi online itu ketika mereka berhenti tepat di lobi utama rumah sakit. “Makasih, Pak.” Sky cepat-cepat mengusap kasar air matanya sebelum menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan. Gadis itu pun hendak pergi namun suara lantang dari sang supir menghentikan langkahnya. “Mbak! Uangnya kurang sepuluh ribu!” seru supir itu dari balik kemudinya. Sky menundukan kepalanya, malu karena kurang saat membayar taksi. Padahal ia kira sudah membayar lebih. “Maaf, Pak.” Sky tersenyum kikuk sambil kembali menyodorkan uang lima puluh ribuan pada supir itu. “Ambil aja kembalinya,” ujarnya lagi sebelum benar-benar pergi masuk ke dalam rumah sakit. Brukk. Sky menabrak seseorang. Tubuh gadis itu terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh menghantam tanah yang ada di bawahnya jika seseorang yang ditabraknya itu tidak menahan tubuhnya. “Lo?” ujar orang itu sedikit malas. “Ka-kamu ... bukannya kamu ....” Sky merasa yakin pernah melihat pemuda tampan yang berada di hadapannya. Namun kepalanya sama sekali tak bisa memberi ide siapa pemuda itu. “Ck. Padahal gue mau kuliah dengan damai. Tapi yaudah lah, udah ketawan juga. Tolong jaga rahasia gue,” ujar pemuda itu dengan wajah datarnya. Wajah datar yang mengingatkan Sky pada pemuda berkacamata di kantin kampus. “Kamu ... yang itu?” Sky melebarkan matanya saat pemuda dihadapannya itu mengangguk. “Juna,” ujar pemuda itu sambil menyodorkan tangannya dan Sky cepat-cepat menjabat tangan pemuda itu. “Skylar.” Sky tersenyum canggung saat ia menjabat tangan Juna dan menyebutkan namanya. “Tolong jangan bilang orang-orang di kampus. Gue sengaja culun. Males narik perhatian siapa pun,” terang Juna setelah jabatan tangan mereka terurai. “Tenang aja. Aku enggak akan pernah ikut campur sama hal yang bukan jadi urusan aku.” Sky menjawab dengan tegas karena merasa Juna membutuhkan privasi yang tak sengaja ia ketahui. “Kamu enggak usah khawatir.” Sky lagi-lagi tersenyum. “Kalo gitu, gue duluan, ya. Gue yakin lo enggak akan ingkarin kata-kata lo.” Juna pun berlalu begitu saja karena yakin dengan apa yang Sky katakan. ***** “Hasil tesnya keluar besok. Mbak bisa balik lagi kesini,” ujar salah satu petugas rumah sakit setelah Sky keluar dari ruang pemeriksaan. Atas perintah dari dokter yang menanganinya tadi, Sky menjalani serangkaian tes yang di lakukan jika di temukanya suatu gelaja penyakit yang serius. Gadis itu kini hanya diam merenung setelah keluar dari ruangan tes. Sky berharap bisa mengenal seseorang ditempat itu dan membayarnya agar hasil tesnya terlihat buruk. “Mbak?” Petugas rumah sakit menegur Sky yang hanya diam saja sedari tadi. “Mbak enggak apa-apa, kan?” tanya petugas itu karena khawatir dengan wajah Sky yang pucat. Padahal Sky pucat hanya karena terlalu kelelahan saja. “E-eh?” Sky sedikit terkejut saat petugas itu menepuk pelan bahunya. “Saya enggak apa-apa, Sus. Mari.” Sky segera pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ia ingin menenangkan dirinya sekarang. Ia butuh pikiran yang jernih untuk menyusun rencana berikutnya. Deringan ponselnya menghentikan langkah kaki Sky yang hendak berjalan keluar dari lobi rumah sakit. Nama Gabe tertera disana dan seulas senyum terbit di wajah Sky. “Lo dimana?” tanya Gabe saat Sky menempelkan ponselnya itu ke telinganya. Sky senang karena bayangan Gabe menunggunya di apartemen terlintas di kepalanya. Kakaknya mengkhawatirkannya, pikirnya. “Lagi ... di rumah temen,” jawab Sky berbohong karena tak ingin Gabe menghampirinya sekarang. Kebohongannya bisa terbongkar karena hasil tesnya belum keluar. “Bagus. Jangan pulang dulu. Temen gue lagi kesini. Nanti gue telpon kalo mereka udah pulang.” Sambungan telpon di putus begitu saja sebelum Sky menjawab. Selalu seperti itu. Sky tersenyum kecut. Ia berharap terlalu berlebihan sepertinya karena mengira Gabe mengkhawatirkannya. Padahal yang pemuda itu lakukan adalah terus mendorong Sky agar menjauh darinya. Hari mulai gelap karena tes barusan lumayan menyita waktu Sky. Namun ia belum boleh pulang ke apartemennya. Gadis itu lagi-lagi merenung. Apa yang salah dengan kehadirannya? *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD