LIMA

1350 Words
SKY P.O.V Aku tak tahu harus kemana. Aku bisa saja pergi ke rumah Nenek Miranda. Namun aku tahu, Kak Gabe tak akan datang dan menjemputku disana. “Kenapa, sih?” Aku akhirnya bersuara. Menyuarakan pikiranku yang sedari tadi dipenuhi oleh Kak Gabe yang secara terang-terangan menolak kehadiranku. Bukankah aku baru saja hampir berhasil menggiring opini tentang keadaanku? Tapi mengapa Kak Gabe malah mencampakanku lebih parah lagi? Aku melirik arlojiku, melihat jarum jam sudah menunjukan pukul delapan malam. Harus berapa lama lagi aku menunggu disini? Sebuah ide terlintas di kepala ku, aku ingin melakukan ini demi hubungan kami. Tidak kah Kakak tahu jika aku merindukan kasih sayangnya sebagai seorang adik? Aku bukan tidak tahu. Sungguh aku sangat tahu jika Kakak lah yang menginginkanku untuk tinggal di asrama. Aku sudah melakukan sejauh ini, berusaha untuk belajar mati-matian agar bisa masuk ke dalam kampus yang sama dengannya. Apa aku harus menyerah sekarang hanya karena Kakak lagi-lagi mencampakanku? Tentu tidak. Aku akan melakukan segalanya, apa pun akan aku lakukan untuk menarik perhatian dan kasih sayang Kakak kembali kepadaku. Aku tahu dua hal. Kakak membenciku dan ia juga membenci Nenek Miranda. Entah apa yang membuatnya membenci kami, aku pun tak tahu. Aku hanya harus menjalani peran menjadi seorang gadis bodoh yang patuh terhadap semua perintah Kakak. Menghela napas, aku pun bangkit dari dudukku di kursi taman rumah sakit ini. Aku menghampiri seorang perawat yang sedari tadi sudah ku perhatikan dari kejauhan. Entah apa yang ia pikirkan, namun ku yakin ia tengah memiliki sebuah masalah. “Hai, Sus.” Aku memilih untuk berbasa-basi, mengajaknya berbincang ringan sebelum masuk ke topik pembicaraan yang berat. “Jadi ... Adiknya Suster harus bayar uang praktek besok dan Suster belum sanggup bayar?” Aku menarik kesimpulan dari obrolan yang berlangsung selama hampir sepuluh menit ini. Perawat di hadapanku ini mengangguk. Ella namanya. Wajahnya tampak sangat murung, seolah semua permasalahan di dunia bertumpu di bahunya. “Memang berapa yang harus dibayar?” Aku bertanya memastikan. “Lima juta. Itu belum sama tunggakan SPP,” jawab Ella lirih. “Kalo sama SPP, jadi berapa?” tanyaku lagi. “Tujuh juta dua ratus sepuluh ribu.” Suara Ella semakin terdengar lirih. Aku tersenyum. Bukan karena aku senang ia menderita. Tapi aku akhirnya mendapatkan sebuah jalan untuk rencanaku berikutnya. “Ayo, ikut aku ke ATM. Aku ada uang tiga juta di dalam tas. Uang ini harusnya aku tabung. Tapi, ayo. Aku bakalan ambil uang lima juta di ATM buat Suster, dan uang ini juga buat Suster.” Aku mengeluarkan sebuah amplop coklat berisi uang tiga juta rupiah. Uang itu memang aku bawa untuk aku setorkan di ATM terdekat. Uang ini adalah uang makanku selama satu minggu yang memang sengaja di titipkan pada Kak Gabe. Kemarin ia memberikannya padaku. Namun sepertinya aku akan menggunakan uang ini untuk hal lain. “Kamu .... Kamu beneran mau ngasih uang ke saya?” Wajah Ella berseri-seri saat ia bertanya padaku. Aku tersenyum dan menganggukan kepala. “Tapi tolong bantu saya untuk ....” Aku pun menjelaskan apa maksud dan tujuanku. Itu adalah hal yang mudah untuk dilakukan dan Ella dengan cepat menyetujuinya. ***** Aku mendengar suara langkah kaki berjalan mendekat, aku cepat-cepat menutup mataku, berpura-pura untuk tidur. “Apa yang terjadi?” Suara Kakak terdengar. Kini Ella tengah berada di hadapannya, aku sudah memastikannya sebelum aku benar-benar menutup mataku. “Apa anda keluarga pasien?” tanya Ella. “Ya.” Kakak menjawabnya meski terdengar sekali jika ia nampak berpikir beberapa saat sebelum menjawab. “Kondisi pasien memburuk sejak datang kesini,” ujar Ella. “Apa saya bisa bertemu dengan Dokter?” tanya Kakak. Aku mendengar dengan jelas jika sepertinya ia meragukan keadaanku. “Dokter yang menangani pasien kebetulan sudah pulang. Hanya ada Dokter magang karena kebetulan ini sudah malam.” Ella menerangkan pada Kakak. Aku bernapas dengan tenang karena sejauh ini semuanya berjalan lancar. “Jadi? Saya mau tau tentang kondisi dia.” Aku tak menemukan nada khawatir dalam ucapan Kakak. Nada bicaranya justru terdengar hanya untuk memastikan jika aku baik-baik saja atau tidak. “Tadi pasien sudah menjalani serangkaian tes. Hasilnya baru keluar besok. Jadi semuanya baru bisa di ketahui besok,” jelas Ella. “Kalo gitu, tolong jaga dia dengan baik.” Hanya itu yang Kakak katakan sebelum aku mendengar suara langkah kaki dan pintu yang terbuka lalu tertutup. Aku membuka mataku perlahan, memastikan jika Kakak memang sudah pergi keluar. Ella menghampiriku. Entah mengapa ia menatap sendu ke arahku. Lebih sendu dari saat aku berbicara padanya tadi di taman. “Apa dia bener-bener keluarga kamu?” tanya Ella hati-hati. Jelas sekali ia prihatin padaku. Aku tak menyukainya. Namun tangannya yang bergerak lembut untuk mengusap-usap lenganku membuatku tak jadi marah. “Iya.” Aku hanya bisa menjawab seperti itu. Kenyataannya memang begitu. Kakak adalah keluargaku sekaligus orang yang paling tak bisa ku kenali lagi di dunia ini. “Apa kamu kayak gini buat dia?” Ella sepertinya sangat penasaran. Aku memahami itu. “Iya.” Lagi-lagi aku menjawab sesingkat itu, masih malu untuk mengakui kenyataan. Namun menurutku, tak buruk juga punya seseorang yang mengetahui permasalahanku. “Saya enggak tau harus ngomong apa. Tapi saya tau, kamu gadis yang baik. Saya cuma bisa bantu kamu seperti apa yang kamu inginkan. Selebihnya, saya enggak bisa berbuat banyak,” ujar Ella padaku. Jelas sekali ia merasa bersalah sekarang. “Enggak apa-apa.” Aku tersenyum getir. Aku yakin Ella tahu akan hal itu. Sebab, kini ia tengah memelukku dengan erat. “Saya mungkin bukan orang seperti kamu. Tapi kalo kamu mau, kamu bisa anggap saya kakak kamu. Saya enggak keberatan kalo kamu mau kayak gitu.” Ella berbisik di telingaku. Aku tahu apa yang ia maksud dengan orang seperti kamu. Ella tengah membicarakan status sosial kami yang menurutnya sangat bertolak belakang. “Aku yang makasih.” Aku tersenyum saat Ella melepaskan pelukannya. Aku bersyukur bertemu dengan perempuan ini. Materi tak berarti banyak untukku saat seseorang berbuat baik padaku. Meski awalnya aku memang membayarnya untuk melakukan apa yang aku mau. Ella tersenyum menatapku. Tanganya bergerak merapikan anak rambutku yang sepertinya berantakan. “Kamu, mau tidur disini?” tanyanya hati-hati. “Iya. Lebih baik aku disini. Aku enggak punya tempat buat pergi. Kakak juga udah tau aku disini. Bakalan repot kalo aku enggak ada disini pas Kakak dateng,” jawabku. “Kalau gitu, saya pamit, ya? Saya harus pulang. Adik-adik saya udah nunggu di rumah. Besok saya pasti bakalan bantu kamu lagi. Kamu tenang aja.” Ella masih tersenyum saat ia berbicara padaku. Aku merasa tenang untuk sesaat. Ella telah keluar dari kamar rawat inapku. Ia keluar setelah kembali memelukku saat aku mengijinkannya untuk pulang. Kini aku sendiri disini. Rasanya ruangan ini berkali-kali lipat lebih besar dari saat ada orang selain aku disini. Aku menatap kosong ke langit-langit kamar. Kenapa rasanya sesak sekali? Kakak bahkan tak perduli saat aku terbaring disini. Aku memegang dadaku. Rasanya benar-benar sakit. Perasaan diabaikan seperti ini benar-benar membuatku tak tahan. “Aku salah apa?” Tanpa sadar, aku berbicara sendiri. Aku bahkan tak bisa memanggil Kakak dengan sebutan Abang seperti terakhir aku berbicara padanya dulu. Rasanya sangat canggung meski aku ingin sekali memanggilnya seperti itu. Aku hanya takut. Aku takut Kakak merasa tidak nyaman dan semakin menjauhiku. Apa aku harus bilang pada kedua orang tuaku? Tapi aku takut. Takut orang tuaku bertanya pada Kakak dan Kakak menjadi marah karena aku mengadukannya. Aku harus apa? Tiba-tiba suara pintu yang terbuka terdengar. Apa itu Ella? Namun aku memilih untuk tak berbicara dan kembali menutup mataku. Aku tak ingin Ella berbicara padaku tentang hal tadi. Sudah cukup. Aku takkan bisa menahan air mataku kalau Ella kembali membicarakan hal tadi. Aku merasa seseorang menarik selimutku. Lebih tepatnya, orang itu merapikan selimutku agar menutup tubuhku dengan benar. Sebuah tangan tiba-tiba mengusap rambutku perlahan. Tak lama, sebuah ciuman mendarat di atas keningku. Ciuman itu cukup lama. Aku tak berani membuka mataku untuk memastikan siapa yang menciumku. Setelah ciuman itu selesai, suara langkah kaki menjauh terdengar diikuti oleh suara pintu kamar yang tertutup. Aku membuka mataku, kaget. Jelas aku terkejut. Tapi aku tahu, siapa yang datang tadi. Aku senang. Tak mengapa jika aku harus tidur di ranjang kaku ini malam ini. Bayarannya cukup setimpal. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD