ENAM

1464 Words
Hari telah berganti. Aku sudah merapikan diriku meski nyatanya aku mengenakan pakaian pasien disini. Ella datang menghampiriku. Perempuan itu tersenyum menyapaku. “Gimana tidurnya?” tanyanya. “Nyenyak.” Aku menjawab sambil tersenyum. Jarum jam di dinding menunjukan pukul sepuluh pagi. Harusnya aku kuliah hari ini. Namun aku memilih untuk membolos karena itu sebagian dari rencanaku. “Apa kakak kamu bakalan dateng buat jemput?” tanya Ella lagi. “Aku enggak tau.” Aku menjawab dengan jujur. Benar. Aku memang tak tahu jika Kakak akan datang untuk menjemputku atau tidak. “Kamu mau cari udara segar? Di taman, jam segini itu rasanya enak banget kalo duduk di bawah pohon.” Ella memberi usul. “Bukannya kamu harus kerja?” Aku menatap heran ke arahnya. Satu hal yang baru ku sadari juga, aku tak memanggilnya Suster seperti pertama kali kita berbicara. Aku menyukai hal itu. “Enggak apa-apa. Nemenin kamu juga termasuk kerjaan saya.” Ella terkekeh. Aku mengerti maksudnya. “Kalo gitu, aku mau ke taman,” ujarku. “Tunggu sebentar.” Ella tersenyum lembut. “Saya mau ambil kursi roda. Siapa tau kakak kamu datang dan nyusul ke taman.” Tak lama, Ella datang dengan sebuah kursi roda. “Apa saya harus bantu mindahin kamu kesini?” Ia sendiri terkekeh dengan pertanyaannya. “Aku bisa lompat kesana.” Aku tertawa. Tidak buruk juga punya teman seperti ini pikirku. Aku terdiam saat Ella mendorong kursi rodaku ke taman. Aku berpikir, apa aku bisa seperti ini dengan Jane? Beberapa kali aku temukan, ia selalu memandang Claude. Sikapnya sedikit berubah kepadaku. Apa ia menyukai Claude? “Kamu mau tetep disitu atau saya bantu pindah ke kursi taman?” Suara Ella mengalihkan perhatianku. “Aku ... disini aja,” jawabku. “Saya harus mengurus sesuatu sebentar. Ini buat kamu juga,” ujar Ella setelah memastikan aku tidak tersengat sinar matahari. “Enggak apa-apa. Pergi aja. Aku disini sampe kamu balik. Enggak mungkin kan aku jalan kaki sendiri terus dorong-dorong kursi roda ini?” Aku terkekeh. “Oke. Tunggu saya sebentar.” Setelah mengatakan itu, Ella menghilang dari pandanganku. “Kayaknya lo enggak sakit.” Suara asing tiba-tiba terdengar disebelahku. Aku menoleh dan terkejut mendapati Juna duduk di kursi yang hanya berjarak beberapa senti dari kursi rodaku. Ia menatapku namun membuang pandangannya beberapa detik kemudian. “Kamu jangan ikut campur sama urusan aku!” Aku berujar dengan tegas. Bukannya apa-apa, aku merasa terintimidasi dengan kehadirannya. “Gue yakin seribu persen. Lo. Enggak. Sakit.” Juna berujar dengan penekanan disetiap kata diujung kalimatnya. “Bukan urusan kamu!” Aku membuang pandanganku darinya. Apa masalahnya denganku? Ia meminta aku untuk menjaga rahasianya, aku lakukan itu. Aku bahkan belum bertemu dengan orang kampusku selain dirinya dan Kakak semalam. “Lo manfaatin Suster Ella, kan?” tanya Juna. Aku membelalakan mataku namun berusaha mengontrol emosiku kemudian. “Kalo gue aduin ke pemilik rumah sakit, dia pasti bakalan di pecat sekarang juga.” “Mau kamu apa, sih?!” tanyaku kesal. Jelas aku kesal karena pemuda di hadapanku ini mengancamku. Cih. Dasar tidak jantan! “Kasih tau gue rahasia lo. Gue enggak tenang karena lo tau rahasia gue. Jadi, lo harus kasih tau rahasia lo sekarang.” Juna menatap tepat ke manik mataku. Aku tak bisa mengelak karena aku kasihan pada Ella jika Juna benar-benar mengadukannya. “Iya! Aku pura-pura sakit! Puas?!” Aku bersedekap lalu memalingkan wajahku lagi. “Buat apa?” Juna seakan mengintrogasiku. Aku tak suka! “Bukan urusan kamu, kan?” Aku menatapnya sambil mendengus kesal. “Aku udah jujur.” “Lo harus kasih tau secara jelas.” Juna menyenderkan bahunya di sandaran kursi taman. “Aku aja enggak mau tau alesan kamu pura-pura jadi culun. Aku enggak perduli! Terakhir kita ketemu, kamu bilang kalo kamu percaya sama aku. Aku enggak akan ikut campur urusan kamu. Jadi, kamu juga jangan ikut campur urusan aku!” Aku menggeram marah karena Juna sudah melewati batasnya. “Gue cuma mau mastiin kalo posisi kita sama-sama aman. Jadi, kasih tau gue sebelum gue bener-bener aduin Suster Ella ke pemilik rumah sakit.” Juna berujar dengan santai, seakan tak memperdulikan api amarah yang berkobar di mataku. “Aku pura-pura sakit buat narik simpati kakak aku! Puas, kamu?!” tanpa sadar aku menangis. “Ah ....” Terdengar suara Ella yang terkejut. Namun tak berselang lama, ia berbicara padaku. “Apa kamu baik-baik aja?” tanya Ella. Suaranya terdengar sangat pelan seperti orang ketakutan. “Tolong bawa aku masuk.” Aku masih menangis dan Juna hanya diam saja di tempatnya. Sekilas, aku melihat Ella menganggukan kepalanya pada Juna sebagai tanda permisi untuk pamit. Kami sampai di ruang rawat inapku. Ternyata ada Kakak di dalam sana. Ia tengah duduk sambil memainkan ponselnya. Aku hanya menundukan kepalaku, tak berani menatapnya dalam keadaan kacau seperti ini. Takut jika ia tahu aku tengah berbohong. “Dia bisa pulang?” tanya Kakak pada Ella yang membantuku pindah ke atas ranjang. Kakak tak bergerak sama sekali dari posisinya. Hatiku seperti di remas karena sikap acuhnya. “Ya. Hasil labnya juga sudah keluar. Tapi Dokter bilang, dia harus sering-sering kontrol,” jelas Ella. Kakak hanya menganggukan kepalanya mendengarkan. “Apa segala hal di rumah sakit ini disampaikan oleh suster? Bukan dokter?” tanya Kakak membuatku menegang di tempat. “Kamu bertanya pada saya barusan. Apa saya harus memanggil dokter kalau saya tahu apa yang kamu tanyakan?” Jelas sekali terdengar jika Ella sedikit jengkel dengan tingkah Kakak. “Apa saya bisa tunggu dia di lobby?” Kakak bangkit dari duduknya, tak menghiraukan ucapan Ella barusan. “Anda diam, berarti bisa. Saya tunggu di lobby.” Kakak berjalan keluar meninggalkan aku dan Ella yang kini menatap prihatin ke arahku. “Apa kamu punya masalah yang besar sama dia?” tanya Ella. Nadanya terdengar sekali jika dia takut menyinggung perasaanku. “Kakak benci sama aku. Tapi aku enggak tau kenapa.” Aku menundukan kepalaku. Setetes air mata jatuh begitu saja dari pelupuk mataku. “Saya enggak tau harus bicara apa. Tapi saya rasa kakak kamu itu udah keterlaluan. Kamu enggak harus begini buat dia. Emang enggak enak, sih, harus tinggal berdampingan tapi enggak dianggap. Kamu sabar aja. Saya cuma bisa bilang itu. Kakak kamu pasti bakalan berubah suatu hari nanti.” Ella memelukku dan aku menangis didalam dekapannya. Dekapan hangat yang aku inginkan. Dekapan seorang Kakak yang aku dambakan. “Boleh aku minta nomor telpon kamu?” Aku bertanya sambil mengusap air mataku ketika Ella melepaskan pelukannya. “Boleh, dong.” Ella pun mengambil ponsel yang aku sodorkan padanya. Ia mengetikan nomor teleponnya dan mengembalikan ponselku padanya setelah itu. Ella mengantarkanku pada Kakak setelah semuanya rapi. Aku sudah mengganti bajuku dengan pakaian yang kemarin. Kakak datang tanpa membawa apa-apa tadi. Ia tak membawakan barang apapun yang berhubungan denganku. “Makasih, Ella.” Aku berujar dengan tulus sebelum masuk ke dalam mobil Kakak. Doaku hanya satu, semoga Juna tidak melihat Kakak. Aku takut Kakak akan membenciku jika ada yang tahu tentang pertalian darah kami. ***** Kami sudah sampai di apartemen. Tapi sikap Kakak tak berubah menjadi perhatian barang sedetik pun. Aku pikir Kakak akan memperlakukanku dengan baik secara diam-diam. Aku pikir ia tipe tsundere. Jadi, aku memilih untuk diam saja, menunggu perlakuannya. Kakak berlalu ke kamarnya. Lagi-lagi ia meninggalkanku sendiri. Apa dia lupa jika semalam ia masuk ke kamar rawat inap dan mencium kening ku? Aku menghela napas. Sepertinya Kakak terlalu khawatir dengan kondisiku hingga ia memutuskan untuk tak mempertanyakan keadaanku sekarang. Aku pun memilih bangkit dari kursi di ruang tengah. Aku berjalan masuk ke dalam kamarku. Ponselku berdering tepat ketika aku ingin meletakannya ke atas nakas. Nomor tidak dikenal? “Hallo?” Aku memutuskan untuk mengangkatnya. “Lo enggak masuk kampus tadi?” tanya orang di seberang sana. Aku yakin ia adalah seorang laki-laki karena suaranya mengatakan seperti itu. “Enggak. Ini siapa?” tanyaku. “Claude,” jawabnya. “Oh? Hai, Kak. Ada apa?” Aku mengubah nada bicaraku saat tau Claude yang menelpon. “Lo enggak apa-apa? Kemaren kita mau ke rumah sakit dan hari ini lo enggak masuk.” Hatiku menghangat saat mendengarnya. Setidaknya ada orang yang perduli dengan keadaanku sekarang. “Semalem ... aku di rawat. Tapi hari ini udah pulang. Baru sampe rumah,” terangku. “Lo sakit apa?” “Demam biasa. Tapi butuh di rawat aja.” Aku jelas tak akan mengatakan yang sesungguhnya. “Bisa ketemu?” “Jam berapa?” “Satu jam lagi. Mau dijemput atau gimana?” “Ketemu di tempatnya langsung aja, Kak.” “Oke. Gue sms alamatnya. Sampe ketemu” Tut. Sambungan telpon sudah terputus. Aku diam, apa tak masalah jika bertemu dengan Claude sekarang? Tapi, aku ingin tahu apa yang Kakak lakukan disini semalam hingga aku tak boleh pulang. Aku pun memutuskan untuk mandi dan mengganti bajuku. Aku pensaran. Beruntung Claude mengajakku bertemu. Sungguh waktu yang pas. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD