SEPULUH

1375 Words
Sky yang pagi ini mengenakan pakaian barunya itu mendapat cibiran dari Gabe yang sedang sarapan di meja bar. “Tumben enggak kampungan.” Gabe tertawa mengejek. Sky yang mendengar itu hanya bisa menundukan kepalanya tanpa berani mengangkatnya. Seperti sudah menjadi kebiasaan jika Sky tidak boleh menatap wajah Gabe secara terang-terangan. “Mau kemana lo?” Suara Gabe terdengar sangat keras ketika Sky memutar knop pintu apartemen. “Berangkat,” cicit Sky. “Sini, lo!” Mendengar suara Gabe yang lantang itu, Sky cepat-cepat menghampirinya. “Ada apa?” “Lo harus banget dapet beasiswa itu?” Nada bicara Gabe terdengar sangat sinis. “Iya.” “Buat apa? Lo mau pamer ke Mami sama Papi kalo lo pinter?” Gabe berdecih. “Enggak nyangka gue kalo lo bisa ngelakuin apa aja buat itu.” “Aku kan ngelakuin ini supaya Abang enggak ada alesan buat ngusir aku dari sini karena kita sekampus terus,” batin Sky. “Satu lagi. Gue enggak biasa ngurus bayi. Jadi besok-besok lo harus tau diri kalo pagi nyiapin apa, bersihin apa, jangan diulangin lagi hal kayak gini. Lo itu disini cuma numpang!” Gabe mendorong kasar sepiring roti bakar yang sudah diolesi dengan selai cokelat olehnya. “Tau diri! Inget!” Gabe berlalu meninggalkan Sky yang meremas ujung bajunya untuk menahan tangisannya. Brakk. Suara pintu yang dibanting terdengar. Sky bisa memastikan jika itu adalah Gabe yang membanting pintu ketika ia pergi keluar dari apartemen. Dalam tangis tanpa suara, Sky bersusah payah memakan makanannya. Tangan gadis itu bergetar saat ia berusaha memasukan potongan roti ke dalam mulutnya. Air mata gadis itu berjatuhan membasahi kedua pipinya yang semakin hari semakin tirus. Dalam hati Sky menerka-nerka, apakah Gabe pernah memikirkan perasaanya saat mengucapkan hal-hal yang menyakitkan seperti itu padanya. ***** “Gue enggak biasa nunggu.” Claude menyambut Sky dengan suara penuh kekesalannya. “Maaf, Kak. Aku harus bantu Ibu dulu,” jelas Sky yang tentu saja berbohong. “Lebih prepare lagi dong lo jadi cewek. Masa sampe bikin orang nunggu?!” Claude langsung menginjak dalam pedal gas mobilnya karena kesal menunggu Sky yang terlalu lama. “Kak!” Sky berteriak saat Claude hampir saja menabrak mobil yang berhenti mendadak didepan mereka. “Santai aja kali.” Claude mendengus. “Ngomong-ngomong, penampilan lo mendingan, tuh.” Sky yang tak tahu harus menjawab apa hanya diam saja. “Kalo di puji tuh nyaut!” Claude memukul kemudinya. “Tapi tunggu! Muka lo pake make-up dikit kek biar cakepan. Biar fresh gitu. Soalnya cewek-cewek yang biasa jalan sama gue itu cantik-cantik. Bajunya bagus, stylenya keren. Enggak kaya lo gitu deh, intinya.” “Maaf, Kak.” Hanya itu yang bisa Sky ungkapkan saat dirinya dihina habis-habisan oleh Claude. “Eh iya, lo kan piaraan gue lah ya, istilahnya. Jadi lo harus dengerin semua kata gue. Kalo gue manggil lo, dimana pun dan kapan pun, lo harus dateng. Ngerti, kan?” Claude menoleh sekilas ke arah Sky yang menundukan kepalanya sambil mengepalkan tangannya. “Ngerti.” Sky menjawab setelah ia berhasil menguasai dirinya yang hampir saja kembali menangis karena sepagi ini, ia sudah dihina oleh dua orang yang berbeda. “Iya, lah. Lo emang harus ngerti. Berapa duit gue yang keluar buat lo kuliah gratis?” Claude tertawa sinis. “Itu kan beasiswa dari kakeknya. Kalo bukan karena kakeknya, emang dia bisa apa? Cih. Nyebelin banget!” Gadis batin Sky yang kesal itu memulai aksi sumpah serapahnya. “Gue udah bilang belom sama lo? Gue suka tipe cewek yang manja. Jadi nih, mulai besok aja, ya. Lo ingetin. Lo harus manja ke gue. Besok lo juga harus mulai dandan. Kalo sekarang sih, gue ogah di templokin sama cewek kayak lo gitu.” Claude menyenderkan lengannya di handle pintu mobil. “Aku boleh nanya, Kak?” Sky yang merasa kupingnya sudah mulai panas itu memberanikan diri untuk bertanya. “Apaan?” “Kakak yang bilang kalo kita pacaran?” tanya Sky pada akhirnya. “Gue?” Claude terbahak. “Lo mimpi?” Pemuda itu menoleh ke arah Sky. “Denger, ya. Emangnya lo cewek yang kayak gimana sampe-sampe gue pengen satu dunia tau lo cewek gue?” Claude berujar masih dengan tawanya yang terdengar begitu menusuk hati Sky. “Bukan, Kak. Soalnya ... di kampus ada gosip. Aku ... tidur sama Kakak.” Sky lagi-lagi memberanikan dirinya. Claude diam saja saat mendengar ucapan Sky. Pemuda itu dalam hati takut jika niat buruknya sampai ketahuan. Ia takut jika Sky melaporkannya ke polisi dan hal ini sampai di telinga ibunya. Bisa-bisa ibunya itu takkan membiarkan Claude untuk tinggal bersama dengan kakeknya yang selalu memanjakannya. Masalahnya, Claude belum melakukan apa pun pada Sky. Jika pemuda itu sampai ditangkap polisi, ia rasa perjuangannya untuk mendapat action figure Iron Man akan sia-sia. Sisa perjalan menuju kampus akhirnya mereka habiskan tanpa pembicaraan apapun. ***** “Lo langsung ke kelas aja. Gue lagi males sama Gabe kalo dia ngamuk gara-gara liat lo.” Claude berujar sebelum Sky sempat turun. Itu artinya, Sky akan pergi ke kelasnya sendiri tanpa pemuda itu temani. “Iya, Kak. Aku duluan.” Sky yang pamit untuk turun itu hanya mendapat gerakan tangan mengusir dari Claude sebagai jawaban. Setelah beberapa langkah menjauh dari mobil Claude, nyatanya Sky sama sekali tak bisa bernapas dengan lega. Pandangan menghina dari orang-orang yang berpapasan di jalan dengannya membuat langkah kaki Sky semakin berat untuk tetap berjalan. Dalam hati Sky berpikir, lebih baik ia berada di sisi Claude karena saat bersama dengan Claude, hanya pemuda itu yang menghinanya daripada saat ia sendirian tanpa pemuda itu. Sebab, saat Sky sendirian, semua orang berani menghinanya. Sky sudah menyiapkan dirinya jika berita tentangnya yang menjadi simpanan pria kaya akan terdengar pagi ini. Namun sampai ia duduk di kursinya, tak ada satu pun berita seperti itu hinggap di telinganya. “Apa Jane enggak nyebarin? Apa artinya Jane masih baik ke aku?” batin Sky. Saat Sky menoleh, Jane sedang berjalan ke arahnya. Sky memberanikan diri untuk menahan lengan Jane. “Jane, aku ....” “Lepas!” Jane melepas tangannya dengan kasar. Saat pegangan tangan Sky terlepas, Jane menepuk-nepuk tangannya seolah ia jijik dengan Sky. “Wah! Gila! Berani banget dia megang tangan Jane!” Seisi kelas mereka heboh karena aksi Sky yang dianggap terlalu berani itu. “Gue diem karena gue masih mandang lo sedikit. Tapi tau batasan, dong!” Jane menatap Sky dengan tatapan tajamnya. “Maaf.” Sky yang tersadar jika ia terlalu gegabah itu menundukan kepalanya. Saat mata kuliah mereka di mulai, dosen yang mengajar kelas mereka kemarin tiba-tiba masuk. “Permisi, Bu.” Pak Markus berujar pada dosen yang mengajar kelas Sky pagi ini. “Iya, Pak Markus? Ada apa?” “Saya kesini ingin memanggil Skylar Eirene.” Suara Pak Markus yang berat itu membuat Sky bergidik ngeri di kursinya. “Skylar?” Dosen yang mengajar pun memanggil Sky. “Saya, Bu.” Sky mengangkat tangannya. “Kemana kamu kemarin? Saya paling tidak suka dengan mahasiswa yang membolos mata kuliah saya. Ditambah lagi kamu itu anak beasiswa. Apa karena kamu dapet beasiswa permanen dan kami para dosen tidak bisa berbuat apapun untuk mengeluarkan kamu, kamu jadi seenaknya?” Pak Markus benar-benar marah. “Tapi, Pak. Kemarin ... katanya Bapak enggak masuk.” Sky mengernyitkan alisnya bingung. Tetapi saat gadis itu mengedarkan pandangannya dan mendapati teman-temannya yang menyeringai, Sky menyadari satu hal. Dirinya telah dijebak oleh teman sekelasnya. “Kamu masih berani jawab saya?! Saya enggak bisa berlaku manis sama mahasiswa yang tidak bisa menghargai mata kuliahnya dan dosennya. Kamu pikir, satu kampus ini tidak tau kamu siapa?!” “Maaf, Pak.” Sky yang merasa telah dipermalukan habis-habisan itu menundukan kepalanya semakin dalam. “Sampai semester ini selesai, kamu tidak saya perkenankan untuk hadir di kelas saya lagi,” ujar Pak Markus final. Sky mengepalkan tangannya semakin kencang sampai kuku jarinya memutih. Ia kesal sekali karena dirinya dipermalukan terus-menerus. Mereka semua menghina Sky tanpa alasan yang jelas. Setelah Pak Markus pergi dari kelasnya, bola-bola kertas mulai berterbangan dan mendarat tepat di belakang kepala Sky. “Kalian semua, jangan buang sampah sembarangan!” tegur dosen yang tengah mengajar. Dosen itu tidak membela Sky sama sekali. Lebih tepatnya, dosen itu sama sekali tidak memperdulikan Sky yang mendapat bullyan dari teman sekelasnya. “Tahan, Sky. Tahan!” Sky berusaha menguatkan dirinya yang lagi-lagi ingin menangis. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD