DELAPAN

1221 Words
Seperti apa yang dikatakannya kemarin, Claude benar-benar menjemput Sky di halte. Beruntung kondisi halte memang tidak pernah ramai sehingga kedatangan mobil Claude tak akan menarik perhatian banyak orang. “Pagi, Sayang,” sapa Claude saat Sky masuk ke dalam mobilnya. “Pagi, Kak.” “Mata lo kenapa? Bengkak gitu?” tanya Claude. Sky meringis. Gadis itu padahal sudah menggunakan make-up untuk menutupi matanya yang sembab. Tapi sialnya Claude malah menyadarinya. “Enggak apa-apa, kok.” Sky memasang wajah meyakinkan hingga akhirnya Claude hanya mengangkat bahunya tanda ia tak terlalu perduli. Suara penyiar dari radio yang membicarakan tentang kemacetan di beberapa jalan ibu kota itu mewarnai kesunyian yang terjadi di dalam mobil Claude. “Nanti kalo lo enggak ada kelas, ke taman belakang, ya. Nanti gue anterin buat tanda tangan beasiswa permanen.” Claude membelokan kemudinya ke dalam area kampus. “Secepet itu, Kak?” Sky yang kaget pun menoleh menghadap ke arah Claude. “Iya, lah. Lo ngeremehin gue?” tanya Claude. “Eng-enggak lah, Kak!” Sky gelagapan menjawab pertanyaan Claude. “Haha. Santai aja. Gue emang kaya. Jadi kaya gini sih, sepele. Gue bercanda, kok.” Claude terkekeh. “Ayo, turun.” Sky menghela kasar napasnya. Ia sadar, saat ia menginjakan kakinya keluar dari mobil Claude, semuanya tak akan sama lagi. “Ayo.” Claude yang sudah berlari membukakan pintu untuk Sky itu menyodorkan tangannya. Sky meraih tangan Claude. Tepat saat ia keluar, Jane juga keluar dari mobilnya. Sky melihat dengan jelas wajah Jane yang mengalihkan pandangan dari mereka. Sky hanya bisa menundukan kepalanya. Jika saja semua bisa berjalan seperti seharusnya, mungkin ia takkan berada di dalam genggaman Claude saat ini. “Jangan diem. Gue suka cewek yang manja ke gue.” Tiba-tiba saja Claude melepaskan tautan tangannya dan menggantinya dengan sebuah rangkulan. Sky tentu merasa sangat tidak nyaman. Tetapi ia hanya bisa menurut. “Ke kantin dulu. Lo belom ada kelas, kan?” tanya Claude. “Lima belas menit lagi sih, Kak, mulainya.” Sky menjawab. “Satu jam lagi lo datengnya juga enggak apa-apa. Nanti gue yang nganter.” Claude lalu mengalihkan pandangannya pada kedua temannya yang sudah duduk di tempat mereka biasa duduk. “Wesss, pagi-pagi udah pacaran aja.” Julian menggoda Claude yang membawa Sky kehadapannya. “Iya, lah.” Claude lalu menyuruh Sky untuk duduk. Sky menundukan kepalanya karena ia duduk berhadapan dengan Gabe. Meski tak melihat, Sky tahu jika kakak kandungnya itu tengah menatap tajam ke arahnya. “Heh, lo napa liatin cewek gue kayak gitu?” Suara Claude terdengar di sebelah Sky. “Gue?” tanya Gabe. “Iya, lah. Masa si Juls. Mana demen dia sama cewek model begini.” Claude tertawa diikuti oleh Julian. Sky hanya bisa mengeratkan kepalan tangannya yang berada di bawah meja. “Lo berdua aja enggak suka. Apa lagi gue. Besok-besok jangan bawa dia kesini. Sakit mata gue ngeliatnya,” ujar Gabe dengan nada dinginnya. “Iya, bawel.” Claude lalu berbincang dengan Julian sementara Sky masih menundukan kepalanya dan diam saja. “Sana, lo!” Gabe menyuruh Sky untuk pergi. “Eh?” Sky kaget karena Gabe menendang mejanya. “Yaudah, lo duluan aja. Udah mau masuk juga, kan?” Claude bertanya tanpa melihat ke arah Sky. “Ka-kalo gitu, aku permisi, Kak.” Sky bangkit dari duduknya. “Nanti jangan lupa, tanda tangan,” ujar Claude lagi. “Iya. Aku permisi.” Sky segera pergi meninggalkan meja itu. Puluhan pasang mata langsung menuju ke arahnya sejak ia berjalan sendirian. “Lo apain tuh cewek sampe nurut?” tanya Julian setelah Sky pergi dari meja mereka. “Ada, lah. Urusan gue. Yang penting sekarang kita udah jadian. Tinggal ....” “Haha. Anjir, lo. Rekam ya nanti.” Julian tertawa. “Lo beneran enggak mau ikut taruhan nih, Gabe?” Claude bertanya pada Gabe sambil tertawa. “Gue enggak mau ikutan jadi cowok b******k,” ujar Gabe serius. “Kaku banget sih, lo. Lemesin dikit, laaah.” Claude dan Julian kembali tertawa. Gabe hanya diam saja. Ia malas untuk ikut campur. ***** “Jane?” Sky berhenti di sebelah kursi tempat Jane duduk. “Kamu ... enggak duduk didepan sama aku?” tanya Sky berhati-hati. “Eh, lo jangan ngomong sama kita-kita, deh. Emangnya kita enggak tau kalo lo godain Kak Claudius? Jangan pikir derajat lo sama kita-kita itu sama.” Seorang gadis yang duduk di sebelah Jane bangkit dari duduknya dan menggebrak meja. Sky yang mendengar itu tentu saja terlonjak kaget. Tapi ia memilih untuk tersenyum dan pergi dari sana. Sky mendudukan bokongnya di kursi tempat ia biasa duduk, di posisi depan, dekat dengan dosen. Namun pagi ini yang berbeda adalah hanya dirinya seorang yang duduk disana. Tiada satu pun orang yang mau duduk satu baris dengannya. Sebuah kertas yang dikepal dilempar tepat ke belakang kepala Sky. Hal itu terjadi berulang kali sampai dosen mereka masuk. “Ada apa ini?” tanya sang dosen. “Ibu enggak tau? Dia kan tidur sama Kak Claudius, Bu. Makanya anak-anak enggak ada yang mau duduk sama dia.” Seseorang yang tak Sky kenalin menjawab pertanyaan dosen itu. Dosen itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kabar tentang seorang mahasiswi yang mendapat beasiswa permanen memang telah tersebar sejak tadi pagi. Dosen itu hanya tak menyangka jika Sky melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. “Kamu!” Dosen itu menunjuk ke arah Sky. “Iya, Bu?” Sky yang sedari tadi hanya menunduk dan terus menunduk pun mengangkat kepalanya, ia berharap jika dosennya itu akan membelanya. “Cepet pungut kertas-kertas itu. Kalo enggak, silahkan kamu keluar.” Sky lagi-lagi mengepalkan tangannya di bawah meja. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk meredam amarahnya. “Iya, Bu.” Sky bangkit setelah menghembuskan napas beratnya. Gadis itu lalu memunguti kertas-kertas yang dilemparkan oleh teman-temannya ke arahnya. ***** “Lo enggak malu, jalan sama muka kaya gitu?” Seseorang yang keluar dari kelas yang sama dengannya itu bertanya pada Sky. “Kalo gue sih malu. Satu kampus udah tau kelakuan b***t gue. Tapi gue masih keliaran kaya enggak ada dosa.” Orang itu lalu berjalan mendahului Sky dan dengan sengaja menabrakan bahunya pada bahu Sky. Sky berjalan dengan cepat ke kamar mandi kampus. Ia segera masuk ke salah satu bilik yang kosong dan menangis sejadi-jadinya di dalam sana. Tapi yang paling menyakitkan, ia harus menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan memastikan tak ada satupun suara yang keluar dari mulutnya. Hati Sky terluka. Ia tak melakukan apa-apa. Bahkan dirinya pun belum menandatangani surat beasiswa itu. Tapi orang-orang memperlakukannya seperti seseorang yang hina. “Lo denger, enggak? Gosipnya anak yang keliatannya polos itu yang godain Claude duluan.” Seseorang berbicara dari luar bilik toilet Sky. “Lo inget enggak, pas lagi orientasi? Tuh cewek rajin banget keliatannya. Bajunya juga sopan, mukanya juga enggak pake yang aneh-aneh. Tapi ternyata ... enggak main-main, ya. Langsung cucunya Pak Diraga yang di embat.” Suara gadis yang lainnya lagi terdengar. “Gue juga mau jadi dia kalo kuliah bisa gratis.” “Jangan mimpi, lo. Lo harus belaga polos dulu baru bisa. Lo terlalu bagus buat jadi cewek yang kaya gitu.” Sky menutup telinganya hingga ia tak lagi mendengar suara orang lain saat ia membukanya. “Aku salah apa?” Sky membatin. Lagi-lagi gadis itu menangis. “Apa buat dapetin perhatian dan kasih sayang dari Abang harus kaya gini?” “Aku ... cuma pengen disayang, Bang.” *****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD