BAB 03

1202 Words
"Mas Janied, ini kak Saima nelepon dari tadi." Sani, asisten pribadinya memberikan ponsel kepadanya. Janied mengangkat telepon. "Hallo, Sai? Gue baru selesai wawancara sama stasiun TV." "Tumben?" kata Saima. "Biasanya lo ogah berurusan sama TV kecuali acara awards." "Kebutuhan lagu baru." Janied menjawab. "Ada apa, Sai?" "Gue seperti melihat Radmila." "Seperti?" "I'm not sure. Lo tahu gue sering pergi membagikan alat-alat sekolah untuk anak-anak dan gue melihat seseorang yang seperti Radmila." Janied tahu Saima punya yayasan peduli berfokus kepada anak-anak putus sekolah, dan Janied tahu Saima selalu turun tangan sendiri untuk memberikan bantuan. Tempat-tempat yang didatangi Saima biasanya berada di pelosok dan kumuh. Jika benar Saima melihat Radmila, mengapa gadis itu ada di sana? "But I'm not sure, Janied," ulang Saima dengan ragu. "Gue melihat Radmila memasuki bar kecil di pinggiran Jakarta." "...." "...." "Gue bisa aja salah, Janied." Atau, Saima bisa benar. Janied gusar dalam hatinya. *** Hanya member yang bisa masuk ke kelab mewah dan private seperti J'Land. Selain karena tingkat keamanannya yang tinggi, tamu-tamu J'Land bukan orang sembarangan. Banyak di antara mereka bersenang-senang dan melepaskan topengnya di sini. J'Land berada di hotel Haidan, mereka memiliki layanan kamar super mewah yang bisa dipesan termasuk para wanita panggilan dengan bayaran mahal yang hanya melayani orang-orang dari kelas atas. Bisa menjaga rahasia. Maka dari itu sebagai seorang VVIP malam ini Janied memesan layanan kamar termasuk penghangatnya yang ditawarkan J'Land. "Kami akan melayani Anda, sir." Tiga perempuan cantik mendekati Janied yang duduk di single sofa dekat jendela dengan tangan kanannya memegang segelas sampanye. Satu perempuan yang terlihat lebih berpengalaman berkata, "Apa Anda ingin kami bertiga melepaskan pakaian sekarang, sir?" "No." Janied tersenyum, jenis lengkungan bibir yang ramah. Tidak nakal atau bernafsu. "Saya menyewa kalian bukan untuk seks." Tiga perempuan itu diberi perintah untuk duduk di sofa panjang di hadapannya lalu Janied bertanya, "Pernah dengar Green Bar?" "No, sir." "Belum pernah dengar, sir." "Saya tahu, sir." Janied tertarik kepada jawaban terakhir. "Kamu tahu Green Bar? "Itu hanya bar kecil, sir. Nggak ada apa-apa di sana." "Mungkin ada sesuatu untuk saya." Jawaban Janied membuat tiga perempuan itu kebingungan. "Saya membayar kalian bukan untuk seks, saya ingin kalian masuk ke Green Bar. Temukan seseorang untuk saya." Janied memperlihatkan foto seorang gadis kepada mereka. "Radmila Mega. Dia mungkin bekerja sebagai bartender, tukang cuci piring, atau... seperti kalian." Janied tak bisa mengatakannya. "Jika di antara kalian bertiga ada yang berhasil menemukan gadis yang saya cari, saya akan menyewa kalian selama satu tahun penuh. Kalian akan menjadi milik Janied Elang Hartono. Kalian tahu apa artinya jika menjadi milik seorang VVIP seperti saya, bukan? Kalian akan tetap saya bayar tanpa perlu membuka paha." Tiga perempuan itu mengangguk, mengerti dan tergiur pada kata-kata Janied. "Good." Janied tersenyum miring, memperlihatkan kekuasaannya dan menjelaskan lebih rinci apa yang harus tiga p*****r itu lakukan. "Pergi, sekarang. Berikan saya sebuah kabar baik." Tiga perempuan itu dengan sopan keluar dari kamar mewah yang disewa Janied. Bersamaan dengan itu, Saima Searajana baru saja tiba dan melihat. Saima berkata kepada Janied, "Menurut lo keren meniduri tiga perempuan sekaligus?" Janied hanya mengangkat bahu, membiarkan Saima memasuki kamarnya dan berpikir seperti itu. "Kenapa? Lo mau jadi perempuan keempat yang gue tiduri malam ini?" Saima berdecak kepada candaan Janied yang menurutnya tidak lucu. "Jaga mulut lo. Kalau Radmila dengar, dia bisa salah paham." "Tapi dia nggak ada di sini. Dia meninggalkan gue." Saima tak mendengar apa-apa lagi selain nada menyedihkan dari suara Janied.  *** "Jadi lo nggak tidur dengan mereka?" "Nggak." "Lo meminta gue mencari Radmila karena lo khawatir publik akan tahu tapi kenapa lo menyewa tiga perempuan dan menyuruh mereka masuk ke Green Bar, Janied?" "Tugas lo adalah membantu gue menemukan Radmila dan info dari lo lebih dari cukup. Lagipula gue mendengar tiga perempuan itu belum dapat panggilan selama seminggu dan gue ingin memberikan mereka uang. Gue tahu menjadi wanita bayaran nggak mudah meski mereka melayani kelas atas." "Baiklah, super hero." Saima mengejek namun ekspresinya berubah ketika meilihat Janied. Berteman sejak kecil dengan pemuda itu membuatnya peka. "Apa yang lo pikirin?" "Sai, kalau Radmila ada di sana, gimana?" ujarnya, sendu. "Kalau dia memang ada di sana gue yang akan menemui dia, untuk lo." Saima menjawab serius. "Tapi sekarang gue harus balik ke J'Land." "Lo sama siapa di J'Land?" "Julie, dan temen-temen kuliah gue." "Julieta Mahveen? Putri presiden yang sangat feminist itu?" "Ya, Janied. Lo kenal teman gue." "Boleh gue ikut lo ke J'Land?" Saima mengerutkan keningnya. "Lo udah gede, dan lo juga VVIP ngapain izin ke gue buat datang ke J'Land. You're free to go." "Oke." Janied mengambil dompetnya yang berada di atas meja kaca di sebelah single sofa. "Tapi lo nggak boleh satu meja sama gue," tambah Saima. "Kenapa?" "Males, nanti gue diejek sama temen-temen gue. Mereka selalu ngeledekin gue kalau lagi bareng sama lo. Mereka pikir lo dan gue melanjutkan pertunangan." "Oh?" Janied mencerna kata-kata Saima. "Mereka pikir lo dan gue melanjutkan pertunangan?" "Ya, temen-temen gue memang konyol." "Gue ingat lo adalah orang yang membatalkan pertunangan itu, Saima," ucap Janied. "Karena gue tahu kita berdua nggak menginginkan perjodohan yang dibuat oleh orangtua kita, Janied." "...." "Gue benar, kan?" Saima menatap Janied. Janied mengangguk perlahan. "Ya, lo benar. Kita berdua nggak menginginkan pertunangan itu." *** Satu persatu pekerja diberi amplop berisikan upah sesuai tugas yang dilakukan. Termasuk gadis itu, dengan sabar menunggu gilirannya berhadapan dengan manajer di tempatnya bekerja. "Radmila, semalam ada orang yang mencari kamu." Manajer Green Bar menahan amplop coklat itu ketika seorang gadis bersiap mengambilnya. "Apa kamu terlilit hutang?" Gadis itu menggeleng perlahan. "Aku nggak punya hutang dengan siapa pun, Mas." "Oke. Tapi kalau kamu ada masalah pribadi saya nggak mau sampai ada kesalahpahaman di tempat kerja." "Aku mengerti, Mas." Gadis itu mengambil amplop berisi gajinya lalu keluar dari ruangan sambil memikirkan siapa yang mencarinya di Green Bar. Ia hanya seorang buruh cuci piring, bahkan enggan berurusan dengan siapa pun sehingga dirinya tak memiliki bayangan siapa yang ingin menemuinya. Gadis itu tidak suka pekerjaannya karena membuatnya pulang larut malam tapi ia tidak bisa mengeluh karena gajinya cukup besar apalagi jika di hari libur karena bar menjadi ramai. Hari ini gajian, masih jam sepuluh pagi sehingga gadis itu berniat membeli kebutuhannya di minimarket di dekat tempat tinggalnya. Mengambil keranjang belanja, memilih merek paling murah, sampai perhatiannya teralihkan oleh suara di TV besar yang berada di tembok sebelah kiri di dekat kasir. "... Janied akan merilis single spesial berjudul Di Tahun Ketujuh Aku Masih Sama." Gadis itu seketika memusatkan matanya kepada layar TV. "... Jadi, Mas Janied, apakah lagu ini diciptakan sendiri?" "... Ya." "... Terinspirasi dari apa sih, Mas Janied?" "... Kenangan sama orang spesial, ha ha ha." Tangannya nyaris menjatuhkan keranjang belanja dan dadanya terasa ditekan kuat sehingga gadis itu harus berdiri dengan benar. "... Kenangan bareng orang spesial, Mas Janied? Waaah, banyak ciwi-ciwi patah hati nih sehabis ini." Pembawa acara berkata dengan antusias. Di layar TV, Janied Elang Hartono tersenyum kepada kamera seolah mata indah itu menatapnya dan berbicara padanya. "... Lagu ini tentang kenangan bersama kamu. Iya, kamu. Di tahun ketujuh aku masih sama, rindu dan terluka. Lalu kapan kamu pulang kepada aku?" Radmila Mega bergumam untuknya sendiri, "Seharusnya aku nggak pernah mengirimkan surat untuk kamu, Janied. Maaf." [] - Instagram: galeri.ken
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD