"Mila! Mila!"
Gadis itu berhenti mencuci tangannya, dari kaca besar toilet ia melihat pantulan wajah familiar. "Kenapa?"
Alika, teman satu kelasnya tampak bersemangat. "Lo partner lab Janied ya???"
"Iya."
"Gue iri. Tahu gitu gue nggak masuk sekolah aja minggu kemarin supaya jadi partner lab Janied."
"Gue kan nggak masuk sekolah karena ikut lomba mading."
"Tapi tetap gue iri. Gue mau jadi partner lab Janied. Lo mau tukar partner, Mila?"
Radmila sedikitpun tak pernah berpikir bahwa sifatnya yang malas bersosialisasi akan membuatnya kesusahan mengenali seseorang, namun sekarang ia mengakui kekurangannya mengenali teman-teman di sekolah membuatnya tidak tahu siapa itu Janied Elang Hartono.
Pada awalnya, Radmila setuju menjadi partner lab pemuda itu karena Saima berkata kepadanya bahwa temannya dari kelas sebelah butuh partner lab juga.
Radmila tidak tahu bahwa Janied ternyata disukai banyak gadis di sekolah. Gosip tidak cocok dengannya, Radmila tidak update.
Bukan hanya Alika yang minta bertukar, sebelumnya sudah ada beberapa siswi memintanya untuk mengganti partner lab. Dan Radmila agak risih karena mendadak ia didatangi banyak orang. Seolah-olah hidupnya yang monoton menjadi terusik karena berurusan dengan Janied.
Radmila bisa saja bertukar dengan siapapun agar tidak ditanyai lagi tentang "Lo partner lab Janied?" namun ia berjanji kepada Saima, teman sebangkunya, bahwa ia akan menyelesaikan sisa semester bersama Janied.
Seharusnya Radmila tahu bahwa permintaan sedikit ngotot dari Saima ada alasannya. Janied populer, dan mungkin Saima merasa akan baik-baik saja jika Janied dititipkan kepada gadis pendiam yang bahkan tidak mengenali pemuda itu?
Semula, Radmila pikir Saima hanya ingin menjauhkan teman sejak kecil dari penggemar fanatiknya, kemudian Alika berkata, "Kenapa Janied nggak partner-an sama Saima, ya? Mereka kan bertunangan."
"Bertunangan? Tapi mereka berdua masih 16 tahun?" Radmila menyesal bertanya karena terkesan mencampuri urusan orang.
"Mereka dijodohkan sejak kecil. Hal itu udah biasa dalam keluarga kaya raya."
"Alika, keluarga lo juga kaya."
"Beda, Mila. Lo juga anak orang kaya, ayah lo punya dua restoran besar. Tapi dibandingkan dengan keluarga Janied atau Saima, kita nggak ada apa-apanya."
"...."
"...."
"Janied akan selalu menjadi miliknya Saima. Mereka berdua nggak terpisahkan. Menyebalkan, bukan?"
Radmila tidak menjawab ucapan temannya.
***
Radmila pikir, anak orang yang sangat sangat sangat kaya dan menjadi siswa populer tidak mungkin peduli pada nilai karena mereka sudah punya semuanya.
Tapi Janied fokus dengan apa yang dia lakukan seperti siswa pada umumnya. Meski terkadang terlalu banyak bercanda, Janied menyelesaikan tugas dengan cepat dan benar. Menjadi partner lab Janied tidak sesulit yang Radmila pikir.
Meski masih ada beberapa siswi yang menatapnya sinis, Radmila mencoba tidak peduli. Yang penting nilainya di semester ini sangat baik.
"Lo mau ke kantin bareng gue, Mila?" Janied melepaskan jas lab, ini adalah ajakan kesekian kali dan biasanya Radmila akan menggeleng karena ia lebih suka makan di ruang mading bersama anggota yang lain.
Kali ini, menurut Radmila tak ada salahnya ia makan di kantin.
Janied tersenyum karena untuk pertama kalinya Radmila tidak menolak. Di perjalanan menuju kantin Janied berkata, "Gue kira lo benci gue."
"Apa yang membuat lo berpikir begitu?"
"Setelah praktik di lab, lo selalu langsung keluar. Kalau bukan ngerjain jurnal, lo selalu punya alasan nggak mau ketemu gue."
Bagaimana Radmila menjelaskan? "Bukannya lebih baik kita berdua cuma ketemu di lab?"
"Kenapa begitu? Lo nggak mau temenan sama gue?" Janied ingin penjelasan.
Katakan saja, Janied penasaran.
Radmila begitu tertutup, bahkan saat tangan mereka tak sengaja bersentuhan saat praktik di lab, Radmila akan terlihat sangat kikuk. Janied tahu gugupnya gadis yang suka padanya, tapi sikap Radmila bukan karena suka padanya melainkan seperti tak nyaman.
"Gue nggak gampang untuk bersosialisasi," jujur Radmila.
"Oh, gue kira karena gue terlalu ganteng dan lo sebisa mungkin menjaga jarak karena takut suka sama gue." Janied terbiasa mengatakan lelucon meski Radmila tak menanggapi.
Namun sekarang gadis itu mengerutkan kening, menatap Janied lalu tertawa kecil.
Tawa pertama yang Janied dapatkan selama satu bulan menjadi partner lab Radmila.
Janied menatap gadis itu, pada lesung pipinya. "Radmila Mega, mulai dari sekarang lo harus banyak tersenyum. Lo cantik ketika tersenyum."
Radmila mungkin dalam masalah. Karena ketika mendengar itu, hatinya memberontak. Radmila menyadari betapa mudah untuk jatuh kepada Janied Elang Hartono. Dengan segala pesonanya.
Dan, Radmila tidak sendirian dengan perasaanya.
Semakin intens bertemu, percakapn-percakapan sederhana, akhirnya Janied mengajaknya berkencan. Ciuman pertama Radmila bersama Janied.
Seperti sebuah n****+, Radmila berharap di akhir kisah ini tertulis namanya dan Janied bersama-sama. Hanya mereka berdua.
***
Wawancara Janied dengan salah satu stasiun televisi langsung menjadi ramai di Twitter.
Manajer Janied mengatakan bahwa artisnya itu pintar mencari perhatian publik, percaya bahwa lagu baru Janied akan menjadi hits karena baru diberi satu spoiler saja penggemar Janied sudah tidak waras.
Semua pasti berpikir Janied sedang promosi lagu barunya, namun Saima tahu rencana Janied. Perempuan itu melihat wawancara Janied pada layar televisi di apartemennya ketika sang artis duduk di sofa ikut menonton dirinya sendiri.
"Gue ganteng banget, Sai," ujar Janied, menyebalkan.
Saima memutar bola matanya, malas. "Apa lo melakukan wawancara supaya Radmila lihat? Lagu baru lo ini buat dia, kan?"
Janied mengangkat bahunya. "Gue cuma mau ngasih tahu bahwa surat dia udah gue terima."
"Kalian berdua buang-buang waktu. Lo tahu dia ada di mana kenapa nggak langsung ketemu, Janied? Atau lo mau gue ngomong sama Radmila lalu mengatur pertemuan kalian? Private."
Saima dan Janied sudah tahu bahwa Radmila bekerja sebagai pencuci piring di Green Bar. Janied tak menyangka bahwa mantan pacarnya hidup kurang layak.
Apa yang gue lewatkan selama tujuh tahun, Sai? Janied tersesat dengan pertanyaannya namun Saima tak memiliki jawaban.
"Apa menurut lo dia mau ketemu gue?" Janied menatap Saima.
"Lo insecure? Ke mana perginya Janied Elang Hartono yang sangat narsis?"
Janied berdecak pada sindiran temannya. "Lebih baik lo memberikan gue solusi."
"Solusi gue adalah mempertemukan kalian berdua secepatnya."
"Oke. Tapi gue nggak mau ketemu Radmila di Green Bar, terlalu berisiko. Mungkin satu meja di restoran hotel Haidan nggak akan membuat gue was-was?"
Saima mengangguk, setuju. "Lo atur tempatnya, gue akan bicara sama Radmila."
"Sekarang gue mau makan, Sai. Apa ada makanan di dapur lo?" Janied bisa dengan cepat merubah topik obrolan jika sedang kelaparan.
"Uang lo banyak kenapa nyari makanan gratis di sini?"
"Gue mau pesen pizza kalau begitu." Janied memesan dua box pizza ukuran besar dan menunggu dengan tidak sabar di sofa Saima.
Ketika bel pintu terdengar, Janied sedikit bingung. "Baru 15 menit tapi udah sampe?"
Janied membuka pintu, ia pikir pesanannya datang ternyata seorang kurir membawakan paket untuk Saima.
Janied bisa sangat menyebalkan, contohnya sekarang ketika dengan tidak sopan ia membuka paket Saima dan menemukan sesuatu yang ia kira tak ada di dalamnya.
"Janied, what the fvck!" Saima berlari untuk mengambil paket yang sudah dibuka Janied.
"Lo beli dildo?" Janied menahan diri agar tidak tertawa.
"Bukan urursan lo, b*rengsek. Jangan buka paket orang sembarangan!"
Janied menyilangkan kedua tangannya. "Hei, Sai, lo temenan sama gue udah lama, santai aja. Gue nggak akan judge lo cuma karena beli s*x toys."
Saima terlalu kesal dan sedikit malu sehingga ia tak menanggapi. Saima memasukkan paket itu ke dalam laci, lebih seperti melempar asal.
"Lo beli dildo karena mantan pacar lo yang berondong itu juni0r-nya kecil ya, Sai?" Janied menggoda Saima yang langsung menghajar bahunya seperti mengajak duel di ring tinju.
"Nggak usah bawa-bawa mantan gue!"
"Aww, lo kesal karena juni0r mantan lo beneran kecil? Atau kecil banget?"
"Janied, lo nyebelin!" Saima memukul d**a Janied yang sekarang tertawa terbahak-bahak. Saima terus meluapkan kekesalannya sampai mereka berdua terjatuh pada sofa.
Janied menahan pinggang Saima agar gadis itu tidak terjatuh. Tubuh mereka berdua sangat dekat sampai Saima bisa merasakan aroma cologne yang dipakai Janied.
"Haruskah Mama keluar lagi?" Suara deheman dan langkah kaki membuat Saima langsung menjauhkan tubuhnya dari Janied. Ia melihat ibunya, Anaria Searajana berdiri dengan elegan meski ada kilat terkejut dari matanya.
"Apa kalian berdua sedang sibuk? Janied kenapa kamu ada di sini?" selidik Anaria.
"Aku mampir untuk makan siang, Tante." Janied menghampiri Anaria untuk mengecup pipinya. "Aku mau pulang sekarang."
"Pizza lo-" Kalimat Saima tak diteruskan ketika Janied sudah pamit setelah menanyakan kabar Anaria.
Setelah Janied pergi Anaria melihat putrinya, menghela napas. "Kamu ini dengan Janied ada hubungan apa?"
"Mama jangan salah paham karena tadi lihat aku di sofa bareng Janied. Kita berdua nggak ada apa-apa."
"Kamu membatalkan pertunangan kalian, Saima. Apa sekarang kamu berubah pikiran?"
"No." Saima menggeleng. "Mama, aku dan Janied seperti adik dan kakak."
"Baiklah kalau menurut kamu seperti itu, Saima. Karena kalau kamu mau kembali, itu nggak mungkin. Keluarga Hartono nggak akan membiarkan kamu menjadi tunangan Janied lagi setelah apa yang kamu lakukan empat tahun lalu."
"Aku tahu." Saima mengangguk, merasa tak perlu diingatkan. "Aku temannya Janied, Ma. Dan keluarga Hartono nggak perlu khawatir karena kali ini Janied akan bertunangan dengan gadis yang tepat."
"Maksud kamu apa, Saima?"
"Cinta sejati Janied sudah kembali, Ma." []
-
Instagram: galeri.ken