Melihat keromantisan antara Galang dan Lira—yang menurutku memang sedikit keterlaluan, memancing Ayah untuk berdeham. Membuat adik yang sedang dalam gendongan suaminya, menggerutu kecil. Entah mengucapkan apa.
Ah, Lira, kenapa kau seperti sengaja menyiram air garam pada luka kakakmu yang belum sepenuhnya kering?
"Biarin aja kenapa, Yah, namanya juga pengantin baru," ujar Mama pelan, ketika melihat suaminya menggelengkan kepala.
Sesaat setelah memfokuskan perhatian pada anak keduanya, Ayah dan Mama lantas mengalihkan pandangan padaku yang masih duduk diam di depan meja makan.
"Kalau masih ingin dianggap anak olehku, jangan pernah lagi macam-macam dan membuat malu keluarga ini, Indah," ucap Ayah, memperingatkan dengan suara lantang saat menatapku. Napasnya terlihat tak beraturan ketika untuk sekian kalinya memberikan peringatan yang sama padaku.
"I-iya, Ayah," balasku sambil menahan sesak.
Meski mungkin sudah terlambat, tapi aku janji, Ayah, akan kubuktikan jika anak sulungmu ini tak seburuk itu.
Usai makan malam, aku pun bangkit dan lantas berjalan menuju kamar dengan langkah gamang.
Sungguh, tak pernah aku menyangka bakal menjalani hidup setragis ini. Gagal menikah sekaligus membuat keluarga malu adalah musibah paling besar yang pernah kualami selama hidupku.
Ya Rabb, ampunilah segala dosa.
Usai mencuci muka dan menggosok gigi, kurebahkan tubuh saat rasa kantuk mulai datang mendera.
Tak berapa lama kemudian, aku yang baru hampir memejamkan mata, dibuat terkejut ketika ponsel yang kusimpan di atas nakas tak berhenti berdering.
Siapa yang memanggil?
Dengan gerakan malas aku pun menyambar ponsel yang baterainya baru terisi penuh setelah seharian tadi tak membuatku kehilangan meski ia tertinggal di rumah.
"Resti?"
Aku menggumam pelan ketika menyadari sahabat baikku itu tak berhenti membuat ponselku berdering.
Tumben sekali dia menelepon malam-malam begini?
Ada apa?
"Halo, assalamualaikum." Aku menyapa lebih dahulu ketika panggilan kami tersambung.
"Waalaikumussalam," balasnya kemudian.
"Tumben, Res, nelpon jam segini?"
"Iya, aku punya kabar penting soalnya," ujar sahabatku dengan nada serius.
"Kabar apa?" Rasa penasaran mulai menggelayut dalam d**a.
"Tentang ... laki-laki yang eum—."
Resti tak melanjutkan kalimatnya.
"Yang apa?" tanyaku penasaran.
"Pernah tidur denganmu," balas Resti to the point.
Deg!
Bayang kelam itu tiba-tiba memenuhi kepalaku dan membuatku jijik atas diriku sendiri.
"Kenapa harus bahas dia lagi, sih?" balasku kesal.
Bukankah Resti tahu jika aku enggan membahas apa pun tentang laki-laki biadab yang telah membuatku terlihat hina di mata keluarga dan mantan calon mertuaku? Kenapa sekarang dia ingin membicarakannya lagi?
"Tapi ini penting, Indah," balas Resti dengan nada geram.
"Aku nggak tertarik! Aku tutup, nih, teleponnya," ancamku kemudian.
"Namanya Darren." Seperti tak menggubris ancamanku, Resti memilih menyebutkan sebuah nama.
Sejenak, aku terdiam. Apakah itu artinya … aku menunggu informasi lanjutan yang akan disampaikan oleh Resti? Entahlah.
Aku tak mengerti.
"Darren Atma Wijaya," lanjut Resti.
"Terus?"
"Bukankah sore tadi kamu bilang ingin tahu tentang siapa dalang dibalik semua kesialanmu, Indah Putri?"
"Ya … memang, tapi sekarang aku sedang bad mood dan nggak ingin membahas apa pun, aku ngantuk," kilahku kemudian.
"Beri aku waktu 15 menit untuk berbicara, selanjutnya kamu boleh tidur."
"Baiklah."
Aku memilih setuju dengan ide Resti.
Kami pun terlibat obrolan yang cukup panjang.
Harus aku akui, soal stalking dan mencari tahu tentang seseorang, Resty memang ahlinya. Dia seperti intel yang dengan mudahnya mendapatkan informasi mengenai target yang diburunya.
"Dan kau tahu sesuatu, Indah?"
"Apa?"
"Ternyata … Darren berteman dengan Arman. Mereka dulu kuliah dan mengambil jurusan yang sama waktu ngambil S1 di Jogja."
"Oh, ya? Tapi ngomong-ngomong … Arman yang mana?" tanyaku karena memang nama itu masih asing di telinga, jika Resti menyebut sebagai sepupunya.
"Dia sepupu aku yang tinggal di Semarang sekarang.
"Oh …."
"Kamu tenang aja, ya, pelan tapi pasti, kita akan ungkap tuntas siapa penjahat dalam hidupmu sebenarnya," ucap Resti mantap. Membuatku menganggukkan kepala berulang kali dengan antusias. Merasa cukup beruntung karena memiliki sahabat sebaik dirinya.
***
"Kemarin, kita belum sempat beli apa-apa, 'kan waktu di mall? Hari ini, kamu mau, 'kan kalau nemenin aku nyariin kado buat Maura yang ulang tahun besok?" ucap Resti panjang lebar, membuatku yang tengah melamun setelah jam kuliah terakhir usai, tertegun.
"Eum, maaf, Res. Kayaknya … aku nggak bisa nemenin kamu sesering dulu, takut Mama berpikiran macam-macam sama aku," tolakku halus. Membuat Resti mendengkus kecil.
"Sini, pinjam hape kamu!"
"Buat?" tanyaku kebingungan, tapi secara refleks tanganku meraih ponsel dari tas selempang yang kubawa, dan kemudian menyerahkan benda pipih ini pada Resti.
"Nelpon Mama kamu yang bawaannya suudzon mulu," balas Resti sedikit ketus.
Dan benar saja, sahabat baikku ini memang menelepon mamaku untuk meminta izin mengajakku pergi sepulang kuliah siang menjelang sore hari ini.
"Beres, Tante Lili, asal urusan selesai, Indah langsung Resti anter pulang, kok," ucap sahabatku sambil cengar-cengir ketika dirinya tengah berbincang dengan mamaku melalui sambungan telepon.
Selain pandai dalam hal akademik, Resti juga pandai membawa diri. Dia tahu betul bagaimana harus bersikap pada lawan bicaranya.
"Nih." Resti menyerahkan ponsel ketika panggilan dengan mamaku diakhiri.
"Boleh pergi?" tanyaku hati-hati.
"Boleh, dong."
Kami pun lantas meninggalkan ruang kelas dan berjalan beriringan menuju tempat di mana mobil Resti terparkir.
***
"Ini, cocok, nggak?" Resti meminta pendapat saat dirinya memilih baju unik dan cantik bergaya Korea yang konon menjadi favorit Maura, ketika kami menyambangi butik ternama yang menjadi favorit keluarga Resti.
"Bagus, kayaknya bakal cocok buat Maura yang bodinya bagus," balasku saat memberikan pendapat sesuai apa yang aku pikirkan.
"Oke, fix, aku ambil ini," ujar Resti dengan wajah berbinar, saat menunjuk blouse remaja berwarna putih dengan ikat pinggang salur hitam putih di tengah.
"Mbak, tolong, dong, saya mau yang ini." Resti memanggil salah satu karyawan yang berjaga di boutique yang khusus menjual Korean style fashion ini.
"Baik."
"Makasih, ya, Ndah, udah mau nemenin aku nyari kado buat Maura, soalnya ... kalo nyari sendiri suka pusing aku," ujar Resti sesaat setelah melakukan p********n.
"Iya, sama-sama, udah kayak sama siapa aja, sih, pake bilang makasih segala," balasku sambil tersenyum.
Baru hendak berjalan menuju pintu keluar masuk butik, langkahku tertahan saat menyadari kami berpapasan dengan lelaki yang malam tadi menjadi topik hangat pembicaraanku dan Resti di telepon.
"Darren!" ucapku spontan saat mata kami bertemu tanpa sengaja.
Darren yang siang menjelang sore hari ini tengah jalan berdua dengan seorang gadis cantik di sampingnya, tampak terkejut saat aku menyebut namanya.
"Siapa dia, Mas?" tanya gadis yang berdiri di samping lelaki bertubuh tinggi itu.
Menanggapi pertanyaan gadis yang berdiri di sampingnya, Darren mengedikkan bahu dengan santai.
"Nggak tau, nggak kenal," ucapnya terdengar tanpa beban. Membuatku membelalak lebar dengan napas memburu.
Ya ampun! Tidak tahu dia bilang?
Aku mencebik geram.
"Kamu berhutang banyak penjelasan padaku, Darren!"
Aku hampir membuat keributan andaikata Resti tak menahan tanganku dan menghentikan aksiku.
"Maaf, Mbak, temanku cuma salah orang," ujar Resti pada gadis yang terlihat cemas ketika aku tak berhenti memperolok Darren. Lelaki paling menyebalkan yang pernah aku temui selama 21 tahun hidup di dunia ini.
"Oh, ya udah," balas gadis itu sambil tersenyum tipis pada Resti yang terlihat menjaga sikap di depan Darren dan gadis cantik yang kemungkinan adalah pacarnya.
Resti pun menarik tanganku keluar boutique sambil menatapku geram.
"Jangan bodoh dan barbar, Indah. Bukan begitu caranya kalau ingin membuat Darren mengaku siapa dalang kejahatan sebenarnya," ucap Resti masih dengan wajah geram saat sepasang matanya menyorotku tajam.
"Bagaimana caranya?" tanyaku masih kesal saat merasa Resti tak memberiku kesempatan untuk meluahkan kekesalan pada manusia paling biadab di muka bumi.
"Arman akan ke sini besok, kita harus mempergunakan kesempatan emas itu untuk menekan Darren agar jujur tentang siapa sebenarnya si pemilik otak kejahatan yang menimpamu."
"Caranya?"
"Kita lihat saja besok."