Mungkinkah Galang?

778 Words
"Jangan bercanda, Res. Alia, tuh teman baik aku dari SMA, jadi nggak mungkin dia tega ngelakuin itu sama aku." Dengan penuh keyakinan, aku mencoba menyangkal tuduhan Resti yang rasanya sedikit berlebihan ketika menganggap Alia juga turut terlibat dalam kejadian tak masuk akal yang menimpaku hari itu. Sungguh, Alia yang kukenal adalah sosok yang lemah lembut dan begitu perhatian padaku. Jadi jelas aku tak ingin buru-buru menaruh prasangka padanya. Resti menggelengkan kepala lantas menarikku untuk duduk di bangku panjang yang berada di depan arena taman bermain, yang letaknya berdekatan dengan gerai donat kesukaan adiknya. Maura. "Coba, deh, dipikir lagi. Aneh nggak, dia yang nyuruh kamu datang ke restoran sepupunya, tapi dia sendiri malah nggak datang dengan berbagai alasan," ucap Resti lantas mendengkus kecil. Seperti masih tertarik menjadikan Alia salah satu tersangka pelaku kejahatan. Mendengar argumen Resti, aku merasakan kepalaku berputar kembali. Jujur, selama ini aku memang menaruh curiga pada Lira, yang aku tahu sempat memuji betapa sempurna seorang Galang di matanya. Akan tetapi, kalau sampai Alia juga turut terlibat, apa alasannya? Apa yang melatarbelakangi jika sampai gadis itu juga turut terlibat? Ah, entahlah. "Maaf, Res, bisa kita pulang sekarang?" Aku yang kembali lelah secara hati dan pikiran, meminta pendapat Resti untuk pulang lebih cepat. "Tunggu, aku belikan dulu donat untuk adikku, ya," ujar Resti sebelum bangkit dan membeli satu box besar donat untuk Maura. "Oke, aku tunggu." *** Sampai di rumah, aku yang baru hendak memasuki ruang tamu, dibuat terkejut ketika menyadari Mama berdiri kaku di balik pintu begitu aku membukanya. "Mama?" Terlihat olehku, Mama yang memang sikapnya berubah semenjak orang tua Galang membatalkan rencana pernikahan putra mereka denganku, menatapku dengan tatapan tajam. "Kenapa harus pulang, ha? Kenapa harus kembali ke rumah ini kalau yang kamu inginkan cuma kebebasan, Indah?" tanya Mama dengan suara lantang saat kedua tangannya menggoyang bahuku. "Berapa kali Mama meneleponmu dan ternyata panggilan dialihkan. Apa kamu merasa terganggu menerima telepon dari mamamu sendiri, ha?" Olok Mama yang membuatku sontak geragapan saat memeriksa tas selempang besar yang kubawa ke kampus tadi siang. Astaghfirullah! Ya ampun! Aku bahkan lupa membawa ponsel saat kuliah tadi? Sekacau itu kah pikiranku? Bahkan, ponsel, benda yang selama ini selalu kuanggap seperti nyawa kedua tak lagi penting? "Hape Indah ketinggalan, Ma. Beneran Indah nggak bohong." Meski tak yakin Mama sudi mendengar alasanku, aku tetap berusaha memberikan penjelasan sesuai fakta yang ada. Terlihat oleh sepasang mataku, Mama menitikkan air mata saat aku memberikan penjelasan. "Bertaubatlah, Nak. Allah maha menerima taubat hambaNya," ucapnya lantas berlalu dari hadapanku. Nyes! Sampai sekarang Mama percaya kalau anaknya ini adalah seorang gadis yang gemar menjual diri? Fitnah sedahsyat apa yang membuat wanita berusia awal 40-an itu begitu yakin kalau anak sulungnya ini senista itu? Astaghfirullah! Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran. *** Malamnya, seperti malam sebelumnya, di depan anggota keluarga, Lira terlihat makin bersemangat mempertontonkan kemesraan dengan Galang. Lelaki yang gagal menikah denganku karena satu sebab yang menurutku masih menyimpan sejuta misteri bagaimana kronologisnya. "Aaa …." Galang membuka mulut ketika Lira berniat menyuapkan nasi dan kuah sup iga yang menjadi salah satu menu makan malam di rumah ini. Di meja makan, aku mencoba bersikap tenang saat Lira secara terang-terangan memamerkan betapa hangatnya hubungan suami istri yang baru dua hari menikah itu. "Makan lagi, dong," rengek Lira manja ketika Galang menggelengkan kepala saat adikku itu berniat menyuapinya kembali. "Udah kenyang, Sayang …," balas Galang dengan nada manja saat berbicara pada adikku. Membuat Ayah dan Mama saling pandang sembari mengulas senyum. Sayang? Lagi? Semudah itukah? Semudah itukah dia memalingkan hatinya dariku? "Baru makan dikit, loh, kamu, Mas …." Ya ampun, kenapa suara Lira yang dibuat manja terasa sangat mengganggu pendengaran akhir-akhir ini? "Aku udah kenyang, Sayang, dan sekarang, aku mau minta jatah yang lain," ucap Galang sambil mengedipkan sebelah matanya saat menatap si cantik yang kini seakan telah lupa bagaimana hangatnya hubungan persaudaraanku dengannya sejak kecil. Ya Allah, kuatkanlah hatiku. Berilah rasa ikhlas pada segumpal darah berbentuk hati saat menghadapi kenyataan ini. Ketika nyatanya adik yang sangat aku sayangi akhirnya menikah dengan lelaki yang dulu amat aku cintai. Dulu? Apakah sekarang tidak? Berikan rasa lapang untukku menjalani takdir yang memang sudah Engkau gariskan untukku, ya Rabb. "Mas …!" Pekikan manja yang keluar dari mulut Lira saat Galang tiba-tiba mengangkat tubuhnya ala bridal style, dan membawanya menjauh dari hadapan kami, membuatku tersadar. Ya Tuhan. Ternyata pemandangan menyakitkan itu bukanlah mimpi? Ini nyata? Galang, lelaki yang dulu sempat aku gadang-gadang bakal menjadi imam terbaik untukku, semudah itu berpaling? Pada adikku? Jadi, rencana jahat siapa sebenarnya yang membuatku terjebak dan terperosok dalam jurang kenistaan? Melakukan hubungan selayaknya suami istri di hotel bersama lelaki yang baru pertama kali kujumpai? Rencana siapa? Apakah itu merupakan rencana Lira, Alia, atau bahkan Galang sendiri? Astaghfirullah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD