Kemarahan Lira

1005 Words
Sesuai janji, Resti mengantarku pulang sampai ke rumah. Membuat Mama tersenyum lega begitu sahabat baikku membuktikan ucapannya. "Resti, nggak bohong, 'kan, Tan? Indah beneran Resti anter," ucap Resti sambil cengar-cengir ketika Mama tersenyum padanya, manakala aku hampir memasuki ruang tamu. "Iya, makasih, ya, Res," balas mamaku terlihat ramah. "Sip." Resti mengacungkan jempolnya sambil terus menampilkan senyum. "Ya udah, Tan, permisi dulu." "Iya, hati-hati, ya," ujar Mama sambil mengukir senyum. Resti pun pergi setelah berpamitan. Aku yang sedang berjalan menuju kamar, dibuat sedikit tak nyaman ketika mataku seperti dipaksa melihat betapa agresifnya Lira pada Galang di ruang keluarga. Tanpa tahu malu, adikku dengan sangat percaya diri, mengecup lembut bibir suaminya di depan mataku. Membuat langkahku tertahan secara refleks. Ya Allah kenapa hatiku mendadak perih lagi? Apakah masih pantas seorang yang telah ternoda dan kotor sepertiku menaruh rasa cemburu? "Nakal, ya." Galang yang sedang sibuk dengan ponselnya, terlihat sedikit kaget dengan sikap sang istri yang sedikit keterlaluan. Setidaknya menurutku. "Wajar, dong, Mas, kan sama suami sendiri. Boleh, dong, gemes," balas adikku dengan suara manja, tetapi matanya menatapku dengan tatapan yang entah kenapa terlihat menjengkelkan. "Iya, Sayang …." Galang yang sepertinya juga gemas dengan tingkah laku adikku, menarik hidung adikku sambil menatapnya penuh kemesraan. Ya Tuhan! Sungguh, mereka seperti bukan pasangan yang menikah karena terpaksa. Namun, lebih seperti pasangan pengantin baru yang tengah kasmaran setelah saling menyatakan cinta. Luar biasa! Kalau begini ceritanya, bolehkah aku beranggapan jika antara Galang dan Lira memang sudah memiliki hubungan spesial sebelum ini? Entahlah. Aku melanjutkan langkah saat rasa perih dan kecewa terus meraja dalam d**a ketika melihat kemesraan mereka. Astaghfirullah …. Sekali lagi, tumbuhkanlah rasa ikhlas dalam hati untuk menerima takdir yang telah Engkau gariskan padaku, ya Rabb. Karena jika memang mereka saling mencintai, pantaskah aku kecewa dan patah hati? *** Pukul 19.30 malam. Aku yang memang tak merasakan lapar, memilih untuk berdiam diri di kamar saat jam makan malam tiba. Panggilan dari Mama atau Bik Minah yang memintaku untuk keluar kamar dan makan malam, aku tolak halus dengan dalih sudah makan bersama Resti sebelum pulang sore tadi. Aku yang sedang menyibukkan diri dengan mengotak-atik ponsel, entah kenapa tergerak hati untuk melakukan pencarian terhadap sebuah akun. Darren Atma Wijaya. "b******n!" Aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat dan mencaci maki ketika melihat sebuah postingan i********: yang menandai dirinya. Sebuah pose mesra dengan pantai sebagai latar, membuat dadaku seperti terbakar matahari. Bukan sebab cemburu, tapi lebih kepada jijik pada seorang Darren yang menurutku munafik. Bagaimana bisa dia dengan mudahnya meniduri wanita lain jika sudah ada seorang wanita yang memantapkan hati untuknya? Ingin rasanya aku mengirimkan DM pada akun i********: gadis yang menandai Darren dalam postingannya, tapi aku tahan, takut langkahku keliru dan membuat Resti murka. Bukankah sahabat baikku itu sudah menyusun rencana untuk mengungkap kebobrokan siapa yang membuatku gagal menikah? Tahan, Indah, tahan! Tahan jari, tahan hati. Aku dibuat menyesal saat hampir pukul 23.00, mataku tak juga kunjung terpejam. Ya ampun, kenapa rasa lapar ini harus datang malam-malam begini? Aku menggerutu kesal saat perutku tak bisa diajak kompromi ketika waktu sudah hampir larut dan bukan lagi jamnya orang makan. Meski malas, akhirnya aku turun ke dapur untuk mencari makanan sekedar untuk mengganjal perut. Karena enggan memakan nasi, aku pun membuka lemari makan dan lantas menyeduh mie instan hampir tengah malam ini. Aku yang tengah menikmati mie instan rasa kari ayam yang kucampur telur dan beberapa biji cabai rawit, dibuat tersentak ketika menyadari seseorang tiba-tiba muncul dalam keremangan, karena memang, aku tak menyalakan lampu. "Kenapa harus memilih makan jam segini?" tanyanya pelan. Aku diam. Enggan menanggapi pertanyaan dari lelaki yang dulu sempat begitu aku kagumi. Namun, kekaguman itu luntur secara perlahan setelah dia lebih memilih percaya dengan apa yang dilihat, tanpa ingin tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. "Apa kau cemburu melihat kemesraanku dengan adikmu?" tanyanya lantas mendengkus kecil. Aku masih memilih diam. Sambil terus mencoba menikmati mie instan rasa kari ayam yang rasanya mendadak hambar semenjak kedatangannya. "Benar kata orang, sampul memang kadang bisa menipu." Galang terus mencerocos meski aku bersikap pasif dan tak ingin menanggapi ucapannya sedari tadi. "Ya, sepertinya begitu. Nyatanya, laki-laki yang awalnya aku anggap sempurna, nyatanya tak seperti itu. Jauh api dari panggang," ucapku lancar dan seperti tanpa beban. Meski dalam keremangan, bisa kupastikan jika gigi Galang bergemeletuk saat aku menyindirnya telak. "Jadi, apa menurutmu laki-laki yang hanya senang menikmati tubuhmu tanpa ikatan sah itu lebih baik dariku, Indah?" tanyanya dengan nada geram yang amat kentara saat langkahnya semakin dekat. Padaku yang tengah menikmati mie instan di meja dapur. Aku terdiam kaku saat mie yang sudah hambar ini benar-benar tak lagi bisa kupaksa masuk untuk melewati tenggorokan sebelum sampai ke perut. Ya, jika sudah membahas tentang peristiwa naas hari itu, aku memang seperti kehilangan kata-kata untuk mendebat. Aku … kalah telak. Aku yang tak ingin memperpanjang urusan, memilih bangkit dari kursi dapur. Meninggalkan dia yang memang serendah itu memandangku. "Sudah berapa kali kau melakukan itu dengannya?" Aku tersentak ketika menyadari Galang tiba-tiba menahan tanganku. "Apa yang membuatmu begitu mudah memalingkan hatimu dariku dan berbuat sampai sejauh itu, Indah?" Menangis hatiku mendengar pertanyaannya. Aku tidak pernah memalingkan hatiku darimu, Galang. Sungguh. "Kenapa kau tega mengkhianatiku dengan cara serendah itu, Indah? Kenapa?" Aku menggeleng pelan saat Galang memperolok diriku dengan pertanyaan yang sama dengan hari itu. "Kau tahu, 'kan kalau aku tulus mencintaimu, tapi kenapa kamu tega?" Aku terdiam dengan hati pilu saat kedua tangan Galang menyentuh pundakku. "Apakah karena dia tampan dan berharta sehingga kamu dengan mudahnya menyerahkan tubuhmu?" Aku memilih diam meski dalam hati menyangkal tegas tudingannya. Aku diam, bukan berarti membenarkan. Namun, lebih kepada menjaga hati banyak orang yang mungkin sudah terlelap di jam ini. "Dengarkan aku, Indah." Langkahku tertahan saat aku yang semula berniat meninggalkan area dapur, mendengar suara Galang yang terdengar melunak. "Sampai sekarang, aku masih mencintaimu," ucap Galang, memaksa jantungku berpacu dengan cepat ketika mendengar kata-katanya yang entah sedang membual atau tidak. "Aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk—." "Untuk apa, Mas?" Suara Lira menggelegar ketika lampu dapur tiba-tiba menyala. Ya Allah, sejak kapan Lira mendengar obrolan antara aku dan suaminya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD